Jalur Laut Krusial di Peta Geopolitik Dunia, dari Hormuz hingga Indonesia

Selat Hormuz dan Selat Malaka akan tetap menjadi pusat ketegangan selama belum ada jalur laut alternatif.

By
in Now You Know on
Jalur Laut Krusial di Peta Geopolitik Dunia, dari Hormuz hingga Indonesia
Kapal induk pertama Iran, Martyr Bahman Bagheri (C-110-4), diluncurkan pada Jumat (6 Februari 2025) di Teluk Persia, di tengah meningkatnya ancaman Presiden Amerika Serikat Donald Trump. (Sumber: irib)

TheStanceID - Buntut ancaman Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap Iran, Garda Revolusi Keamanan Iran (Iranian Revolutionary Guardian Corp/IRGC) menyatakan kesiapannya menutup Selat Hormuz demi membela kepentingan nasionalnya.

"Kami memiliki kapabilitas untuk menutup Selat Hormuz," tutur Komandan Angkatan Laut Iran Jenderal Alireza Tangsiri dikutip Iran International, pada Minggu (9/2/2025). Pihaknya siap menjalankan tugas itu jika pemimpin tertinggi Iran menggariskannya.

Namun, lanjutnya, langkah tersebut dinilai belum perlu untuk diambil selama kekuatan militer Iran yakni misil, drone, dan armada Iran masih cukup untuk melawan ancaman geopolitik.

Ini bukanlah kali pertama Iran mengajukan ancaman menutup Selat Hormuz. Sebelumnya pada 2012, Iran mengancam menutup Selat Hormuz jika Blok Barat tak mencabut sanksi ekonomi sepihak atas proyek pembangkit listrik tenaga nuklir di Iran.

Menanggapi ancaman itu, Blok Barat yang dipimpin AS pun berunding dengan Iran, yang berujung pada kesepakatan untuk mencabut sanksi tersebut melalui Joint Comprehensive Plan of Action (JCPoA) pada 24 November 2013.

Trump merobek perjanjian itu pada 8 Mei 2018, hingga dua tahun kemudian Iran memutuskan tak lagi mematuhi kesepakatan yang sudah dibuang ke tempat sampah tersebut.

Pada 2025, ketika Trump berkuasa untuk kedua kalinya, dia kembali menekan Iran untuk sepenuhnya meninggalkan program nuklir dalam bentuk apapun yang berujung lontaran Iran untuk memblokade Selat Hormuz.

Ini menunjukkan pentingnya selat internasional dalam percaturan politik global. TheStanceID mengompilasi selat-selat lain yang juga memiliki peran krusial dalam percaturan politik global, salah satunya ada di wilayah NKRI.

Berikut ini ulasannya:

Selat Krusial Minyak Dunia

Selat Hormuz merupakan salah satu jalur maritim paling strategis di dunia, yang menghubungkan Teluk Persia dengan Laut Arab. Selat ini menjadi krusial sebab lebih dari 20% perdagangan minyak dunia melewatinya setiap hari.

Namun di sisi lain, selat ini menjadi rebutan terutama Iran, AS, dan sekutunya di Teluk Persia untuk mendapatkan kontrol atas jalur ini, yang sering kali memicu ketegangan dan konflik terbuka.

Iran menganggap Selat Hormuz sebagai bagian dari wilayah negaranya. Dengan kontrol atas beberapa pulau strategis di selat ini, Iran memiliki kapasitas militer untuk mengganggu arus kapal tanker minyak yang melintas.

Tak heran, Negeri Ayatollah ini terus memperkuat Angkatan Lautnya dan sering memamerkan latihan militer, menebar ranjau laut, serta menyita kapal tanker asing yang dianggap melanggar aturan perairannya.

Sementara itu AS sebagai negara adidaya menentang ambisi Iran atas Selat Hormuz karena minyak adalah jantung ekonominya. AS membangun 21 pangkalan militer di wilayah Teluk Persia, dengan pangkalan angkatan laut di Bahrain, UEA, dan Qatar.

Merespons Iran, AS dan sekutu-sekutunya kerap menggelar patroli militer dan latihan perang di kawasan ini. Selain itu, AS juga melindungi kapal dagangnya melalui Operasi Sentinel, sebuah misi maritim untuk memastikan kebebasan navigasi di selat ini.

Pangkal Perbedaan Iran-Saudi

Negara-negara Teluk yang merupakan sekutu AS seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Bahrain mendukung kehadiran militer AS dan bahkan membangun jalur pipa alternatif agar tidak terlalu bergantung pada Selat Hormuz.

Iran melihat hubungan negara Teluk dengan AS sebagai ancaman sehingga acap kali menyerang kapal tanker yang terafiliasi dengan Arab Saudi dan UEA, serta infrastruktur minyak mereka seperti yang dialami kilang minyak Aramco di Saudi pada 2019.

Sejumlah insiden besar akibat konflik kekuasaan di Selat Hormuz antara lain pada tahun 1988 melalui Operasi Praying Mantis, di mana AS menyerang kapal perang Iran sebagai balasan atas serangan ranjau terhadap kapal perangnya.

Selain itu di tahun 2018-2019, Iran menembak jatuh drone AS dan menyita kapal tanker Inggris serta kapal tanker berbendera lain sebagai pembalasan atas langkah Trump meninggalkan kesepakatan JCPOA.

Terakhir pada 2023-2024, ketegangan kembali meningkat ketika Iran dan kelompok-kelompok proksi menyerang kapal-kapal terkait Israel dan AS sebagai bentuk tekanan bagi Israel dan sekutunya untuk menghentikan genosida di Gaza, Palestina.

Jejak perbedaan Iran dan Saudi terlihat dari dukungan Iran terhadap Hamas yang non-kooperatif melawan Israel, sementara kubu Saudi mendukung faksi Fatah (Palestinial Liberation Organization/PLO) di bawah Mahmoud Abbas yang lebih kooperatif.

Hingga kini Iran berusaha mempertahankan dominasinya di kawasan ini sebagai alat tawar-menawar politik, melawan AS dan sekutunya yang ingin menjaga kebebasan navigasi dan keamanan pasokan minyak dunia.

Selama persaingan antara kekuatan-kekuatan ini masih berlangsung dan belum ada alternatif untuk jalur migas dunia, Selat Hormuz akan tetap menjadi pusat ketegangan dan potensi konflik di Timur Tengah.

Selat Malaka, Jalur Historis Indonesia

Terusan lain yang juga bernilai strategis adalah Selat Malaka, yang menjadi jalur perdagangan Asia Pasifik. Selat ini menjadi salah satu jalur maritim tersibuk dan paling strategis di dunia, yang menghubungkan Samudra Hindia dengan Samudra Pasifik.

Selat yang terletak di antara Semenanjung Malaysia dan Sumatera, ini memliki panjang sekitar 800 kilometer dan lebar tersempit hanya 2,8 km di dekat Singapura. Selat Malaka telah menjadi pusat aktivitas ekonomi sekaligus sumber konflik.

Dalam sejarahnya, sejak abad ke-7, Selat Malaka menjadi jalur perdagangan utama yang digunakan oleh Kerajaan Sriwijaya untuk mengendalikan lalu lintas dagang antara India, Timur Tengah, dan Tiongkok. Selat ini menjadi rute utama bagi kapal-kapal yang membawa rempah-rempah, sutra, emas, dan barang dagangan lainnya.

Pada abad ke-15, selat ini dikendalikan Kesultanan Malaka dan menjadikan pusat perdagangan yang makmur. Tidak ada monopoli yang diberlakukan, karena semua kapal dari negara manapun memiliki hak akses yang sama.

Sayangnya Portugis menaklukkan mereka pada tahun 1511. Sejak saat itu, selat Malaka telah menjadi arena perebutan militer karena Portugis memberlakukan praktik monopoli perdagangan di kawasan ini.

Pada tahun 1600-an, Belanda mengambil alih kekuasaan dari Portugis dan mengontrol jalur dagang. Selanjutnya di tahun 1800-an, Inggris masuk dan mulai menguasai wilayah sekitar, termasuk Singapura, sebagai pusat perdagangan utama.

Pada tahun 1942-1945, selama Perang Dunia II, Jepang menduduki Singapura dan mengontrol Selat Malaka untuk kepentingan militernya.

Jadi Pusat Persaingan China-AS

Hingga kini, Selat Malaka tetap menjadi jalur strategis yang diperebutkan dalam geopolitik global, terutama terkait kepentingan negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok.

Selat Malaka menjadi jalur perdagangan yang menampung lebih dari 100.000 kapal per tahunnya, termasuk kapal tanker minyak dan kapal kargo yang membawa barang dari Asia Timur ke Eropa dan Timur Tengah.

Beberapa isu lain menyertai selat ini mulai dari Keamanan Navigasi, karena rawan akan rompak. Meskipun patroli keamanan telah diperkuat oleh Malaysia, Indonesia, dan Singapura, ancaman bajak laut masih ada di beberapa titik.

Lalu, ada persaingan AS dan Tiongkok. AS dan sekutunya mengklaim ingin memastikan kebebasan navigasi di Selat Malaka, sementara China ingin menguasai wilayah di perairan Laut China Selatan yang menjadi salah satu pintu masuk Selat Malaka.

