Kisruh Furoda, Menjual Ketidakpastian dengan Janji Kepastian
Haji seharusnya menjadi perjalanan suci, bukan ajang spekulasi. Tapi kenyataannya, setiap tahun selalu ada cerita jamaah gagal berangkat karena visa Furoda tak kunjung keluar. Pemerintah tidak bisa terus hanya jadi penonton. Ini saatnya membuat regulasi ketat dan tegas.

H. Abdul Wahid Azar,SH.,MH./ Mantan Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Aktif sebagai Bendahara Umum Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI).
Haji seharusnya menjadi perjalanan suci, bukan ajang spekulasi. Tapi kenyataannya, setiap tahun selalu ada cerita jamaah gagal berangkat karena visa Furoda tak kunjung keluar.
Anehnya, uang sudah disetor puluhan ribu dolar, janji-janji sudah ditebar, fasilitas sudah dijual di atas kertas. Tapi ketika tiba waktunya, yang datang bukan kabar gembira, melainkan pengumuman: visa gagal, uang bisa jadi hangus, dan jamaah harus bersabar, entah sampai kapan.
Inilah wajah buram dari praktik Furoda yang tidak tertata.
Di tengah semangat umat untuk beribadah, ada celah yang dimanfaatkan sebagai peluang bisnis berisiko tinggi. Ironisnya, yang menanggung risiko bukan penyelenggara, tapi jamaah.
Padahal, dalam logika ibadah, tanggung jawab moral dan profesional justru seharusnya lebih besar di pihak penyelenggara.
Menjual Ketidakpastian dengan Janji Kepastian
Coba kita tengok iklan-iklan yang berseliweran di media sosial dan brosur: "Haji Tanpa Antri!", "Langsung Berangkat Tahun Ini!", "Hotel Dekat Masjidil Haram!".
Semua dikemas meyakinkan. Tapi yang tidak pernah dijelaskan secara terbuka adalah satu hal penting: visa Furoda bukan kuota resmi, bukan jatah pasti, dan tidak ada jaminan kapan atau apakah visa akan keluar.
Namun begitu, uang tetap diminta di awal. Bahkan tak jarang, total paket bisa mencapai US$25.000 (setara Rp400 juta) hingga US$50.000 (Rp800 juta). Travel meminta setoran, jamaah percaya karena tergiur janji dan testimoni.
Tapi ketika visa gagal, cerita yang keluar pun bermacam-macam: dari hotel hangus, tiket tidak refundable, sampai kesalahan teknis pihak lain.
Lalu, siapa yang menanggung luka? Jamaah.
Travel Harus Bertransformasi, Bukan Jadi Spekulan
Travel penyelenggara haji bukan sekadar biro perjalanan. Mereka bukan broker saham yang boleh menjual resiko lalu lari dari tanggung jawab ketika pasar anjlok. Ini soal ibadah. Ini soal amanah.
Sudah saatnya travel berbenah. Transparansi harus menjadi standar, bukan pilihan. Jika visa belum keluar, dana jamaah harus tetap aman.
Kalau pun ada pengelolaan, harus melalui sistem escrow atau penampungan bersama yang bisa diaudit, bukan dikelola sewenang-wenang.
Tidak adil jika jamaah yang dengan ikhlas menyetor uang, bahkan ada yang menjual tanah atau berhutang justru malah harus menanggung kerugian karena kebijakan manajemen yang gegabah.
Jika gagal, travel harus berani mengembalikan dana sepenuhnya. Jangan ada lagi pola “kalau sukses, kami berhasil; kalau gagal, mohon dimaklumi.”
Negara Jangan Sekadar Mengimbau
Pemerintah tidak bisa terus hanya jadi penonton. Ini saatnya membuat regulasi ketat dan tegas.
Jika pengisian ATM saja harus disertai deposit miliaran rupiah oleh Penyelenggara Jasa Pengolahan Uang Rupiah (PJPUR), masa pengelolaan dana umat ratusan juta per kepala bisa tanpa jaminan?
Berikut beberapa langkah konkret yang bisa segera dilakukan: Pertama, Larangan promosi sebelum visa dibuka resmi oleh Arab Saudi. Kedua, rekening escrow wajib untuk semua travel penyelenggara Furoda.
Ketiga, audit berkala terhadap dana yang dihimpun. Keempat, sanksi pidana bagi travel yang menipu atau gagal mengembalikan dana. Kelima, blacklist nasional bagi travel bermasalah.
Baca Juga: Nasib Jemaah Haji Furoda RI, Bayar Rp400 Juta tapi Gagal Berangkat
Furoda seharusnya bukan jebakan. Kalau memang masih dimungkinkan, negara dan penyelenggara harus duduk bersama dan membangun sistem yang adil dan akuntabel.
Jangan ada lagi jamaah yang terkatung-katung, kehilangan uang, kehilangan waktu, bahkan kehilangan semangat karena merasa tertipu oleh janji manis atas nama ibadah.
Karena haji bukan dagangan. Dan niat baik umat jangan dikorbankan untuk spekulasi yang dibungkus manis. Jika Furoda tidak bisa ditata ulang dengan benar, lebih baik ditunda sampai siap dijalankan secara adil.***
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.