Wacana Perubahan Pilkada: Pilih Efisien atau Amputasi Partisipasi Publik?
Mau Pilkada langsung maupun tak langsung, hasilnya sama jika kualitas parpol dan penegakan hukum masih buruk.

Jakarta, TheStanceID – Wacana Presiden Prabowo Subianto untuk mengembalikan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung menjadi Pilkada tak langsung dinilai lebih efisien dan produktif, tapi juga mengamputasi partisipasi publik dalam demokrasi.
Prabowo memantik wacana itu ketika memberikan sambutan di Hari Ulang Tahun (HUT) Partai Golkar, Kamis (12/12/2024). Dia menilai sistem pemilihan langsung perlu diperbaiki karena menguras biaya. Biaya pilkada 2024 saja mencapai Rp37 triliun.
"Menurut saya kita harus perbaiki sistem kita, dan kita tidak boleh malu untuk mengakui bahwa kemungkinan sistem ini terlalu mahal, dari wajah yang menang pun saya lihat lesu juga, yang menang lesu, apalagi yang kalah," kata Prabowo seperti dikutip BBC.
Tak hanya itu, Prabowo mencontohkan negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan India yang hanya memilih DPRD, dan kemudian anggota legislatif itu yang memilih gubernur serta bupati. "Efisien enggak keluar duit, uang yang bisa beri makan anak-anak kita, uang yang bisa perbaiki sekolah, uang yang bisa perbaiki irigasi."
Menanggapi itu, mantan Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Menko Polhukam) Mahfud MD menilai usulan agar Pilkada langsung diubah menjadi Pilkada melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memang perlu dipertimbangkan.
"Kalau ditanya posisi saya apakah langsung atau lewat DPRD, pada saat ini posisi saya menyerahkan diskusi politik ke yang lebih terbuka, DPR, parpol, perguruan tinggi, dan sebagainya," ujarnya dalam diskusi "Plus Minus Pilkada oleh DPRD", Senin (23/12/2024).
Menurut Mahfud, pelaksanaan Pilkada tak langsung yang dipilih oleh DPRD akan membuat korupsi lebih terbatas dan lebih terfokus. “Saya sudah membahas itu berkali-kali sejak 2012 agar Pilkada lewat DPRD lagi, agar korupsinya lebih terbatas.”
Bagi Mahfud, Pilkada langsung merusak mental masyarakat dan menimbulkan banyak masalah. Misalnya, praktek suap kepada rakyat yang kini seakan-akan sudah menjadi kebiasaan yang membudaya setiap kali pilkada langsung dilaksanakan.
Di sisi lain, hasilnya pun seringkali problematik, sehingga hakim Mahkamah Konstitusi (MK) harus mengadili ratusan sengketa Pilkada. Oleh karenanya, Mahfud mendukung usulan pemilihan lewat DPRD.
"Semua partai politik pada waktu [2012] sudah buat komunike, bahwa kita kembali ke DPRD saja," ujarnya.
Menguatnya Patronase dan Dinasti Politik
Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro menyoroti tantangan yang dihadapi Pilkada langsung, serta pentingnya reformulasi kebijakan untuk memperbaiki kualitas demokrasi di tingkat lokal.
Siti yang pernah terlibat dalam tim pakar revisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) ini menjelaskan, bahwa Pilkada langsung awalnya dirancang dengan asumsi positif.
“Logikanya, pemimpin yang terpilih adalah representasi masyarakat lokal yang dapat meningkatkan daya saing daerah sesuai semangat desentralisasi dan otonomi daerah,” ujarnya.
Namun, menurutnya, pelaksanaan Pilkada langsung masih jauh dari harapan dengan banyaknya pelanggaran, baik hukum maupun etika. "Sudah terang benderang, cetho welo welo… Ada perubahan aturan untuk prasyarat umur itu kan aneh banget."
Selain itu, Siti juga menyoroti paradoks demokrasi Indonesia, di mana sistem multipartai seringkali berujung penguatan patronase dan dinasti politik. Ia mengritik fenomena calon tunggal dalam Pilkada yang semakin sering terjadi.
“Bagaimana mungkin kita memiliki banyak partai politik, tapi dalam kontestasi Pilkada hanya ada satu calon? Ini menjadi bukti bahwa partai politik belum menjalankan peran dengan baik,” tegas Siti.
Selain itu, ia menggarisbawahi pentingnya literasi politik di tingkat akar rumput. “Masyarakat perlu dibekali dengan pemahaman politik yang baik agar dapat menolak politik uang."
Para Cukong Dibalik Pilkada
Perilaku korupsi menjadi persoalan krusial di Pilkada. Berdasarkan data Kemendagri, 62% kepala daerah hasil Pilkada langsung terlibat korupsi. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun menunjukkan bahwa 84% peserta Pilkada dibiayai oleh cukong.
"Ketika dia menang atas dukungan cukong, maka konsesi-konsesi akses terhadap APBD, akses terhadap APBN untuk proyek di daerah itu harus dibuka untuk para cukong, termasuk lisensi-lisensi untuk perizinan SDA," jelas Mahfud.
Meski begitu, dia menyadari pemilihan langsung maupun tidak langsung memiliki kekurangan. Kekurangan itu, menurut dia, bukan karena sistem atau aturannya, melainkan karena lemahnya penegakan aturan.
Ia mencontohkan, praktik jual beli kursi demi meraup dukungan yang marak ketika kepala daerah dipilih oleh DPRD sebelum era Reformasi. Untuk menjadi kepala daerah, seseorang tak cukup hanya mengantongi dukungan partai, tapi juga anggota DPRD.
