Jakarta, TheStanceID – Pemerintah dinilai kurang kreatif menggali potensi penerimaan negara lewat pajak.
Selama ini, kebijakan perpajakan pemerintah digambarkan layaknya "berburu di kebun binatang".
Ini disampaikan lembaga penelitian Center of Economic and Law Studies (Celios) dalam peluncuran riset mereka tentang kondisi perpajakan Indonesia, Rabu (12/8/2025).
Tidak sulit berburu di kebun binatang. Sebab hewan di sana dikurung. Pemburu yang masih belajar menggunakan senapan pun pasti dapat buruan, karena tinggal menembak dari luar kerangkeng.
Dalam dunia pajak, analogi itu artinya kebijakan perpajakan yang menyasar wajib pajak yang mudah teridentifikasi, terdokumentasi, dan sudah patuh. Ini misalnya pegawai, guru, dosen, karyawan swasta, buruh, atau UMKM, yang kini sedang merasakan lesunya daya beli.
Tapi pemburu sebenarnya tidak akan main tembak-tembakan di kebun binatang.
Mereka akan pergi ke hutan rimba. Sebab di sanalah para kakap bersembunyi. Hewan buruan yang besar-besar, buas dan ganas, tapi bila berhasil ditembak, hasilnya akan luar biasa.
Dalam dunia pajak, berburu di hutan rimba berarti mengejar kelompok kaya, para korporasi besar, atau pihak-pihak yang menyembunyikan kekayaan mereka melalui skema rumit seperti transfer pricing atau menaruh kekayaan di negara tax haven.
Lebih sulit memang daripada berburu di kebun binatang. Tapi di hutan rimba itulah triliunan uang ditumpuk.
Pemerintah akan mendapat pemasukan pajak sangat besar seandainya berburu di rimba tersebut, kalau berani.
Riset Celios yang diluncurkan Rabu lalu itu menyarankan pemerintah untuk berburu di hutan rimba. Judul risetnya, “Dengan Hormat, Pejabat Negara: Jangan Menarik Pajak Seperti Berburu di Kebun Binatang”.
Dalam hitungan Celios, bila pemerintah berani menarget kelompok kaya, korporasi kaya dan pihak-pihak yang menyembunyikan kekayaan mereka, akan ada tambahan pemasukan pajak sebesar Rp524 triliun.
Jangan Terus Menggenjot Pajak dari Rakyat Kecil
Direktur Kebijakan Fiskal Celios, Media Wahyudi Askar, menilai bahwa masalah utama adalah kebijakan pajak makin bergantung pada pajak konsumsi regresif seperti Pajak Pertambahan nilai (PPN).
Terbukti pada 2024, kontribusi PPN mencapai Rp819 triliun atau setara 36,7% dari total penerimaan pajak.
Padahal PPN tidak adil karena bersifat pukul rata. Si kaya dan si miskin dikenai tarif sama.
Selain itu, PPN lebih menekan rakyat kecil. Sebab rakyat kecil menggunakan hampir seluruh pendapatannya untuk konsumsi, yang berarti makin banyak PPN yang mereka setor.
Ini berbeda dari kelompok kaya yang hanya sebagian kecil pendapatannya untuk konsumsi.
"Coba bayangkan Rafi Ahmad, Deddy Corbuzier. Mereka tidak mungkin spending [konsumsi] Rp1 miliar per hari. Mereka hanya spending [konsumsi] sedikit dari persentase dari total pendapatan mereka. Berbeda dengan masyarakat miskin, yang menghabiskan bahkan 120% dari pendapatannya untuk spending [konsumsi], 20%-nya dari hutang," kata Media dalam agenda peluncuran publikasi di Jakarta, Selasa (12/8/2025).
Kebijakan pajak yang seperti "berburu di kebun binatang" ini jelas tidak adil bagi rakyat miskin.
Karena itu Celios pun mendorong pemerintah untuk berani berburu di "hutan rimba", menarget para orang kaya.
"Pemerintah yang hanya bersandar pada PPN regresif ibarat pemalak yang gagah di hadapan rakyat kecil, tapi kecut nyali di hadapan konglomerat super kaya," demikian tulis laporan Celios tersebut.
Lantas, apa saja yang menurut Celios bisa menjadi alternatif sumber penerimaan baru negara?
11 Potensi Penerimaan Negara dari Pajak Progresif
Dalam risetnya, Celios mengidentifikasi setidaknya ada sebelas sumber potensi penerimaan baru yang lebih progresif.
Pertama, meninjau ulang insentif pajak yang tidak tepat sasaran. Potensi penerimaan ini bisa mencapai Rp137,4 triliun per tahun.
Kedua, penerapan pajak kekayaan. Berdasarkan perhitungan Celios, potensi penerimaan negara dari pajak kekayaan dari 50 orang terkaya Indonesia saja bisa mencapai Rp81,6 triliun per tahun.
Ketiga, pajak karbon. Potensi pajak ini mencapai Rp76,4 triliun per tahun.
Keempat, pajak produksi batu bara. Potensinya mencapai Rp66,5 triliun per tahun.
Kelima, pajak windfall profit atau pungutan atas kenaikan laba berturut-turut akibat lonjakan harga komoditas sektor ekstraktif. Potensi pajaknya mencapai Rp50 triliun per tahun.
Keenam, pajak pengurangan keanekaragaman hayati dengan potensi Rp48,6 triliun per tahun. Ini adalah pajak baru yang dikenakan kepada pelaku usaha atau industri yang menghiangkan keanekaragaman hayati melalui penggundulan hutan (deforesasi), konversi lahan, eksploitasi bentang alam, atau berbagai tndakan lain yang menyebabkan kepunahan spesies dan kerusakan degradatif lain.
Ketujuh, pajak digital, dengan potensi penerimaan mencapai Rp29,5 triliun per tahun. Pajak digital ini jangan hanya menyasar pedagang di marketplace, tapi juga platform digital lintasnegara, uang kripto, hingga pinjaman daring (P2P Lending).
Kedelapan, kenaikan tarif pajak warisan (inheritance tax) dengan potensi penerimaan Rp20 triliun per tahun. Selama ini pemerintah hanya memungut 5% atas tanah dan bangunan yang diwariskan. Padahal, warisan bukan hanya tanah dan bangunan. Justru di era sekarang, warisan lebih banyak berupa saham perusahaan, atau simpanan uang yang langsung menjadi sumber akumulasi kekayan baru ahli waris.
Kesembilan, pajak kepemilikan rumah ketiga, dengan potensi penerimaan Rp4,7 triliun per tahun. Pajak untuk rumah ketiga ini tidak bisa lagi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Sebab nilainya kecil. Padahal individu yang mampu memiliki tiga rumah jelas orang kaya. Untuk mereka diperlukan pajak baru yang lebih tinggi ketika terjadi transaksi pembelian rumah ketiga.
Kesepuluh, kenaikan tarif pajak capital gain atau keuntungan dari saham dan aset finansial lainnya. Potensi pajak ini Rp7 triliun per tahun.
Kesebelas atau terakhir yaitu cukai minuman berpemanis dalam kemasan, yang dinilai dapat mendukung kesehatan publik sekaligus menambah potensi penerimaan hingga Rp3,9 triliun.
Media menambahkan, usul ini sudah mereka sampaikan ke Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu.
Lewat usulan itu, mereka meminta pemerintah tak melulu 'berburu di kebun binatang' dengan fokus menyasar wajib pajak yang sudah teridentifikasi..
"Saya yakin seyakin-yakinnya Kementerian Keuangan sudah mengidentifikasi ini, mungkin sudah punya angkanya juga. Tapi ini sengaja kami munculkan ke publik sebagai sebuah perdebatan agar kita bisa melihat secara keseluruhan bahwa ada cara lain, alternatif strategi lain, yang sangat impactful dalam meningkatkan potensi perpajakan kita. Mulai dari pajak kekayaan, pajak karbon, pajak warisan, hingga cukai minuman berpemanis," ungkapnya.
Menurutnya, masyarakat hanya akan taat membayar pajak bila sistem perpajakan Indonesia sudah benar-benar adil.
Ketidakadilan Perpajakan
Dalam catatan TheStance, isu ketidakadilan perpajakan adalah salah satu isu krusial dalam kebijakan pajak Indonesia.
Pemerintah dinilai tidak berani tegas kepada orang kaya.
Pada 2016 misalnya, untuk menarik pajak dari orang yang menyembunyikan kekayaannya, pemerintah bukannya melakukan penegakan hukum melainkan memberi pengampunan (tax amnesty), dengan memberi denda yang persentasenya lebih kecil dibandingan tarif pajak normal.
Ketika itu Presiden Jokowi mengeklaim bahwa tax amnesty hanya akan dilakukan sekali, dan akan dilanjutkan dengan penegakan hukum bila masih terjadi pelanggaran.
Tidak disangka, pada 2022, kembali digulirkan tax amnesty jilid II, meski dengan selubung nama Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Tapi esensinya tetap tax amnesty, tidak ada penegakan hukum bagi penghindar pajak. Cukup bayar denda dengan tarif lebih rendah dbanding tarif pajak normal.
Yang kelewatan, wacana tax amnesty jili III sempat digulirkan pemerintah pada awal 2025 ini. Hanya proses itu tersendat di DPR.
Itu semua menunjukan pemerintah terus memberikan privilege kepada orang kaya dalam soal pajak.
Riset Celios menggunakan istllah "kecut nyali". Pemerintah dinlai tidak punya nyali, alias tidak berani, memajaki orang kaya.
Apakah hingga kini ketidakadilan itu masih terus berlangsung?
Masih.
Riset Celio mengungkap betapa banyaknya insentif pajak yang mengalir ke korporasi, dalam bentuk tax holiday dan sejenisnya.
"Insentif pajak mengalir deras, menyusup lewat celah pajak korporat ke kantong orang super kaya, sementara karyawan kecil diperas kering. Ini tidak adil!" demikian tulis riset tersebut.
Tiga Masalah Kebijakan Pajak Indonesia
Dalam paparannya, Celios mengungkap tiga masalah utama dalam sistem perpajakan Indonesia.
Dan masalah ini bukan semata pada pada soal kelembagaan, tapi juga mencakup political wiill.
Pertama, lemahnya integrasi data perpajakan. Ini tercermin dari tidak adanya sistem basis data kekayaan lintas sektor. Konsekuensinya pemerintah tak dapat menjangkau akumulasi aset finansial, warisan, keuntungan, dan laba korporasi besar.
Kedua, penegakan hukum yang tidak proporsional dan menyuburkan praktik penghindaran pajak. Pelanggar hanya menghadapi risiko sanksi rendah dan denda administratif tanpa proses hukum --inilah tax amnesty.
Ketiga, politik fiskal yang kompromistis. Ini tercermin dari prioritas kebijakan pemerintah yang lebih mendorong stabilitas jangka pendek yang didukung oleh konsensus politik.
Ini memang soal politik.
Menurut Celios, kebijakan pajak progresif tidak populer karena resistensi dari elite ekonomi yang selama ini diuntungkan oleh sistem pajak permisif. Resistensi kelas atas ini merupakan hambatan nyata dalam menciptaan sistem perpajakan yang berkeadilan.
Dalam bahasa sederhana, kebijakan pajak yang menarget orang kaya bisa dipastikan akan ditentang habis oleh para elit ekonomi negeri ini. Mereka adalah pihak-pihak yang memiliki pengaruh, baik politik maupun ekonomi, terhadap pemerintahan.
Karena itulah kebijakan pajak yang menarget orang kaya lebih sulit dilakukan, karena lawannya berat. Lebih mudah memajaki rakyat kecil karena mereka sering tidak mampu melawan.
Istlah "kecut nyali" yang disebut Celios dalam risetnya bukan tanpa dasar.
Penerimaan 2025 Tertekan
Sekadar catatan, pada 2025 ini pemerintah memprediksi penerimaa pajak akan kembal tertekan.
Ini disampaikan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dalam rapat dengan Badan Anggaran DPR, Selasa, (1/72025).
"Pada kuartal I-2025 kita cukup mengalami tekanan dari sisi pendapatan negara, karena beberapa measures seperti Pajak Pertambahan Nilai yang tidak jadi di-collect dan juga dividen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tidak dibayarkan karena sekarang dipegang Danantara,” kata Sri.
Penerimaan negara pada 2025 diprediksi hanya akan mencapai Rp 2.865,5 triliun atau 95,4% dari target APBN.
Yang jadi pertanyaan tentu: bagaimana pemerintah akan mengatasi hal ini?
Apakah dengan menaikkan PPN hingga 12%? Mengoptimalkan pajak UMKM? Pajak karyawan?
Bila solusinya kembali berburu di kebun binatang, sampai kapan ketidakadilan perpajakan terus berlansung? Kapan pemerintah punya nyali memajaki orang kaya? (est/bsf)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.