Jakarta, TheStance - Korban keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) berjatuhan, yang terparah sejauh ini di Bandung Barat, Jawa Barat. Desakan reformasi pengadaan MBG mencuat, karena cuan ke SPPG tak sepadan dengan risiko keselamatan siswa.
Sejak Senin (22/9/2025) hingga Rabu (24/9/2025), Dinas Kesehatan Bandung Barat menyebut bahwa korban telah mencapai 842 pelajar, mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga sekolah menengah atas (SMA) di Cipongkor dan Cihampelas.
Berdasarkan catatan dinkes setempat, mulanya yang mengalami keracunan hanya 393 siswa pasca menyantap menu MBG dari Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Cipari di Kecamatan Pongkor, lalu bertambah 449 siswa selang dua hari kemudian.
Kepala Plt Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Bandung Barat mengatakan bahwa dari kondisi ini beruntung penanganan bantuan dilakukan dengan cepat. Meski begitu, terjadi kendala khususnya ketersediaan oksigen.
“Petugas sempat kewalahan oksigen, tetapi tidak berlangsung lama. Banyak yang memasok tabung ke posko-posko,” ujar Lia.
Mereka mengalami gejala berat mulai dari dehidrasi, kejang hingga penurunan kesadaran. Karena terlalu banyak korban, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cililin tidak dapat menampung lebih banyak pasien, alhasil harus dialihkan ke RS lainnya.
Kejadian ini menambah rentetan kasus keracunan pasca konsumsi MBG. Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat setidaknya 4.711 pelajar jatuh menjadi korban, menurut investigasi sejak awal MBG dijalankan seperti diungkap Kepala BGN Dadan Hindayana.
Lebih rinci, wilayah I meliputi Pulau Sumatera tercatat korban keracunan sebanyak 1.281 orang, kemudian wilayah II mencakup Pulau Jawa memiliki dengan 27 kasus gangguan kesehatan peserta didik sebanyak 2.606 orang.
Kemudian di wilayah III terdiri dari Pulau Kalimantan, Sulawesi hingga Papua tercatat 11 dugaan kasus keracunan yang dialami oleh 824 peserta didik.
Janji Evaluasi Ketat
Merespons kejadian di Bandung Barat, Dadan berjanji menindaklanjuti melalui evaluasi ketat, khususnya kepada anak yang mengalami trauma. SPPG yang terlibat dalam kasus keracunan ini diperintahkan menghentikan operasinya sementara.
“Maka kami minta setop untuk beroperasi sambil melakukan evaluasi, analisis, termasuk bagaimana membuat recovery trerhadap anak yang mengalami trauma.
Berdasarkan video yang beredar di media sosial, tidak sedikit yang menampakkan kondisi darurat korban keracunan, bahkan kejadian di Bandung Barat memperlihatkan antrian ambulans yang membawa para korban.
Epidemiolog cum pakar keamanan kesehatan dunia Dicky Budiman menegaskan bahwa keracunan massal MBG adalah sinyal serius kegagalan sistem. Perlindungan terhadap anak harus menjadi prioritas utama dalam kebijakan pangan sekolah.
“Keracunan massal punya risiko tinggi. Sebagai warga negara, saya meminta formatnya dirubah. Orang tua bisa disiapkan alokasi anggaran untuk menyiapkan makanan bagi anak, atau negara menyiapkan infrastruktur sekolah yang layak untuk penyediaan makanan,” ujarnnya kepada TheStance.
Menurut Dicky, anggaran tahun 2026 sebesar Rp335 triliun untuk program MBG bukan jumlah yang kecil. Karena itu, implementasinya harus benar-benar menggunakan strategi baru yang meminimalkan risiko.
“Ribuan korban yang sudah terjadi adalah alarm terakhir untuk menghentikan MBG dengan format yang sekarang berjalan. Mengevaluasi sebab-sebab keracunan tanpa mengubah sistem hanya akan membuang anggaran dan waktu,” tegasnya.
Efek Bergulir Program MBG
Sasaran program MBG sebenarnya bukan hanya untuk memasok gizi yang berimbang untuk anak-anak sekolah di seluruh Indonesia. Di baliknya, ada misi untuk menggerakkan ekonomi yang berasal dari triliunan dana yang dialokasikan per bulan.
Pada Agustus lalu, Dadan menggadang-gadang bahwa multiplier effect program MBG sangatlah signifikan bagi perekonomian, mulai dari membuka lapangan kerja baru hingga mendorong aktivitas ekonomi masyarakat.
“Setiap satu rupiah yang diinvestasikan mampu menciptakan peredaran uang hingga lima kali lipat,” kata dia dalam gelar wicara di Antara Heritage Center, Jakarta, Selasa (19/8/2025), seperti dikutip Berita Satu.
Data Badan Gizi Nasional (BGN) menunjukkan, hingga pertengahan Agustus 2025, sudah berdiri 5.905 dapur MBG atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang melayani sekitar 20,5 juta penerima manfaat.
Pendirian dapur-dapur tersebut dilakukan melalui kolaborasi dengan pengusaha lokal, organisasi masyarakat, serta lembaga swadaya masyarakat, tanpa menambah beban pada APBN 2025.
Investasi yang terserap dari masyarakat untuk membangun infrastruktur dapur sendiri diperkirakan mencapai Rp12 triliun. Ditambah sekitar 19.000 dapur lain yang sudah ada tapi belum beroperasi, nilai investasi diproyeksikan menembus Rp38 triliun.
Oleh karenanya, secara keseluruhan perputaran ekonomi dari program ini diprediksi mencapai Rp50 triliun, yang tentunya mengalirkan keuntungan untuk mereka yang terlibat dalam rantai pasoknya.
Standar Keamanan Pangan Rendah
Namun di balik optimisme soal perputaran ekonomi, Dicky menyoroti data pemerintah yang menunjukkan rendahnya standar keamanan pangan di dapur MBG. Dari 8.583 dapur, hanya 34 dapur (0,4%) yang bersertifikat higienitas dan sanitasi.
Dari 1.379 SPPG, hanya 413 (30%) yang memiliki SOP keamanan pangan, dan lebih sedikit lagi yang benar-benar menjalankannya.
“Keracunan pangan sekolah bukan takdir. Ini bisa dicegah dengan standar sederhana dan konsisten. Prioritas nomor satu adalah melindungi anak-anak kita dari risiko di titik paling dekat, yaitu dapur dan penjamah makanan,” ujar Dicky.
Kasus keracunan di Bandung Barat yang menimpa lebih dari 400 anak, menurutnya, mencerminkan kegagalan kontrol risiko di titik kritis rantai penyediaan makanan, mulai dari penjamah, air, bahan baku, penyimpanan, pemasakan, hingga distribusi.
“Keracunan pangan di sekolah itu sepenuhnya bisa dicegah. Kejadian berulang ini adalah sinyal kegagalan governance, pembinaan, dan pengawasan,” ujarnya.
Dicky mendorong presiden segera membentuk Satgas Nasional Keamanan Pangan MBG lintas lembaga, yakni Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Selain itu juga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Badan Pengawasan Keuangan & Pembangunan (BPKP) Kementerian Agama (Kemenag), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
“Dapur yang tidak memenuhi syarat higienis harus segera dihentikan sementara. Lakukan audit kilat, rapid assessment, serta pelatihan darurat bagi semua penjamah makanan,” jelasnya.
Harus Menyesuaikan Kondisi Daerah
Strategi komunikasi risiko yang transparan dan berbasis data, audit berkala, serta insentif bagi penyedia makanan yang patuh juga harus diberikan. Selain itu, pendekatan kebijakan harus disesuaikan dengan kondisi daerah, menurut Dicky.
“Model top-down yang seragam tidak selalu efektif. Kita butuh hybrid model. Di kota besar bisa dengan katering skala besar, di daerah libatkan warung lokal atau koperasi sekolah dengan pengawasan puskesmas, di wilayah terpencil gunakan paket makanan kering bergizi yang tahan lama,” paparnya.
Ekonom Universitas Andalas Syafrudin Karimi menegaskan bahwa program MBG memiliki risiko tinggi jika tak diubah formatnya. Keracunan massal yang berujung pada ribuan korban kali harus menjadi alarm terakhir untuk menyetop pola MBG saat ini.
“Sebagai warga negara, kita meminta formatnya segera diubah. Solusinya bisa langsung dengan memberikan alokasi anggaran kepada orang tua agar mereka menyiapkan makanan untuk anak-anaknya, atau menyiapkan infrastruktur yang layak di sekolah untuk mengolah makanan dan melayani murid,” tegasnya.
Meski model tersebut bakal memangkas potensi para pemburu cuan di balik bisnis SPPG, Syafrudin menegaskan kepentingan utama yang harus dijaga adalah keselamatan anak-anak dari risiko keracunan dan bukan yang lain-lain.
Ia mengingatkan, pada tahun 2026 pemerintah telah menganggarkan dana sebesar Rp335 triliun untuk program ini. “Itu bukan jumlah kecil. Karena itu, implementasinya harus dengan strategi baru yang meminimalkan risiko terhadap anak-anak, sebagai generasi masa depan bangsa,” katanya.
Ia juga mengritik politisi yang kurang realistis memahami situasi lapangan. “Kalau hanya fokus mencari dan mengevaluasi penyebab keracunan, itu hanya akan membuang anggaran dan waktu,” ujarnya.
Baca Juga: Waspada! Pengelola MBG Lalai Penyebab Keracunan Massal Berisiko Dipidana
Syafrudin menambahkan, kasus Bandung Barat seharusnya jadi titik balik untuk membenahi tata kelola MBG secara menyeluruh.
Bila pemerintah tidak segera melakukan perubahan format dan strategi, maka anggaran triliunan rupiah yang digelontorkan hanya akan berakhir sebagai proyek yang menimbulkan masalah baru bagi generasi penerus bangsa.
Kasus keracunan massal yang berulang menunjukkan bahwa program MBG tidak bisa lagi dibiarkan berjalan dengan pola lama. Para ahli menilai keselamatan dan kesehatan anak-anak harus menjadi prioritas utama, bukan sekadar pemenuhan target.
Jika pemerintah serius ingin membangun generasi sehat dan cerdas, reformasi menyeluruh pada tata kelola MBG mutlak diperlukan mulai dari dapur, distribusi, hingga pengawasan agar anggaran triliunan rupiah menghadirkan gizi, bukan racun. (par)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance