Indonesia Bisa Diuntungkan dari Perang Dagang Jilid II AS-Cina

Indonesia berpotensi mendapat limpahan relokasi pabrik dari Cina bila Trump memulai lagi perang dagang.

By
in Now You Know on
Indonesia Bisa Diuntungkan dari Perang Dagang Jilid II AS-Cina
Foto ilustrasi/net.

Jakarta, TheStanceID - Peran dagang jilid II antara Amerika Serikat (AS) dan Cina dipastikan akan kembali terjadi setelah Donald Trump memenangkan pemilihan presiden AS, 5 November 2024 lalu. Ada peluang yang bisa diraih Indonesia.

Baru akan dilantik pada 20 Januari 2025, Trump sudah mengumumkan kebijakan pertama yang akan diambil setelah resmi jadi presiden, yaitu menaikkan tarif impor dari Meksiko, Kanada, dan terutama, Cina.

"Saya akan menandatangani dokumen mengenakan tarif 25% untuk semua produk Meksiko dan Kanada yang masuk ke AS," tulis Trump (26/11/2024).

Lalu di unggahan berikutnya, Trump menyatakan Cina akan dikenai tarif lebih mahal lagi, yaitu ditambah 10%, yang berarti 35% khusus untuk produk Cina.

Sebelumnya, AS sudah melarang impor makanan dan logam dari 27 perusahaan asal Cina pada November lalu. Mereka di-blacklist karena dituding menggunakan buruh kerja paksa asal Uighur di kamp-kamp konsentrasi di provinsi XInjiang, Cina.

Praktik itu bertentangan dengan Uyghur Forced Labor Prevention Act (UFLPA), undang-undang federal AS yang ditandatangani Presiden AS Joe Biden pada 23 Desember 2021.

UU itu melarang masuknya barang impor Cina yang diproduksi dari tenaga kerja paksa Uighur. Sejak UU itu diberlakukan, sebanyak 107 perusahaan asal Cina sudah di-blacklist.

Pemerintah Cina jelas membantah telah membuat warga Uighur bekerja paksa di pabrik. Mereka juga sudah lama mengkritik keberadaan Uyghur Forced Labor Prevention Act. yang menurut mereka hanyalah dalih AS untuk membendung ekspor Cina.

Walau demikian, pembatasan ekspor Cina di era Biden itu belum ada apa-apanya dibandingkan kebijakan Trump di periode pertama yang menerapkan kebijakan proteksionis, mengenakan tarif bea masuk secara suka-suka, hingga memicu perang dagang AS-Cina pada 2018-2020.

Respon Cina atas Ancaman Trump

Kedutaan Cina di AS sudah merespon ancaman Trump tersebut. Liu Pengyu, juru bicara kedutaan, mengatakan bahwa perang dagang akan merugikan banyak pihak, tidak ada untungnya.

"Tidak ada pihak yang menang atau kalah dalam perang dagang," katanya seperti dilansir The Guardian.

Hal senada juga disampaikan pemerintah Kanada dan Meksiko, yang berharap bisa dicapai sebuah solusi konstruktif daripada kembali ke perang dagang seperti 2018.

Mengapa Trump Nekad Perang Dagang?

Trump menilai defisit perdagagan AS dengan negara-negara mitra, terutama Cina, merugikan ekonomi AS. Barang murah asal Cina membuat pabrik di AS bangkrut, memicu pemutusan hubungan kerja (PHK), ketergantungan AS pada negara asing, dll.

Sekadar catatan, AS memang terus mengalami defisit perdagangan.

Pada 2023, pemerintah AS melaporkan defisit perdagangan sebesar US$773,4 miliar. Nilai itu turun dibandingkan 2022, di mana AS mencatatkan defisit sebesar US$951.2 miliar.

Cina menjadi penyumbang terbesar defisit tersebut, dengan defisit perdagangan AS-Cina sebesar US$279,4 miliar pada 2023. Sementara pada 2022, defisit perdagangan AS-Cina jauh lebih besar, yaitu US$367, 4 miliar.

Dengan menaikkan tarif bea masuk barang impor Cina, Trump berharap defisit itu bisa dikurangi.

Dampak Perang Dagang AS-Cina

Apa yang terjadi seandainya Trump kembali memulai perang dagang dengan menaikkan tarif impor produk Cina?

Jelas, harga produk Cina akan lebih mahal di AS, dan berisiko tidak laku. Konsumen di AS akan terdorong mencari barang alternatif yang lebih murah. Bagi perusahaan eksportir Cina, keuntungan pun berkurang.

Sekadar catatan, saat ini ekonomi Cina lagi mengalami perlambatan. Target pertumbuhan 5% yang dipatok pada 2024 ini diprediksi tidak akan tercapai. Bank Dunia misalnya memproyeksikan pertumbuhan Cina tahun ini hanya 4,8%.

Perlambatan ekonomi Cina, dari yang biasanya mencatatkan pertumbuhan 7% per tahun, bahkan pernah 9%, disebabkan antara lain oleh krisis sektor properti, pengangguran generasi muda, beban utang pemerintah daerah, dan faktor geo-politik.

Rakyat AS juga Terdampak

Dengan konsumsi yang melambat, pemerintah CIna akhirnya menjadikan ekspor sebagai salah satu tumpuan untuk menggerakkan ekonomi. Ancaman Trump bakal mempersulit upaya Cina memperbaiki ekonominya.

Namun, bukan hanya Cina yang terkena dampak perang dagang. Rakyat AS juga kena getahnya. Pasalnya, ekspor CIna ke AS juga berupa barang-barang rumah tangga (consumer goods), tidak hanya barang industri.

Bila Trump menaikkan tarif dan harga produk Cina makin mahal, rakyat AS pun juga harus merogoh kocek lebih mahal.

Menurut analisis Peterson Institute for International Economics, kebijakan ini akan membebani rumah tangga di Amerika Serikat hingga US$2.600/tahun.

Kondisi ini akan menambah tekanan ekonomi pada masyarakat Amerika yang sudah menghadapi tantangan biaya hidup tinggi.

RI Bisa Terima Relokasi Pabrik China

Lantas, bagaimana dampak perang dagang AS dan China bagi Indonesia?

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus menilai Indonesia bisa menangkap relokasi perusahaan-perusahaan di China dan sekitarnya yang terkena dampak perang dagang tersebut.

Dua industri, yakni tekstil dan produk tekstil (TPT) dan logam dasar paling berpotensi masuk ke Tanah Air.

"Pabrik tekstil di Vietnam itu berpeluang untuk relokasi ke Indonesia. Kemudian industri yang terkait dengan logam dasar dan turunannya. Itu komoditas yang benar-benar direkstriksi Amerika Serikat, salah satunya baja. Sehingga Indonesia juga dapat menangkap peluang itu," katanya, Senin (11/11/2024).

Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), pada perang dagang sebelumnya, Indonesia menerima relokasi dan diversifikasi investasi dari 58 perusahaan senilai US$14,7 miliar yang berasal dari AS, Eropa, dan Asia.

Meski industri TPT sedang tidak baik-baik saja, Heri melihat industri TPT dari luar negeri masih dapat masuk, tetapi khusus yang berorientasi ekspor sehingga tidak mengganggu industri dalam negeri.

"Kalau kita mau menangkap peluang, maka biaya-biaya yang terkait dengan infrastruktur yang harus dibenahi. Kita harus bisa menyiapkan semacam paket kebijakan untuk menangkap itu," kata Heri.


Indonesia Juga Bisa Terpukul

Ekonom senior Mari Elka Pangestu setuju bahwa penerapan tarif tinggi AS terhadap produk Cina akan membuka peluang relokasi pabrik dari Cina ke Indonesia.

Namun, hal ini juga bisa membuat Indonesia kena getahnya yakni ikut terkena tarif tinggi dari AS. Kekhawatiran Mari Elka itu muncul, apabila berkaca pada kebijakan yang dilakukan Trump pada periode pertamanya.

"Jadi walaupun kita akan menarik relokasi yang akan menghindari tarif tinggi terhadap Tiongkok, itu harus hati-hati..., kita pun akan terkena bea masuk," kata Mari Elka dalam program Squawk Box di CNBC Indonesia, Jumat, (22/11/2024).

Indonesia, kata Menteri Perdagangan periode 2004-2011 itu, sudah masuk daftar negara yang memiliki surplus perdagangan dengan AS, selain Cina dan negara Asia lainnya.

Oleh karena itu, Utusan Khusus Presiden Bidang Perdagangan dan Kerjasama Multilateral ini menilai pemerintah harus benar-benar mengantisipasi hal ini. Misalnya adalah dengan mendiversifikasi ekonomi dan memilih-milih calon investor relokasi.

Tak Perlu Ikut Retaliasi

Mari juga mengingatkan, Indonesia tak boleh ikut-ikutan dalam perang dagang antara AS dengan China. Menurutnya, diplomasi dalam ekonomi harus ditingkatkan dengan tidak membuat kebijakan proteksionistis tandingan di dalam negeri.

"Jangan kita ikut-ikutan retaliasi, ikut-ikutan membuat benteng... Kita harus mempunyai tema lain, Make Indonesia Great Again dengan meningkatkan daya saing kita dan memperkuat kerja sama di kawasan," kata Mari.

Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda kepada TheStanceID menilai naiknya Trump sebagai presiden AS akan berimbas pada ketidakpastian perekonomian global.

Semangat kebijakan ekonomi berlandaskan slogan Make America Great Again (MAGA) dinilai akan menghambat masuknya produk-produk negara lain ke pasar domestik AS. Dengan kondisi ini, industri tekstil Indonesia berpotensi mengalami tekanan.

Untuk itu, Huda menilai perlu ada penguatan untuk konsumsi domestik. "Ketika kondisi global tidak memungkinkan untuk ditingkatkan, penguatan ekonomi dalam negeri menjadi strategi utama," kata Huda.

Selain itu, Huda menambahkan, industri dalam negeri perlu mencari pangsa pasar ekspor alternatif selain pasar tradisional. Salah satu opsinya dengan mendorong ekspor ke negara-negara Timur Tengah. (est)

\