Ketika Presiden Tidak Netral, Aparat Pun Tidak Netral
Prabowo tidak netral di pilkada. Melanggar undang-undang dan etika.

Jakarta, TheStanceID - Presiden RI Prabowo Subianto makin terbuka menunjukkan kalau dia tidak netral di pilkada serentak 2024. Bahkan sudah tiga kali dia menunjukkan dukungannya kepada kandidat tertentu yang mengikuti pilkada.
Pertama, pilkada Jakarta. Prabowo mengundang Ridwan Kamil (RK) yang diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus untuk makan malam (1/11/2024). Foto makan malam itu lalu diunggah RK. Dia mengklaim telah mendapatkan dukungan dari Prabowo.
Kedua, pilkada Bali. Prabowo ke Bali bertemu dengan kandidat gubernur-wakil Gubernur Bali, Made Muliawan Arya dan Putu Agus Suradnyana (3/11/2024).
Ketika gilirannya bicara di forum, Prabowo berharap Made Muliawan Arya yang juga Ketua DPD Gerindra Bali itu bisa memenangkan Pilgub Bali 2024.
"Saya berharap, saya berdoa, saya meramalkan bahwa saudara Made Muliawan Arya terpilih sebagai Gubernur Bali yang akan datang dibantu oleh wakilnya bapak Putu Agus Suradnyana," katanya.
Yang terbaru, pilkada Jawa Tengah. Prabowo menyatakan dukungan kepada pasangan Komjen Pol (Purn) Ahmad Luthfi-Taj Yasin Maimoen. Dukungan disampaikan blak-blakan lewat video yang diunggah di akun @luthfiyasinofficial, Sabtu (9/11/2024).
Di video itu, Prabowo meminta warga Jawa Tengah mendukung Luthfi-Yasin. Menurutnya, Luthfi dan Yasin punya pengalaman memimpin Jateng sebagai kapolda dan wakil gubernur.
"Saya mohon warga Jawa Tengah berikan suaramu untuk Ahmad Luthfi-Taj Yasin," kata Prabowo di video itu.
Dukungan Prabowo kepada tiga kandidat ini menuai kontroversi. Dia dinilai telah melanggar etika sekaligus UU Pilkada Nomor 1 Tahun 2015.
Pelanggaran Terancam Pidana
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Rendy NS Umboh, menilai tindakan Prabowo yang memberikan dukungan lewat video terhadap Ahmad Luthfi di pilkada Jawa Tengah melanggar pasal 71 ayat 1 Juncto Pasal 188, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, dan berpotensi pidana.
Pasal 71 ayat 1 berbunyi "Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon".
Sedangkan bunyi Pasal 188: "Setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan 1 dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah)".
Menurut Rendy, sebagai pemimpin negara, Prabowo seharusnya menjaga agar demokrasi lebih sehat. "Selain persoalan pelanggaran undang-undang, ini soal etika bernegara juga," katanya.
Rendy mengingatkan bahwa Prabowo sudah mengatakan tidak akan ikut campur soal pilkada, tidak akan akan intervensi soal pilkada. "Tapi video [dukungan] tersebut menyatakan sebaliknya," katanya.
Sekadar catatan, Prabowo menyatakan tidak akan mencampuri urusan pilkada ketika berpidato di penutupan Kongres PAN di Jakarta (24/8/2024).
Dalam pidatonya, Prabowo mengatakan, "Tentang pilkada, pilkada kita serahkan ke junior-junior itulah, siapa pun yang dipilih nggak ada masalah, nggak ada kita, silakan, silakan. Nggak ada intervensi, saya jamin, nggak ada itu," katanya.
Istana Menampik Ada Pelanggaran
Lucunya Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, mengatakan sebagai Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo diperbolehkan untuk meng-endorse calon.
"Tidak ada aturan yang melarang Pak Prabowo meng-endorse calon," katanya, Minggu (10/11/2024).
Menurutnya, kepala negara dan menteri diperbolehkan memberikan dukungan kepada pasangan calon tertentu selama tidak menyalahgunakan fasilitas jabatan untuk berkampanye.
"Presiden dan para pejabat negara boleh ikut dalam kampanye, dengan ketentuan tidak menyalahgunakan fasilitas jabatan untuk berkampanye, atau berkampanye di hari kerja tanpa izin cuti," ujar Hasan lagi.
Hasan juga mengklaim aturan netralitas saat pemilihan umum (pemilu), termasuk pemilihan kepala daerah (pilkada), hanya berlaku untuk TNI-Polri dan Aparatur Sipil Negara (ASN), jadi menurutnya endorse yang dilakukan Prabowo tidak bermasalah.
"Aturan netralitas itu ditujukan bagi TNI/Polri dan para ASN. Menteri-menteri, terutama yang berasal dari partai politik juga boleh meng-endorse calon, bahkan boleh berkampanye," katanya.
Prabowo Harus Cuti
Terpisah, anggota Komisi II DPR dari fraksi PDI-Perjuangan, Deddy Yevry Sitorus, mengatakan tak mempermasalahkan endorsement atau rekomendasi Prabowo kepada Luthfi-Yasin. Namun hal itu harus dilakukan melalui prosedur yang benar.
"Istana mengatakan tidak ada larangan presiden kampanye, oh iya betul. Tapi UU kita mensyaratkan kalau mau kampanye, harus cuti. Jadi, Jubir Istana ini nggak ngerti UU," kata Deddy dalam rapat Komisi II DPR dengan Kemendagri, Senin (11/11/2024).
Deddy menilai bila Presiden ikut berkampanye mendukung calon tertentu di pilkada, maka publik kehilangan harapan pilkada berlangsung adil.
Pasalnya Prabowo memegang tiga jabatan sekaligus: kepala negara, kepala pemerintahan, dan panglima tertinggi angkatan bersenjata.
Dia khawatir pernyataan dukungan Prabowo diterjemahkan keliru oleh pemerintahan di bawahnya, hingga membuat pemerintah dan aparat berusaha memenangkan calon yang di-endorse presiden.
"Saya takutnya, walaupun mungkin Pak Presiden tidak berniat bahkan tidak terpikirkan, agar itu menjadi acuan seluruh instrumen di bawahnya, bisa ditangkap secara berbeda," katanya.
Sekadar informasi, aturan bahwa pejabat negara harus cuti bila kampanye dipertegas secara eksplisit di UU PIlkada pasal 70 ayat (2) lewat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XXII/2024, hingga menjadi:
Gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota, pejabat negara lainnya, serta pejabat daerah dapat ikut dalam kampanye dengan mengajukan izin kampanye sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk harus memenuhi ketentuan:
a. tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b. menjalani cuti di luar tanggungan negara.
Bawaslu akan Kaji
Menanggapi hal ini, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja memastikan pihaknya menelusuri video endorsement Prabowo Subianto ke calon gubernur dan calon wakil gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi dan Taj Yasin.
"Kami akan cek video tersebut, dan kami akan kaji," kata Rahmat Bagja, Minggu (10/11/2024).
Menurut Bagja, Bawaslu belum bisa menyatakan bahwa video tersebut pelanggaran atau tidak, lantaran dibutuhkan kajian terlebih dulu.
Meski demikian, Bagja mengatakan bila merujuk pada Pasal 71 dalam UU Pilkada, diatur bahwa pejabat negara dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
Dia juga menyebut bahwa di pasal 188 UU Pilkada, pelanggaran Pasal 71 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan, paling lama 6 bulan, dan denda paling sedikit Rp 600 ribu hingga maksimum Rp 6 juta.
Bawaslu Omong Doang?
Hanya persoalannya, apakah Bawaslu berani bertindak? Dalam catatan TheStanceID, pelanggaran di pilkada Jateng terbilang masif.
Sebelum kasus endorsement Prabowo, misalnya, pilkada Jateng sudah dibuat heboh dengan adanya pengerahan kepala desa untuk memenangkan calon tertentu. Mobilisasi kepala desa itu dilakukan di berbagai kabupaten.
Bahkan Bawaslu Kota Semarang pernah menangkap basah pengerahan kepala desa tersebut di sebuah hotel di Semarang, yang membuat para kepala desa yang lagi berkumpul kabur kocar-kacir.
Mobilisasi kades itu tidak hanya sekali, dan dilakukan dalam jumlah banyak.
Mobilisasi pertama diendus Bawaslu Semarang pada 17 Oktober 2024. Sebanyak 200 kades dari kabupaten Kendal dikumpulkan di suatu lokasi di Semarang Barat.
Tapi hingga kini tidak ada tindak lanjut atas pelanggaran tersebut, tidak ada sanksi.
Lucunya lagi, Bawaslu kabupaten justru menghentikan pengusutan terhadap kasus mobilisasi kepala desa ini.
Ini misalnya dilakukan Bawaslu Pekalongan yang menghentikan pengusutan kasus mobilisasi kades Pekalongan dengan alasan tidak cukup bukti.
Aparat Kepolisian Dikerahkan
Yang parah, tidak hanya aparat sipil seperti kepala desa. Polisi pun dikerahkan.
Podcast atau siniar Bocor Alus Politik Tempo, misalnya mengungkap bahwa aparat kepolisian dikerahkan untuk memenangkan pasangan Ahmad Luthfi-Taj Yasin Maimoen.
Bahkan menurut siniar tersebut, kepala desa yang tidak memenangkan pasangan Lutfi-Yasin dipanggil polisi, lalu ditekan dengan cara dilakukan pemeriksaan dana desa hingga 3 tahun ke belakang.
Pakar Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Hibnu Nugroho mengatakan berbagai pelanggaran netralitas oleh aparat ini akan merusak sistem pemilu.
Dia juga melihat sebenarnya mudah sekali bagi Bawaslu untuk melakukan penindakan hukum pidana pemilu. Dalih tidak cukup bukti sudah terlalu sering dipakai hingga tidak lagi meyakinkan.
"Sekarang tinggal niatnya saja [ada atau tidak]," katanya (26/10/2024). "Yang ditunggu masyarakat adalah keberanian Bawaslu untuk menindak. Atau jangan-jangan Bawaslu tidak berani?" (est)