Jakarta, TheStance – Belakangan, pemandangan tumpukan uang bernilai ratusan miliar rupiah saat aparat penegak hukum menggelar konferensi pers, makin sering kita jumpai.

Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa uang yang diterima negara hasil rampasan koruptor tidak boleh dibiarkan mengendap dan harus segera dikembalikan kepada rakyat melalui berbagai program pemerintah.

Di sejumlah kesempatan, Prabowo bilang, dana hasil korupsi akan dipakai untuk membiayai berbagai program pemerintah, mulai dari renovasi sekolah, mendanai kampung nelayan, mengisi anggaran beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), hingga membantu pembayaran utang Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh.

Terbaru, Prabowo menegaskan bahwa program digitalisasi pendidikan termasuk pengadaan smartboard/Panel Interaktif Digital (PID) untuk semua kelas akan dibiayai dari dana hasil rampasan harta para koruptor.

“Nanti maling-maling kita akan kejar semua itu, supaya anak-anak kita pintar-pintar,” kata Prabowo saat meluncurkan program Digitalisasi Pembelajaran di Bekasi, Jawa Barat, Senin (17/2025).

Namun, gagasan Prabowo tersebut justru mengundang kritik dari sejumlah pihak karena tidak sesuai dengan esensi dan praktik "uang pengganti" dalam tindak pidana korupsi.

Apalagi Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang diharapkan menjadi payung hukum untuk bisa menyita aset para koruptor sudah berpuluh tahun tak kunjung dibahas.

Pamer Uang Hasil Rampasan Korupsi

uang sitaan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai mengikuti tren pamer uang pada Kamis (20/11/2025), saat mereka memajang uang rampasan senilai Rp300 miliar dari kasus korupsi investasi fiktif PT Taspen (Persero).

Uang tersebut merupakan bagian dari total Rp883 miliar yang dirampas dari eks Direktur Utama PT Insight Investment Management (PT IIM), Ekiawan Heri Primaryanto.

Vonis terhadap Eki telah berkekuatan hukum tetap sehingga perampasan dilakukan sesuai putusan hakim.

“Ini sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas kepada publik sehingga masyarakat bisa betul-betul melihat barang rampasannya,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, Jumat (21/11/2025).

Pemajangan Rp300 miliar tunai pada 20 November 2025 menjadi momen perdana KPK menunjukkan uang dalam jumlah besar. Menurut catatan TheStance, KPK sebelumnya hanya memamerkan aset mewah yang dirampas, bukan uang tunai.

Misalnya pada 21 Agustus 2025, gedung Merah Putih disulap menjadi "showroom” mobil dan motor mewah hasil sitaan operasi tangkap tangan (OTT) terkait sertifikat K3 di Kementerian Ketenagakerjaan.

KPK seolah tak mau ketinggalan dari Kejaksaan Agung yang pada 20 Oktober 2025 memamerkan sebagian dari Rp13,2 triliun uang negara yang diserahkan terkait kasus minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).

Uang pecahan Rp 100.000 ditumpuk hingga setinggi sekitar dua meter di Lobi Utama Kejaksaan Agung.

“Tidak mungkin kami hadirkan semua, kalau Rp13 triliun kami mungkin tempatnya yang tidak memungkinkan. Jadi ini sekitar Rp2,3 triliun,” kata Jaksa Agung Sanitiar Burhanudin dalam acara penyerahan yang juga disaksikan Prabowo.

Ditarik mundur lagi, Kepolisian juga memamerkan uang sitaan. Pada 25 September 2025, Bareskrim Polri menampilkan Rp204 miliar hasil pembobolan rekening dormant BNI oleh sindikat yang menyaru sebagai “Satgas Perampasan Aset”.

Masuk ke APBN

Abdul Fickar Hadjar - Trisakti

Lalu, bagaimana sebenarnya mekanisme atau alur penggunaan uang hasil sitaan korupsi untuk dapat digunakan membiayai program pemerintah?