"Misalnya ada satu calon kuat di satu daerah mendapat dukungan partai, tapi kurang dukungan dari DPRD untuk bisa menang. Lalu beli ke orang.. Satu kursi bisa Rp5 miliar," ungkapnya.
Namun demikian, praktik jual beli suara saat ini masih terjadi saat Pilkada langsung terjadi. Bedanya, calon sekarang membeli langsung suara tersebut dari masyarakat atau "diecer". "Pakai amplop-amplop gitu ke rakyat. Mahal sekali sekarang."
APBD Tersedot, Layanan Publik Terdampak
Mantan Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri periode 2010–2014, Djohermansyah Djohan, menyatakan bahwa sistem Pilkada di Indonesia mengalami cidera serius dan perlu reformasi mendalam.
Ia menyoroti biaya Pilkada yang mencapai ratusan miliar rupiah, yang menguras anggaran daerah, sehingga berdampak pada menurunnya anggaran untuk pelayanan publik.
"Obat-obatan di rumah sakit tidak tersedia karena anggaran terkuras untuk Pilkada. Ini menjadi contoh nyata bagaimana mahalnya biaya Pilkada dapat menghentikan pelayanan publik," jelasnya.
Untuk itu, dia mengusulkan agar biaya Pilkada ke depan ditanggung pemerintah pusat (APBN), seperti halnya pemilu legislatif dan pemilihan presiden, untuk meringankan beban anggaran daerah.
Pilkada Asimetris Bisa Menjadi Solusi
Menurut Djohermansyah, Pilkada langsung tak lantas lebih demokratis ketimbang Pilkada tak langsung, karena demokrasi cenderung sulit berkembang secara ideal di negara dengan pendapatan per kapita rendah.
"Indonesia masih berada pada pendapatan per kapita sekitar US$2.600. Dengan kondisi seperti ini, pasar bebas demokrasi cenderung menghasilkan politik uang. Itu sudah terbukti," ujarnya.
Pun banyak kepala daerah terpilih yang terjerat hukum. "Dari data, 457 kepala daerah terlibat kasus hukum, termasuk penjabat sementara. Ini menunjukkan bahwa Pilkada langsung belum mampu melahirkan pemimpin yang kompeten dan berintegritas."
Guru Besar IPDN ini menilai Pilkada langsung di Indonesia saat ini masih jauh dari kata ideal. Untuk itu, ia mengusulkan beberapa langkah kongkret untuk memperbaiki kualitas Pilkada, termasuk mempertimbangkan model asimetris sebagai solusi.
Dalam model ini, mekanisme Pilkada disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan masing-masing daerah untuk membantu mengurangi biaya Pilkada serta menghasilkan pemimpin yang lebih kompeten dan efektif.
"Ada daerah yang Pilkadanya langsung, ada yang tidak langsung melalui DPRD, ada juga yang ditetapkan seperti di Yogyakarta, atau bahkan diangkat, seperti kabupaten/kota di Jakarta," saran mantan Anggota Tim Tujuh Revisi UU Pilkada ini.
Pembenahan Partai Politik
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya Abdul Azis menilai ada kesalahan dalam membaca persoalan Pilkada. Ia menilai bahwa permasalahan sebenarnya bukan pada metode Pilkada, melainkan perilaku parpol.
“Kalau melihat ini pemborosan dan menyalahkan sistemnya, seperti mirip dengan pepatah Melayu, yakni 'buruk muka cermin dibelah'. Sebetulnya mereka sendiri yang bermasalah tapi yang disalahkan sistem, metode dan penyelenggaranya,” tegas Azis.
Menurut dia, pemborosan biaya Pilkada, pelanggaran konstitusi, hingga rendahnya kualitas kepala daerah yang terpilih, semuanya bermula dari parpol yang tidak serius membangun demokrasi.
Pada praktiknya, mereka juga kerap mengabaikan transparansi, termasuk dalam pelaporan anggaran pemilu ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). “Jika aktor-aktor politiknya tetap seperti ini, sulit bagi kita menghasilkan Pilkada yang bermutu.”
Pilkada 2024 Terburuk dalam Sejarah
Azis menyoroti Pilkada 2024, yang menurutnya menjadi Pilkada yang terburuk dalam sejarah Indonesia. Pasalnya, baru kali itulah presiden menunjuk 270 penjabat kepala daerah dengan masa jabatan hingga 2,5 tahun.
Selain itu, ia mengungkapkan bahwa lebih dari 50% kabupaten, kota, dan provinsi mengajukan sengketa hasil Pilkada ke MK, yang menunjukkan adanya masalah serius dalam pelaksanaannya.
“Ini bukti luar biasa bahwa sistem Pilkada kita bermasalah. Banyaknya sengketa menunjukkan bahwa Pilkada tidak berjalan dengan baik,” ujar Azis.
Meski demikian, dia tetap menilai bahwa Pilkada langsung lebih bermakna daripada Pilkada melalui DPRD karena memberikan ruang partisipasi publik yang lebih besar serta menjaga nilai-nilai demokrasi.
“Pilkada langsung masih punya makna karena melibatkan publik secara langsung dalam menentukan pemimpin mereka… Jika ingin memperbaiki kualitas pemilu dan Pilkada, kita harus memperbaiki hulu permasalahan, yaitu perilaku partai politik,” ujar Azis. (est)