Happyend: Cara Neo Sora Menginspirasi Gen-Z Melawan Tekno Fasisme
Keduanya dihantui momok yang sama: gempa besar. Mirip warga +62 yang lagi dibombardir dengan isu Megathrust.

Jakarta, TheStanceID - Masyarakat ingin situasi yang stabil, terukur, dan tak “anarkis” sementara anak muda ingin situasi yang tak mengekang mereka untuk berekspresi. Film Happyend menyajikan tegangan itu, di tengah penggunaan teknologi yang kian fasis.
Bayangkan kamu sedang ditakut-takuti dengan sebuah bencana alam yang kian tak terhindarkan.
Lalu, kamu melakukan hal yang tak disukai pemilik otoritas, sehingga mereka menggunakan ketakutan tersebut untuk mengawasi dan mengontrol kehidupanmu agar tidak lagi berbuat macam-macam.
Dilema itulah yang dihadapi oleh dua remaja Jepang, yakni Kuo (diperankan Yukito Hidaka) dan Yuta (Hayato Kurihara). Keduanya menjadi tokoh sentral di Happyend, film besutan sutradara muda Neo Sora–yang diputar perdana di Festival Film Venesia pada 2 September 2024.
Sebagai seorang migran Korea generasi kedua yang sering dicap sebagai biang keonaran di Jepang, Kuo demen bergabung dengan berbagai aksi demo.
Di sisi lain, Yuta adalah warga pribumi apolitis bin hedon yang ingin berpesta segila mungkin terutama karena dunia disebut-sebut kian mendekati kiamat.
Roda nasib, atau lebih tepatnya kegemaran mereka akan musik Techno, membuat keduanya berkawan akrab di sebuah Sekolah Menengah Umum (SMU) di Jepang.
Ditakut-takuti Pemerintah
Namun, keduanya dibayang-bayangi momok yang sama: gempa besar. Pemerintah Jepang di film itu lagi getol mengingatkan kewaspadaan akan adanya gempa besar, mirip warga Indonesia yang lagi dibombardir dengan isu megathrust oleh pemerintah.
Setelah aksi iseng mereka membalikkan mobil milik kepala sekolah, otoritas Jepang bertindak lebih sebagai penguasa otoriter. Istilah kerennya: kian fasis, di mana masyarakat dicabut hak-hak individunya demi “kepentingan yang lebih besar.”
Sang kepala sekolah dengan senang hati mendukung program pemerintah mengawasi publik dengan teknologi pengenalan wajah (face recognition) dan ponsel pintar sebagai alat pelacak. Majalah Variety menyebutnya sebagai "masa depan yang sangat-dekat dengan kita."
Di alam nyata, seperti laporan New York Times, teknologi pemindai wajah memang memungkinkan pengguna mengidentifikasi 16.000 wajah berbeda, lalu membandingkan 1 juta wajah berbeda dalam waktu sedetik. Penggunaan teknologi demikian di ruang publik dikritik sebagai bentuk tekno-fasisme.
Masyarakat di ruang publik terpindai secara otomatis sehingga mereka terpantau lagi di mana, sedang apa, memakai baju apa. Praktis menjadi pemerintahan otoriter seperti Nazi Jerman yang tidak bisa menolerir keberadaan privasi warganya.
Kedua sahabat karib ini pun melawan dengan cara mereka sendiri, sebagai sepasang remaja yang tahu bahwa mereka tak bisa mengubah dunia, tapi tahu benar bahwa dunia bisa menjadi panggung untuk melakukan aksi yang menurut mereka bernilai, dan dalam alur film ini: lucu.
Alam Pemikiran Sora
Film Happyend tak bisa dilepaskan dari pandangan sang sutradara Neo Sora, seorang aktivis anti-nuklir yang ikut demo pasca bencana nuklir Fukushima.
Dia sedang sangat prihatin melihat situasi politik Jepang, dan dunia, yang bergerak kian fasis sementara warga kian abai.
Sebagai pemegang paspor Amerika Serikat (AS) yang dibesarkan di Tokyo dan New York, Sora sebagaimana dikutip Anothermag, menilai Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida kian bertindak fasis.
“Lebih kepada kecenderungan menuju fasisme secara lambat dan diam-diam, yang di mata orang-orang terlihat sangat membosankan. Dan oleh karenanya, tidak ada yang ambil peduli; mereka [publik] hanya terus berjalan dan melakukan apapun yang mereka inginkan," tutur Sora.
Faktanya, "dekrit darurat" yang dinyatakan dalam setting film tersebut adalah kutipan langsung dari berita utama di Jepang, di mana Kishida mencoba mendorong reformasi konstitusi yang akan menyerahkan kekuasaan yang kian besar kepada eksekutif.
Karakter Kuo juga tak muncul dari ruang hampa.
Sora menciptakannya berdasarkan realita di Jepang di mana masyarakat terperangkap kebodohan populis seperti yang terjadi pada 1923, saat bencana gempa bumi berujung pada pembantaian 6.000 warga keturunan Korea di negara tersebut.
Pada 1 September 1923, Gempa Akbar Kanto terjadi. Skalanya 7,9 magnitudo. Durasinya hanya 14 detik, menurut AllThatInteresting.com.
Gempa tersebut memicu gelombang tsunami setinggi 12 meter yang menyapu pesisir Yokohama, diikuti tanah longsor di berbagai tempat, dan badai api. Mirip seperti tsunami Aceh, sebanyak 100.000 jiwa dilaporkan terenggut.
Hanya saja, setelah gempa itu, muncul rumor rasis. Warga pendatang Korea disebut-sebut sengaja membakar kota untuk menjarah. Api membesar dengan cepat ketika angin badai meniup sehingga membunuh ribuan orang Jepang. Warga Jepang pun tersulut.
"Mereka membunuh sekitar 6.000 orang [keturunan Korea] dalam 2 hari," kata Sora, yang tahun ini berusia 33 tahun.
Jepang & Indonesia Kian Fasis?
Mirip seperti di Indonesia saat ini, di mana ketakutan akan Megathrust dihembuskan secara masif dan terstruktur, Jepang saat ini juga menghadapi situasi yang sama di mana pemerintah memprediksi beberapa dekade ke depan akan ada gempa besar.
Secara bersamaan, pemerintah Jepang dirasakan kian fasis dan problem kemanusiaan seperti genosida di Gaza tidak dianggap sebagai isu yang harus diangkat dalam kebijakan pemerintahan.
"Saat ini kaum muda dihadapkan pada masalah politik dan sosial berskala sangat besar yang terasa benar-benar di luar kendali mereka, tapi merekalah yang paling harus menghadapinya," kata Sora.
Semua kegelisahan itu dirangkum menjadi drama persahabatan yang menyentuh hati, tapi intens dengan momen komedi yang berbalur dengan kemarahan dua anak muda dalam memperebutkan cinta dan melancarkan aksi mereka dalam melawan tekno fasisme.
"Anda bisa merasakannya setiap hari, terutama dengan pemanasan global dan bencana lingkungan dan gambaran konstan genosida dan perang di seluruh dunia," tutur Sora, yang mencuri perhatian publik karena memakai kefiyeh di ajang Festival Film Venesia. (ags)