Pakar hukum pidana dan perdata Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menjelaskan bahwa penggunaan uang rampasan korupsi mengikuti mekanisme atau aturan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang berlaku.

Menurutnya, alur penggunaan uang hasil rampasan korupsi untuk membiayai proyek pemerintah harus tunduk pada mekanisme APBN, meliputi siklus perencanaan, pengajuan, pembahasan, penetapan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban.

“Boleh digunakan, tapi harus tetap memakai mekanisme APBN. Artinya, uang sitaan itu masuk dulu ke kas negara sebagai pendapatan negara bukan pajak (PNBP), lalu dikeluarkan kembali melalui RAPBN,” jelas Fickar.

Dia menambahkan, mekanisme penggunaan uang rampasan kasus korupsi untuk digunakan dalam membiayai program pemerintah sudah memiliki alur yang baku.

Pertama, uang sitaan hasil korupsi itu dipulihkan dulu dalam proses hukum, baik oleh penyidik KPK maupun Kejaksaan Agung atau Kejagung. Setelah proses hukum selesai, jika berupa barang atau properti, aset tersebut dilelang terlebih dahulu.

Setelah itu, dananya wajib disetor ke kas negara melalui Direktorat Jenderal Anggaran. “Dari KPK atau Kejagung, langsung masuk kas negara atau ke Dirjen Anggaran, ya alurnya biasa melalui pengesahan RAPBN ke DPR,” lanjutnya.

Dalam hukum internasional dan nasional, proses ini dikenal dengan istilah pengembalian aset atau asset recovery. Prinsip ini bertujuan untuk:

  • Mengambil kembali aset yang diperoleh secara ilegal oleh koruptor.

  • Mencegah penggunaan kembali aset tersebut untuk tindak pidana lain.

  • Memulihkan kerugian negara agar anggaran bisa digunakan kembali untuk kepentingan publik.

Bukan Dana Bebas Pakai

suasana sidang

Fickar menegaskan bahwa penggunaan dana tersebut tidak bisa langsung dieksekusi pemerintah begitu saja karena perlu ada pengajuan RAPBN ke DPR dan kemudian dibahas oleh parlemen.

“RAPBN itu berisi macam-macam rencana pembiayaan semua program pemerintah. Jadi tidak bisa semaunya uang masuk lantas diambil keluar oleh Presiden,” katanya.

Oleh karena itu, jika dana sitaan ingin digunakan dalam berbagai program pemerintah, maka anggaran tersebut harus melalui usulan kementerian/lembaga terkait kepada Kementerian Keuangan, dibahas bersama DPR, dan baru kemudian bisa dieksekusi.

Dalam APBN tak ada kategori khusus yang membuat uang rampasan korupsi bisa langsung dipakai melainkan tunduk pada mekanisme yang sama.“Tidak ada yang khusus. Semua ada aturan dan mekanismenya. Tidak bisa seenaknya,” tegas Fickar.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Yassar Aulia mengatakan uang rampasan hasil korupsi memang dapat membantu program pemerintah, tetapi bukan berarti masuk kategori dana bebas-pakai.

Uang tersebut pada dasarnya merupakan kerugian negara dan kerusakan akibat tindak pidana. Misalnya, korupsi pertambangan yang menghasilkan perhitungan kerugian ekologis, bisa dibebankan kepada terdakwa untuk membayar uang pengganti.

“Kalkulasi kerugian ekologis itu merupakan penghitungan dari kerusakan aktual yang ada di lapangan, di alam yang dirusak dari pertambangan yang berbuah dari kasus korupsi itu,” kata Yassar.

Oleh karena itu, uang pengganti harus diprioritaskan untuk memulihkan kerusakan akibat tindak pidana, bukan untuk program lain.

“Jangan menggunakan uang itu seakan-akan tidak di-earmark untuk kasus korupsinya sendiri, tapi malah digunakan untuk hal lain yang sebenarnya tidak perlu diambil dari uang hasil rampasan korupsi,” ujar Yassar.

