Jenuh dengan Politik Tuna Etika, Partisipasi Rakyat Turun di Pilkada
Prosesnya tidak etis bahkan sejak pilpres, kontestan terindikasi korup bisa berlaga. Siapa yang tak jenuh?

Jakarta, TheStanceID - Pilkada 2024 telah digelar serentak di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota pada Rabu (27/11/2024). Target partisipasi sebesar 80% dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) sulit tercapai, karena rakyat jenuh dengan politik tuna etika.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengklaim gelaran pilkada serentak yang pertama dan terbesar sepanjang Indonesia itu berlangsung lancar. Sejauh ini juga terpantau tidak ada terjadi gejolak sosial dari Sabang sampai Merauke.
Namun gelaran pilkada tersebut dilaporkan terjadi di tengah rendahnya tingkat partisipasi masyarakat yang turut serta menyumbangkan suaranya ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Meski belum ada angka resmi dari KPU, Kemendagri dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), beberapa lembaga independen melaporkan penurunan tingkat partisipasi pemilih.
Awalnya, pemerintah menargetkan tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada Serentak 2024 mencapai 80% secara nasional. Target ini selaras dengan angka partisipasi Pemilu dan Pilpres 2024.
“Target kami minimal sama dengan Pilpres dan Pileg 2024, yakni sekitar 80%,” ujar Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya Sugiarto dalam keterangan resmi yang diterima TheStanceID.
Dia mengakui target tersebut tidak mudah dicapai. Tantangan utamanya adalah rentang kerja yang lebih jauh antara pasangan calon kepala daerah dan caleg dibandingkan Pemilu sebelumnya.
“Kalau dulu tim sukses caleg juga bekerja untuk pasangan calon presiden atau kepala daerah, kini jaraknya [pelaksanaan pencoblosan] cukup jauh,” ungkap Bima.
Selain itu, penurunan jumlah TPS pada Pilkada 2024 dibandingkan Pemilu 2024 juga mengurangi aksesibilitas pemilih, terutama di daerah terpencil. “Jarak ke TPS yang lebih jauh dapat menjadi hambatan bagi pemilih,” kata Bima.
Partisipasi Pemilih DKI Anjlok
Lembaga survei Charta Politika mencatat penurunan partisipasi pemilih di Pilkada Jakarta 2024. Charta Politika menyebut partisipasi pemilih Pilkada 2024 hanya 58%, anjlok dari tingkat partisipasi Pilkada DKI 2017 yang di atas 70%.
"Kalau dari kami mencatat, tingkat partisipasi yang menurun di DKI Jakarta... Kemarin itu di 2017 ada sekitar 72% orang [yang] memilih. Ada peningkatanlah pada saat itu, tapi pertarungan hari ini menurun di 58,14%," kata peneliti Charta Politika, Dadang Nurjaman, dikutip dari Detik.
Dadang menilai partisipasi warga menurun karena masyarakat jenuh. Dia juga menduga tingkat partisipasi masyarakat untuk memilih juga dipengaruhi faktor sosok yang berlaga. Dia menduga pendukung Anies Baswedan atau 'anak abah' ogah ke TPS.
"Karena faktor mungkin saja dipengaruhi oleh faktor dukungan partai yang tidak ke salah satu tokoh misalnya seperti itu. Kayak Anies, misalnya karena faktor itu. Anak abah nih nggak ikut semua gitu kan," ujarnya.
Efek Gerakan Coblos Semua
Taupaz Djuanda, Ketua KPPS TPS 17 yang berlokasi di Kampung Susun Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara. Menurutnya, Pilkada Jakarta kali ini kurang peminat karena tidak ada calon gubernur dan wakil gubernur yang diidolakan.
"Hampir 50% yang tidak menggunakan hak suaranya, menurut saya itu dikatakan sepi," ungkapnya seperti dikutip dari BBC Indonesia.
Pada saat hari pencoblosan, di TPS 17 Penjaringan, surat suara yang terpakai berjumlah 312 dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) 586 orang. Dari jumlah itu, didapati banyak suara tak sah karena warga sengaja tak mencoblos dengan benar.
Banyaknya suara tak sah ditengarai karena aksi boikot. Sebelumnya Jaringan Masyarakat Miskin Kota (JRMK) yang mengadvokasi warga Kampung Akuarium menyerukan "Gerakan Coblos Semua" alias Gercos sebagai bentuk perlawanan.
Meskipun ada salah satu pasangan calon yang mendapat dukungan dari Anies Baswedan tapi tak lantas membuat masyarakat berubah pikiran.
Konfirmasi Bawaslu
Anggota Bawaslu Jakarta Utara Muhamad Shobirin mengakui partisipasi pemilih untuk datang ke TPS di wilayahnya cukup rendah jika dibandingkan saat Pilpres dan Pileg pada Februari 2024.
"Harusnya jam 10.00 WIB itu sudah ramai orang yang datang ke TPS, tapi ini tidak," kata Shobirin dikutip dari Inilah.
Padahal, kata Shobirin, Bawaslu dan KPU sudah gencar melakukan sosialisasi secara berkelanjutan dengan menggunakan sejumlah platform dan bentuk kegiatan.
Sebelumnya Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jakarta Utara Abdul Bahder Maloko menargetkan partisipasi pemilih di wilayah tersebut dalam Pilkada Jakarta pada 27 November 2024 mencapai 77%.
Provinsi Terpadat Nasional Disinyalir Sepi
Tingkat partisipasi warga Jawa Barat (Jabar) dalam menyalurkan hak pilih di Pilkada Serentak 2024 juga terindikasi menurun dibandingkan dengan Pemilu 2024. Padahal, KPU Jabar menargetkan angka partisipasi 75%, naik 2% dari pilkada sebelumnya.
Hal ini terungkap dalam rapat telekonferensi Pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 yang dipimpin Pj Gubernur Jabar Bey Machmudin di Command Center Jawa Barat Gedung Sate, Bandung, Rabu (27/11/2024).
Meski belum bisa merinci angkanya, Bey mengatakan pihaknya mensinyalir partisipasi pemilih masih rendah. Bey memberi contoh ada satu TPS yang didatanginya, dari 140 pemilih yang menyalurkan suara hanya 50 orang.
Seperti diketahui, Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah DPT terbesar di Indonesia, yaitu 35.925.960 pemilih yang tersebar di 27 Kabupaten/Kota dengan jumlah TPS sebanyak 73.862 titik.
Publik Jenuh dengan Politik Tanpa Etika
Tak hanya soal teknis jarak, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Haykal menyebut ada kejenuhan pemilih (voter fatigue) menjadi faktor penekan antusiasme warga dalam pilkada 2024.
“Ada kecenderungan teman-teman muda sudah lelah dengan pembahasan politik di pemilu kemarin, tapi sudah dihadapkan dengan pilkada,” jelas Haykal secara virtual dalam diskusi publik bertajuk Pilkada 2024, pada Sabtu (23/11/2024).
Belum lagi perilaku elit politik yang sudah tidak memiliki rasa segan dengan etika, tidak malu pada ajaran agama, atau tidak takut peraturan. Mereka terang-terangan berpihak terhadap salah satu kandidat atau paslon di Pilkada 2024.
Praktik demikian menggerus kepercayaan publik terhadap kualitas pesta demokrasi, sehingga merasa percuma dan enggan memberikan suara. Masyarakat pun merasa lelah dengan proses pemilu terus-menerus tapi miskin etika.
"Kami menyaksikan dan melihat potensi yang besar bagaimana partisipasi masyarakat di dalam pilkada akan menurun dibanding pemilu kemarin, karena ada kejenuhan dan hal-hal niretika yang semakin dipertontonkan oleh aktor politik," ujar Haykal.
Kandidat Terindikasi Korup Bebas Berlaga
Kejenuhan pemilih sejalan dengan meningkatnya kontestan Pilkada yang diduga terlibat korupsi, di mana setidaknya ada 138 orang peserta Pilkada 2024 yang bermasalah sebagaimana temuan Indonesia Corruption Watch (ICW).
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Egi Primayoga, mengatakan para kandidat bermasalah tersebut berstatus tersangka, terdakwa, terpidana, saksi, terlapor, dan orang-orang yang namanya pernah disebut dalam persidangan kasus korupsi.
“Pemilih disajikan pilihan para kandidat yang rekam jejaknya tidak bersih,” kata Egi melalui keterangan tertulis, Rabu (27/11/2024). Jumlah tersebut termasuk kandidat gubernur-wakil gubernur, walikota-wakil walikota, serta bupati-wakil bupati.
Menurut catatan ICW, sepanjang 20 tahun terakhir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangkap 196 kepala daerah. Selain itu, ada 155 dari 582 kandidat di Pilkada 2024 yang memiliki afiliasi dengan dinasti politik.
Sebaran tersebut, kata dia, termasuk kandidat yang memiliki hubungan orang tua-anak, adik-kakak, suami-istri, mertua-menantu, dan saudara dengan pejabat negara.
Prosesnya tidak etis bahkan sejak pilpres, kontestan terindikasi korup melenggang pula. Siapa yang tidak jenuh? (est)