Dalam beberapa tahun terakhir muncul wacana bahwa AS dapat melarang kapal-kapal Tiongkok melewati Selat Malaka dalam konflik dagang atau militer, yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi global.

Menanggapi itu, Tiongkok pun berusaha mengurangi ketergantungannya dengan membangun jalur alternatif seperti Proyek Terusan Kra di Thailand atau jalur pipa minyak melalui Myanmar.

Selat Bosporus, Permata Turki

Selat ini menjadi jalur perairan strategis yang menghubungkan Laut Hitam dengan Laut Mediterania, sehingga menjadi rebutan berbagai kekuatan dunia sepanjang sejarah, baik untuk kepentingan perdagangan, militer, maupun pengaruh geopolitik.

Pada masa Kekaisaran Bizantium (pecahan Kekasaran Romawi), Selat ini dikendalikan oleh Konstantinopel (sekarang Istanbul), yang terletak di tepi Bosporus. Selama itu pula, berbagai serangan mereka hadapi baik dari bangsa Eropa maupun Asia.

Pada tahun 1453, Kesultanan Utsmani di bawah Sultan Mehmed II berhasil menaklukkan Konstantinopel dan mengakhiri Kekaisaran Bizantium.

Dengan menguasai Selat Bosporus dan Dardanella, Kesultanan Utsmani memperkuat kontrolnya terhadap perdagangan maritim antara Eropa dan Asia, sekaligus menjadi alat diplomasi yang sangat berpengaruh.

Pada abad ke-19, Rusia berusaha merebutnya untuk mendapatkan akses bebas ke Laut Mediterania. Upaya ini memicu Perang Krimea pada 1853-1856, di mana Inggris dan Prancis mendukung Kekhalifahan Turki Utsmani.

Menghadapi gabungan tiga armada, Rusia gagal dan mundur. Di tengah pelemahan Dinasti Utsmani, Inggris dan Prancis memperlakuan Selat Bosporus seperti miliknya.

Di Perang Dunia I, Inggris dan Prancis menjanjikan Selat itu kepada Kekaisaran Rusia jika mereka didukung di perang Eropa tersebut. Kesepakatan itu diteken melalui Perjanjian Konstantinopel pada tahun 1915.

Namun, sebelum janji tersebut terwujud, Revolusi Bolshevik meletusi di Rusia pada tahun 1917 sehingga Rusia mundur dari perang, sementara Inggris dan Turki melenggang tanpa menepati janji.

Krisis Selat Turki

Uni Soviet selaku penguasa baru di wilayah Rusia menekan Turki agar memberikan hak bagi angkatan laut Soviet untuk mengendalikan Selat Turki. Kondisi itu memicu ketegangan yang dikenal sebagai Krisis Selat Turki pada tahun 1945-1946.

Merasa terancam, Turki meminta dukungan AS melalui Doktrin Truman pada 1947, yang bertujuan menahan pengaruh komunis di kawasan tersebut. Alhasil, Turki bergabung dengan NATO pada tahun 1952, memperkuat posisinya melawan ancaman Soviet.

Pada tahun 1936, sebelum ketegangan dengan Uni Soviet, disepakati Konvensi Montreux, yang memberikan Turki hak penuh untuk mengontrol Selat Bosporus dan Dardanella.

Perjanjian ini juga mengatur aturan lalu lintas kapal perang asing yang melintas, baik di masa damai maupun perang. Hingga kini, Konvensi Montreux masih berlaku dan menjadi perdebatan dalam konflik geopolitik, terutama terkait ketegangan antara NATO dan Rusia.

Selat Turki telah menjadi titik konflik antara kekuatan besar dunia sejak zaman kuno hingga era modern. Dari Kekaisaran Bizantium, Kekhalifahan Utsmani, Kekaisaran Rusia hingga Uni Soviet, jalur ini selalu diincar karena nilai strategisnya.

Hingga saat ini, Turki tetap menjadi penjaga utama selat ini, di tengah dinamika global yang terus berkembang. Di bawah Presiden Recep Tayyip Erdogan, Turki berusaha memastikan selat itu menjadi yang utama dan bukannya Selat Hormuz.

Maka dibangunlah proyek pipa gas yang menghubungkan Qatar, menembus Suriah, ke Turki dan selanjutnya ke koalisinya di NATO, yakni Eropa.

Ambisi ini kian dekat, setelah Turki dengan milisi Tahrir Al-Sham yang dibentuknya menguasai Suriah, setelah melalui pergolakan berdarah bertahun-tahun. Sekali lagi, selalu ada kepentingan ekonomi di balik perang dan konflik. (par)


Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.

\