G2G Festival: Potret Lompatan Gim Indonesia dan Optimisme di Baliknya

Jumlah produksi game anak negeri melejit 500% di tengah keterbatasan dukungan dan permodalan.

By
in Pop Culture on
G2G Festival: Potret Lompatan Gim Indonesia dan Optimisme di Baliknya
Di tahun keempat, G2G Festival yang berlangsung pada 23-24 November 2024 menghadirkan lebih dari 40 gamedev lokal dengan target 5.000 pengunjung. (Sumber: G2G Festival)

Jakarta, TheStanceID Game lokal bercita rasa internasional kian menghiasi cakrawala industri kreatif Indonesia. Talenta muda potensial bermunculan, tapi perlu terobosan untuk membawa mereka ke jalur cepat.

Industri gim tak lantas tertekan meski Indonesia sempat ramai akan pemblokiran atau pelarangan peredaran, yang sedikit-banyak mengaburkan makna gim sebagai produk kesenian.

Riset Asosiasi Game Indonesia pada tahun 2024 menunjukkan bahwa jumlah game lokal yang masuk tahapan pengembangan sampai rilis meroket hampir 500%.

Hal ini menjadi penanda bahwa game Indonesia menjadi magnet bagi pengembang (developer) dan pemain, yang bersama dengan film dan musik menandai babak baru perjalanan industri kreatif Tanah Air.

Tapi apakah hal ini berarti industri game Indonesia sudah tangguh?

Di sela event tahunan Gamers 2 Gamers (G2G Festival) dan The Lazy Game Award 2024, Ketua Asosiasi Game Indonesia (AGI) periode 2024-2029, Shafiq Husein, mengatakan game Indonesia masih perlu sokongan untuk bersaing di industri kreatif global.

“Namanya kita baru mulai, masalah utama pasti pendanaan. Namanya usaha pasti butuh modal yah. Dari yang tadi kesempatannya hanya untuk 5 developer, mungkin bisa 20 developer yang bisa berangkat ke acara-acara luar negeri,” jelasnya kepada TheStanceID.

Di samping itu, lanjut dia, perlu dukungan pemodal untuk terus menumbuhkan berbagai ajang dan pameran game untuk meningkatkan awareness publik terhadap game lokal ketimbang game impor.

Dari Riak Menjadi Gelombang

Tentu kita tidak bisa menutup mata. Warga +62 lebih mudah menyebut judul game internasional ketimbang game besutan lokal.

Wajar saja, riak game lokal baru muncul di era 2013-an berkat DreadOut, game yang dikembangkan pengembang gim asal Bandung, yakni Digital Happiness. Game bergenre horor ini akhirnya rilis pada tahun 2014 di platform PC.

Memang, DreadOut bukan game pertama di Tanah Air. Di penghujung tahun 80-an, ada Agustinus Nalwan yang menyandang status developer game pertama di Indonesia. Hanya saja, skalanya masih terlalu kecil bahkan untuk disebut sebagai riak.

Tiga dekade kemudian, DreadOut muncul dan sebagai karya intelectual property (IP) berhasil mencuri perhatian publik dan diterima pasar nasional.

Buktinya 5 tahun setelah perilisannya, game dengan karakter utama Linda, gadis SMA yang memiliki kemampuan melihat “penampakan” ini diadaptasi menjadi film dengan sutradara dan produser jempolan Kimo Stamboel.

 

Konsistensi Berujung Game of The Year

Sebagai developer, Digital Happiness juga terus mencetak game yang kualitasnya terus meningkat. Sebutlah DreadOut 2 yang rilis tahun 2020, juga DreadHaunt yang rilis tahun ini.

Ketiganya adalah gim bertema horor. Namun untuk yang terakhir kualitasnya tidak main-main sehingga mengantarkan DreadHaunt meraih status sebagai “Game of The Year” di ajang The Lazy Game Awards (TLGA) 2024.

TLGA adalah mercusuar validasi kualitas gim Indonesia. Penghargaan itu diberikan di ajang G2G Festivals (berlangsung pada 23-24 November 2024), yang merupakan pertemuan akbar antara pelaku, pewarta, dan pengguna industri gim Indonesia.

Mengingat penghargaan ini menggunakan sistem voting, kemenangan DreadHaunt hingga melibas game impor tersebut menunjukkan bahwa pencinta dan pemerhati gim nasional menaruh perhatian terhadap game lokal.

“Kami sangat berterima kasih kepada para gimer yang telah menunjuk DreadHaunt sebagai Indonesian Game of The Year di TLGA 2024. Penghargaan ini juga akan menjadi bahan bakar kami untuk terus mengembangkan gim-gim yang lebih menarik lagi di masa mendatang,” tutur PR & Marketing Manager Digital Happiness, Andre Agam kepada TheStanceID. 

Wajah-Wajah Pendatang Baru

Bagi yang kurang suka dengan gim bergenre horor, tenang saja. Ada banyak genre game lokal lain yang tidak kalah potensial untuk kalian jajal.

Potion Permit, Coral Island, dan Coffee Talk 2 adalah tiga judul game non-horor yang wajib dicoba tahun ini, menurut CEO Arsanesia Adam Ardisasmita—yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Asosiasi Game Indonesia.

“Kalau secara kasat mata sudah jelas grafis game lokal sudah makin gila sejak tahun lalu. Untuk tahun 2025 sendiri ada 2 game lokal yang patut kita tunggu yaitu Acts of Blood dan Agni: Village of Calamity,” ceritanya.

Dua game terakhir memang begitu memanjakan mata. Bila kita tidak membaca detail orang-orang yang membesut game tersebut di credit title, sulit untuk menyangka game ini merupakan karya generasi terkini Ibu Pertiwi.

Acts of Blood mengambil referensi dari film populer The Raid, dikembangkan oleh pengembang bernama Eksil Team. Game ini memadukan kekhasan The Raid dengan karakter dua game bergenre action kelas dunia yakni Sleeping Dogs dan SIFU.

Total pengerjaan sih 10 bulan, sampai 1 November kemarin kita rilis demo di Steam,” kata Lead Developer Eksil Team, Fajrul FN. Steam adalah layanan distribusi digital permainan video, yang menjadi tempat diskusi, bermain, dan membuat game.

Film Pendek Berbuah Gim Andal

Sementara itu Agni: Village of Calamity dikembangkan oleh Separuh Interactive. Game ini merupakan pengembangan karakter Agni yang semula diciptakan sebagai sebuah short movie pada tahun 2019-2020.

“Tadinya saya menyiapkan tiga script. Ketika dua yang lain selesai pengembangan dan rilis, teringat lagi ada Agni. Saya merasa kurang pas sih kalau diangkat jadi short movie lagi, cocoknya buat game,” jelas Leo Avero, sang Art Director/Concept Artist Artist One Pixel Brush sekaligus Chief Separuh Interactive.

Kedua game ini masih dalam tahap pengembangan, tapi setidaknya dari trailer dan demo yang beredar jelas bila ranah game development di Indonesia sudah memasuki babak baru.

Agni: Village of Calamity mendapatkan penghargaan Indonesia’s Most Anticipated Game, sedangkan Acts of Blood berhasil meraih The Best Newcomer di The Lazy Game Awards 2024.

Tak Hanya Milik Kaum Adam

Industri gim di Indonesia juga mulai semakin ramah gender, di mana kaum hawa mendapatkan ruang yang sama. Sarah Johana, Head of Marketing Toge Productions, adalah salah satu bukti dan saksi pergeseran demografi talenta di industri ini.

Masuk ke industri gim sebagai gender minoritas, menjadi 2D Artist, dia kemudian dipercaya mengembangkan gim di ranah non teknis, yakni pemasaran. Di perjalanan karirnya itu, dia banyak berjumpa dengan kaum hawa di industri ini.

“Pada tahun ke-10 di industri video game, saya semakin terpapar ketika masuk Toge Productions. Di sini ketemu dengan orang-orang luar yang banyak juga perempuannya di industri game. Kita boleh minoritas, tapi kontribusinya bisa tak terbatas,” tuturnya.

Menurut sosok yang akrab disapa Sajo ini, game masa kini mulai banyak yang menargetkan perempuan, baik dari aspek nuansa gim seperti pemilihan warna, maupun dari aspek teknis.

“Banyak lho ibu-ibu yang sudah lelah dengan aktivitas keseharian tapi ingin main game yang nggak [bikin] pusing lagi. Makanya kan banyak game kayak Candy Crush atau pas pandemi kemarin Animal Crossing ramai banget dimainkan perempuan,” jelas Sajo.

Mayoritas Pekerja Perempuan

Dari ranah game lokal, Sajo menyebut game-game dari Triple Dot Studio (dulunya bernama Touchten) misalnya, dari awal menyasar para kaum hawa. “Bahkan mayoritas pekerja Triple Dot [adalah] perempuan,” tambahnya.

Toge Productions sendiri merilis beberapa game seperti When the Past was Around dan She and The Light Bearer hadir dengan fokus untuk perempuan.

“Cerita yang romantis, bikin trenyuh, bahkan Coffee Talk meskipun yang menulis [alm.] Fahmi, tapi dia bisa menyampaikan cerita yang relate ke banyak orang,” jelasnya.

Di The Lazy Game Awards 2024, game My Lovely Empress dari GameChanger Studio menyabet dua penghargaan sekaligus: The Best Indonesia Art Direction dan The Best Indonesia Game Direction.

GamChanger Studio dinakhodai Riris Marpaung, seorang mantan pustakawan dan pendiri Indonesia Women In Game.

Potensi Besar Anak Muda, Pendanaan Cekak

Dari sisi demografi umur, game Indonesia juga semakin menghijau di mana talenta di dalamnya semakin didominasi darah muda. Tidak heran, penghargaan The Best Newcomer tahun ini jatuh pada Acts of Blood.

Setelah sukses mengembangkan gim berkonsep hand-to-hand combat tersebut, Fajrul, yang tergolong anak Gen-Z, kini bernegosiasi dengan publisher. Selama proses pengerjaan gim tersebut, Fajrul merogoh koceknya sendiri.

“Belum sampai Rp100 juta sih, tapi sejauh ini masih dana sendiri. Mudah-mudahan di awal tahun depan kita sudah deal dengan publisher, jadi pengerjaannya bisa makin lancar,” ujarnya.

Hal senada juga disampaikan Leo Avero dalam pengembangan Agni: Village of Calamity. “Karena kita indie, sudah pasti nih yang namanya budgeting jadi challenge utama. Selain itu pembentukan tim juga menjadi tantangan berikutnya,” jelas Leo.

Dukungan Pemerintahan Baru

Pemerintah mengakui bahwa pengembang gim di Indonesia kini sudah berada di kelas yang sama dengan pemain global. Hal ini terlihat ketika beberapa kali mereka membawa pengembang game lokal ke Tokyo Game Show.

Oleh itu, Kementerian Ekonomi Kreatif menjanjikan dukungan penuh ke pengembang gim. “Harap sabar sedikit karena Kementerian Ekonomi Kreatif juga baru berjalan 33 hari,” jelas Wakil Menteri Ekonomi Kreatif Irene Umar kepada TheStanceID.  

Irene menyatakan bahwa Perpres Percepatan Industri Gim Nasional akan terus dikawal. “Pasti sih, kalau sudah berjalan ya kita teruskan. Kalau ada perlu revisi maka akan kita revisi. Doakan saja semuanya bisa sebelum tahun depan,” tambahnya.

Program pengembangan game lokal selama ini dijalankan melalui Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif (Kemenparekraf) dan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).

Pemerintah tercatat menggelar event reguler Indonesia Game Developer Exchange (IGDX). Namun Irene menilai ajang Gamers 2 Gamers Festival (G2G) memiliki konsep unik, dengan fokus pada suara pengguna.

“Gamedev yang dapat apresiasi dari negara-negara lain itu sudah banyak. Tapi di Gamers 2 Gamers Festival [G2G] ini bukti nyata dukungan dari komunitas. Mereka beli tiket untuk nyobain game lokal,” pungkasnya. (dip)


Catatan Redaksi:

Gamers to Gamers Festival dan The Lazy Game Awards adalah “lebaran” gamer dan gamedev lokal, sebuah event tahunan besutan The Lazy Media—perusahaan yang berfokus di ranah game dan selingkar wilayahnya.

Di tahun keempat yang berlangsung pada 23-24 November 2024, G2G Festival menghadirkan lebih dari 40 gamedev lokal dengan target 5.000 pengunjung, setelah pada tahun 2023 sukses mendatangkan 3.000 audien.

TheStanceID turut mendukung event ini sebagai media partner.


\