Advokasi Prof Amal; dari Reformasi 1998, Jurnalisme, hingga Ariel Noah
Setelah Orde Baru tumbang, Prof Amal kembali mengabdi di UGM menjadi "begawan." Politik tak menyilaukannya.

Jakarta, TheStanceID - Indonesia kembali kehilangan putra terbaiknya. Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga mantan Ketua Dewan Pers, Ichlasul Amal, tutup usia pada Kamis (14/11/2024).
Ichlasul Amal adalah seorang pendidik, rektor, serta mantan Ketua Dewan Pers yang dikenal rendah hati, murah senyum dan dekat dengan mahasiswa.
Pria penyandang gelar profesor ini berpulang di usia 82 tahun di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) Jakarta.
Jenazah Rektor UGM periode 1998-2002 tersebut disemayamkan di Balairung Gedung Pusat UGM untuk mendapatkan penghormatan terakhir, sebelum dimakamkan di Pemakaman Keluarga UGM Sawitsari, Sleman, pada Kamis (14/11/2024) siang.
Kepergian sosok pengamat politik yang dikenal jernih tanpa berpihak ini meninggalkan duka mendalam bagi kolega dan rekan sejawat yang ikut menyampaikan duka cita sekaligus memberikan penghormatan terakhir.
Mereka memanggilnya; Prof Amal.
Di bawah kepemimpinannya, civitas akademika UGM memainkan peran penting dalam mewujudkan gerakan moral menuju reformasi 1998 yang menggulingkan Orde Baru.
Karier Akademik Cemerlang
Prof Amal merupakan anak keluarga pedagang Jember, Jawa Timur, yang akrab dengan budaya pesantren. Di sana, almarhum mengenyam pendidikan dasar dan menengah mulai dari SD, SMP, hingga SMA.
Pada tahun 1962, dia melanjutkan studi tingkat sarjana di Jurusan Hubungan Internasional (HI) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UGM, Gelar S1 diraihnya setelah lima tahun kuliah, melewati transisi politik dari era Sukarno ke era Orde Baru.
Saat dia lulus pada tahun 1967, UGM mengalami kekosongan pengajar karena banyak dosen pro-Partai Komunis Indonesia (PKI), ataupun dosen Sukarnois, yang dituduh terlibat G30S dan dikeluarkan.
Oleh karena itu, Prof Amal langsung diangkat menjadi dosen di almamaternya tanpa melamar. Sebagai dosen muda, dia berkesempatan bekerja sembari mengejar pendidikan lebih tinggi dengan memanfaatkan beasiswa di luar negeri.
Dia meraih gelar Magister Ilmu Politik dari Northern Illinois University, Amerika Serikat (AS) pada 1974. Lalu, gelar Doktor Ilmu Politik dari Monash University, Melbourne, Australia pada 1984.
Dari situ, dia pun malang melintang menduduki berbagai posisi di UGM.
Tercatat, ia pernah menjabat Direktur Pusat antar Universitas Studi Sosial UGM pada 1986-1988. Kemudian, menjadi Dekan Fisipol pada 1988-1994 dan Direktur Program Pascasarjana pada 1994-1998.
Puncak karirnya diraih pada era reformasi tersebut, dengan menjadi Rektor UGM ke-11 (periode 1998-2002).
Mendukung Gerakan Mahasiswa
Menjabat sebagai Rektor UGM, Prof Amal berperan sangat penting dalam memastikan gerakan moral mahasiswa bersemai pada 1998. Dia membuka ruang seluas-luasnya bagi mahasiswa untuk menyuarakan aspirasi di lingkungan kampus.
Pada saat terjadi demonstrasi besar-besaran di Yogyakarta pada 20 Mei 1998, ia bersama Sri Sultan Hamengku Buwono X, didampingi Ratu Hemas, ikut berorasi di lapangan depan Grha Sabha Pramana UGM di depan ribuan mahasiswa.
Dari situ, dia bersama ribuan mahasiswa bergerak menuju ke Keraton Yogyakarta dengan berjalan kaki, menuntut presiden Soeharto mundur dan mendorong reformasi untuk mengatasi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Ketika Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan polisi merepresi aksi demonstrasi mahasiswa dengan penangkapan, Pak Amal datang ke Polda DIY dan memberi jaminan agar puluhan mahasiswa yang ikut demonstrasi dibebaskan.
Mengawal Etika Pers
Setelah Reformasi sukses menumbangkan Orde Baru, Prof Amal tak mengejar ambisi politik sebagaimana yang dilakukan beberapa akademisi kala itu. Dia memilih kembali mengabdi di “padepokannya” sebagai guru besar politik.
Selanjutnya, dia dipercaya menjadi ketua Dewan Pers (2003-2010). Di bawah kepemimpinannya, Dewan Pers bersama 29 organisasi pers berhasil menyusun Kode Etik Jurnalistik baru pada tahun 2006.
Hingga kini, landasan moral dan etika profesi para wartawan tersebut masih berlaku dan belum berubah, menjadi pedoman jurnalis dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme pers.
Akademisi cum peneliti media Ignatius Haryanto melalui akun Instagram pribadinya menyebut Ichlasul Amal sebagai sosok pemimpin yang baik. Ia mengenang kerja keras Ichlasul Amal dalam menyusun Kode Etik Jurnalistik baru.
"Pada masanya lah saya diberi tugas memfasilitasi perumusan kode etik jurnalistik yang disahkan tahun 2006 dan dipakai hingga sekarang. Selamat beristirahat dengan tenang Pak Ichlasul. Doa kami bersamamu," tulis Ignatius.
Tak berhenti di sana, Dewan Pers di era Ichlasul Amal juga merumuskan mekanisme Pedoman Hak Jawab yang penting bagi pers Indonesia.
Dewan Pers saat itu juga mulai menjalankan kewenangan sebagai penilai akhir sekaligus pemberi sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik yang dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.
Kejernihannya teruji ketika dia justru membela artis Ariel Ilham ketika digugat wartawan gara-gara menepis kamera yang disodorkan hingga mengenai wajahnya.
Padahal, kamera yang dioperasikan Ziqrullah Shubhy, wartawan Trans TV, mengalami kerusakan, sehingga Shubhy melaporkan Ariel ke Bareskrim.
"Saya lihat, wartawan juga mengambil gambar di hidungnya [Ariel]. Itu tidak bisa. Itu mengganggu privasi. Kalau refleks begitu wajar saja," katanya seperti dikutip Okezone, Senin (14/6/2010).
Kepergian Ichlasul Amal dan kritik jernih dan santunnya, di tengah gejala kebangkitan tiga setan reformasi (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) akhir-akhir ini, menjadi kehilangan besar bagi Indonesia, terutama di dunia pers dan pendidikan.
Selamat jalan Prof Amal.. (est)