Melecehkan Amanah UUD 1945

Ubaid Matraji

Senada, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Abdullah Ubaid Matraji, menilai rencana presiden Prabowo mendanai pendidikan dari uang hasil korupsi adalah cara pandang yang salah arah.

“Presiden harus tahu amanah UUD 45 soal pendidikan itu seperti apa. Jangan salah arah menentukan kebijakan pendidikan. Malah mau mendanai pendidikan dari dana korupsi cara pandang yang jelas melecehkan amanah mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujar Ubaid.

Ia justru menyoroti rekam jejak pengelolaan anggaran pendidikan di era Prabowo yang dinilai belum optimal.

Sebagai contoh, alokasi 20% APBN tidak dipakai untuk persoalan mendasar seperti akses sekolah anak miskin, renovasi sekolah rusak, pembangunan sekolah di daerah kekurangan fasilitas.

“Tapi anggaran pendidikan itu dipakai untuk hal yang tidak mendasar dan mendesak dalam urusan pendidikan, seperti MBG (makan bergizi gratis), sekolah kedinasan, smart TV, smart board dan lain-lain,” papar Ubaid.

Bahkan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sekolah gratis juga belum jelas implementasinya. “Yang jelas-jelas ada uang di depan mata saja kebijakan presiden tidak pro pendidikan, apalagi ini yang tidak jelas sumbernya,” kata Ubaid.

“Terus saya harus dipaksa percaya dengan janji manis presiden untuk pendidikan? Ya tentu saya meragukan dan tidak percaya begitu saja,” tambahnya.

Nasib RUU Perampasan Aset

Supratman Andi Agtas

Salah satu upaya untuk mengoptimalkan pemberantasan korupsi di Indonesia adalah dengan hadirnya undang-undang Perampasan Aset.

Undang-undang ini diyakini memperjelas alur pengembalian uang korupsi termasuk aset yang dirampas dalam kasus korupsi. Termasuk siapa yang bertanggung jawab mengurus uang terkait korupsi itu.

Namun, sayangnya hingga kini RUU yang pertama kali diajukan pada tahun 2008 oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak kunjung diselesaikan DPR dan pemerintah.

Setelah timbul tenggelam, baru pada tahun 2024, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI periode 2024-2029 mengusulkan RUU Perampasan Aset resmi masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2025-2026.

Pembuatan RUU Perampasan Aset pun kini berada di tangan DPR, mengambil alih dari pemerintah.

Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyebut penyebab lambatnya proses pembahasan materi perampasan aset disinyalir karena muatan di dalamnya yang berpeluang mengusik kepentingan elit politik.

Elit-elit politik di Indonesia kerap berhubungan dengan modal atau kapital yang mana, menurut Lucius, "bisa jadi bermasalah dari sisi cara memperolehnya."

"Saya kira konsentrasi aset-aset bermasalah itu sangat mungkin ada di lingkaran oligarki. Di sisi lain, target utama RUU Perampasan Aset ini adalah orang-orang yang punya aset di mana-mana yang didapatkan dari sumber atau proses ilegal," papar penerliti dari Formappi, Lucius Karus.

Baca Juga: Megakorupsi Era Jokowi (2); UU Perampasan Aset Harus Segera Diteken

Lantas bagaimana nasib RUU Perampasan Aset ? Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas menjanjikan RUU Perampasan Aset akan menunggu terlebih dahulu aturan turunan dari KUHAP baru.

Ia berdalih saat ini ada belasan aturan turunan atau Peraturan Pemerintah (PP) yang perlu diterbitkan menyangkut pelaksanaan KUHAP tersebut.

Belum lagi, ada Rancangan Undang-Undang tentang Penyesuaian Pidana yang juga mendesak untuk segera disahkan. "Mudah-mudahan di akhir masa persidangan, undang-undang penyesuaian pidana itu sudah bisa diketok juga," janji Supratman. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance