Jolani, Teroris yang Dosanya Diputihkan Amerika & Liga Arab demi Israel Raya
Membiarkan Israel memperkuat posisi di Golan dan menganeksasi tanah Suriah, al-Jolani tak lagi dianggap teroris.

Jakarta, TheStanceID - Kubu Barat bersorak ketika rezim Assad di Suriah jatuh, oleh kelompok milisi Sunni garis keras pecahan Al-Qaeda. Teroris yang menghormati kepentingan Israel lebih mereka senangi ketimbang pemerintah resmi yang anti-Israel.
Sebulan lalu, Suriah adalah negara Arab terakhir yang masih berstatus perang dengan Israel, dipimpin oleh Bashar Assad yang terpilih dalam pemilihan langsung pada 26 Mei 2021 dengan memenangi 95% suara.
Namun status tersebut kini berubah, sejalan dengan misi yang disebut Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu sebagai “mengubah wajah Timur Tengah”, di mana Suriah “bukan lagi Suriah [yang sama]” seperti dikutip CBN.
Kunci perubahan itu dikantongi pria berjulukan Abu Mohammad al-Jolani, dengan organisasinya bernama Hay’at Tahrir Sham (HTS). Pria yang kini berpenampilan necis dengan jas itu bertemu perwakilan Amerika Serikat (AS), Inggris, Turki, dan Qatar.
Pertemuan tersebut semestinya menjadi skandal bagi AS, karena AS memasukkan Al-Jolani ke dalam daftar teroris. Siapapun yang bisa memberikan informasi keberadaannya bisa mendapatkan upah hingga US$10 juta (Rp150 miliar).
Namun, selang sehari setelah pertemuan al-Jolani dengan Wakil Menteri Luar Negeri AS Barbara A. Leaf, AS menghapus nama Jolani dari daftar teroris seperti diberitakan Guardian.
Selepas itu, Al-Jolani memilih disebut media dengan nama aslinya, yakni Ahmed Al-Sharaa dengan harapan publik bisa melupakan dosa dan keganasannya di masa lalu.
Bagaimana HTS Muncul?
HTS muncul seiring dengan proyek perubahan rezim Suriah 1 dekade lalu ketika gelombang Arab Spring pada 2011 memicu pemberontakan di kantong-kantong Ikhwanul Muslimin (IM) di Suriah Utara yang berbatasan dengan Turki.
Puluhan milisi bermunculan silih berganti. Yang pertama adalah Free Syrian Army (FSA) yang merupakan kumpulan dari mantan tentara Suriah yang membelot dan berisikan kaum Salafi garis keras.
FSA dikenal dunia atas kebrutalannya ketika salah satu anggotanya yakni Abu Sakkar mengupload video dirinya memutilasi dan memakan jantung tentara Suriah yang tewas. Ironisnya, BBC mewawancarai Abu Sakkar, mengupas kisahnya sebagai apologi.
Lalu, pada tahun 2012 muncullah Jabhat al-Nusra (Front al-Nusra), yang dipimpin oleh Al-Jolani. Saat itu mereka adalah afiliasi al-Qaeda, dan berkolaborasi dengan pendiri Islamic State of Iraq and Syam (ISIS) Abu Bakr al-Baghdadi di Irak hingga 2013.
Di tengah penurunan pengaruh ISIS, Al-Nusra memilih berfokus di medan laga Suriah. Pada 2016 mereka keluar dari Al-Qaeda dan mengubah namanya menjadi Jabhat Fatah al-Sham (JFS), yang bermakna Front Penaklukan Syam.
Syam adalah sebutan era medieval untuk kawasan Suriah dan sekitarnya. Media Barat secara gegabah menerjemahkannya sebagai levant atau Semenanjung (Arab).
Di tengah persaingan dengan kelompok militan lain di Suriah, setahun kemudian JFS merger dengan kelompok pemberontak yang tersisa menjadi Hay’at Tahrir Sham (HTS), yang bermakna Komite Pembebasan Syam.
Bertahan Berkat Dukungan NATO
Sepak terjang HTS penuh dengan darah. Organisasi ini terlibat dan mengaku bertanggung jawab atas berbagai serangan terhadap fasilitas umum dan warga sipil Suriah. Beberapa di antaranya diulas dengan mendalam di laporan TheStanceID.
Namun, mereka dibiarkan merajalela hingga kemudian menguasai Damaskus akhir November lalu. AS yang membangun pangkalan militer ilegal di Suriah tak pernah mengebom HTS meski secara resmi memasukkan namanya ke daftar teroris.
Pada September 2016, Kementerian Luar Negeri Rusia mempublikasikan catatan mereka mengenai upaya Barat dalam melindungi al-Nusra (HTS) dan menggunakannya sebagai aktor pion dalam mengganti rezim Suriah.
Tak pakai canggung, pada Februari 2018 Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menyodorkan fakta bahwa hanya angkatan bersenjata Suriah dan Rusia lah yang memerangi HTS di lapangan sebagai organisasi teroris.
Secara bersamaan, Lavrov mengritik langkah Amerika yang secara sepihak menyatakan melindungi kawasan Al-Tanf. Padahal, kawasan tersebut termasuk wilayah operasi HTS dan pemberontak Suriah.
Kementerian Pertahanan Rusia berulang kali menekankan perlunya menghilangkan ancaman teror kelompok yang dulu bernama al-Nusra tersebut, tetapi Amerika dan sekutunya cuek.
Rusia dari tahun 2014 sampai dengan sekarang ini melarang Jabhat al-Nusra dan melarangnya sebagai organisasi teroris. HTS, yang merupakan fusi Al-Nusra dengan militan lain dinyatakan sebagai organisasi teroris terlarang sejak tahun 2020.
Menjadi Proksi Turki dan Qatar
Posisi HTS tetap kuat karena Liga Arab, melalui Qatar, berulang kali menekan pemerintah Bashar Al-Assad untuk membiarkan oposisi berkembang, guna memajukan demokrasi.
Di antara 22 negara anggota liga Arab, hanya delapan negara yang masih berbentuk pemerintahan feodal (dipimpin raja atau emir), di mana pemilu dan oposisi dilarang. Qatar adalah salah satunya sehingga kritikannya ke Suriah pun terdengar munafik.
Meski demikian, Qatar tak peduli. Mereka secara formal mereka mengumumkan mendukung pemberontak Suriah. Berbagai studi dan analisis menilai kepentingan proyek pipa gas Qatar ke Eropa lah alasan utamanya, sebagaimana diulas TheStanceID.
Nilai dukungan Qatar terhadap pemberontak Suriah diperkirakan mencapai US$1 miliar (Rp15 triliun) pada periode 2011-2013. Namun reportase FT menunjukkan bahwa nilainya mencapai US$3 miliar pada periode itu, alias Rp15 triiun per tahun.
Di sisi lain, intervensi Turki ke tanah Suriah jauh lebih kasat mata. Mereka sejak tahun 2016 telah menganeksasi wilayah Suriah Utara. Saat itu dalihnya adalah memerangi organisasi teroris ISIS.
Sebagaimana dikonfirmasi New York Times, Turki bergandengan tangan dengan Qatar dan Saudi mendanai pemberontak bersenjata di Suriah, yakni Jaish a-Fath di mana milisi yang dipimpin al-Jolani yakni Jabhat al Nusra termasuk di dalamnya.
Hal ini menjelaskan mengapa Qatar dan Turki menjadi dua delegasi asing pertama yang mengunjungi Damaskus setelah dikuasai al-Jolani. Negara Arab pendukung normalisasi dengan Israel yakni Yordania dan Saudi antri menyusul di belakangnya.
HTS Berseteru dengan SDF
Selain berdalih memerangi ISIS, Turki juga berdalih memerangi suku Kurdi, yang berjuang menuntut persamaan hak dari pemerintah Turki. Mereka berjuang di bawah bendera Partiya Karkeren Kurdistan (PKK), atau partai pekerja Kurdi.
Organisasi beraliran Kiri ini beroperasi dengan metode serangan gerilya dan pengeboman fasilitas militer di ruang publik, sehingga dimasukkan dalam daftar teroris oleh tiga negara, yakni Turki, Inggris, dan Amerika.
Presiden Turki Tayyip Recep Erdogan mengklaim PKK mendapat dukungan dari milisi Yerikenen Parastina Gel (YPG), yang dibentuk oleh suku Kurdi yang tinggal di Suriah. YPG bermakna satuan perlindungan rakyat.
YPG dibentuk pada 2011 berbarengan dengan proyek Arab Spring di Suriah. Jika pemberontak beraliran Sunni dan Salafi didukung oleh Qatar, Turki, dan Saudi, maka YPG didukung oleh Amerika dengan dalih memerangi ISIS di kawasan itu.
Erdogan berulang kali mengecam dukungan Amerika terhadap YPG. Di Turki, YPG dan PKK dianggap sebagai dua sisi koin dari mata uang yang sama. Namun di balik kecaman itu, Erdogan di atas kertas bersyukur karena punya dalih untuk masuk Suriah.
Kini, HTS dan milisi pendukungnya menggempur Syrian Defense Force (SDF) yang merupakan milisi suku Kurdi, di mana YPG termasuk di dalamnya. Amerika mendukung milisi SDF ini untuk menguasai kantong minyak Suriah di Hasakah.
Kemenangan Israel Tak Terbendung
Jika Suriah Utara bergolak, menyusul kontak senjata dan perebutan kekuasaan antar milisi pemberontak yakni HTS dan SDF, maka Suriah Selatan yang berbatasan langsung dengan Israel justru damai-damai saja meski tentara mereka menginvasi Suriah.
Tentara zionis mengebom 300 lebih lokasi militer Suriah, dan merangsek sekitar 20 kilometer mendekati ibu kota Damaskus, yang dikuasai militan HTS. Bahkan, mereka telah mendirikan pos militer di gunung Hermont, di wilayah Suriah.
Netanyahu secara lugas mengatakan tak akan keluar dari tanah Suriah, mengabaikan seruan PBB dan retorika kosong Erdogan dan para pemimpin Arab di podium masing-masing.
Apapun alasan dan dalih Turki, Qatar, dan Saudi terkait sepak-terjang mereka di Suriah, satu hal yang pasti adalah Iran kehilangan jalur logistik penting untuk memasok Hizbullah melawan Israel.
Sebagaimana kata pepatah Arab; jika ingin melihat ke siapa seseorang berpihak, lihat ke arah mana anak panahnya melesat. Tak ada panah ataupun batu dari HTS, SDF dll yang melesat ke tentara Israel ketika mencaplok tanah di Suriah Selatan.
Maka benarlah kata Netanyahu, Timur Tengah—tepatnya Suriah—sedang diubah, berkat pria ber-kunyah (berjulukan) Golan (Al-Jolani). Dosa aksi terorismenya kini menjadi putih di Amerika. (ags)