Fakta di Balik Vaksin HPV: antara Skeptisisme, Temuan & Histeria Massa
Kanker serviks penyebab kematian tertinggi ke-2 bagi perempuan. Perlu vaksinasi, tapi takut mandul?

Jakarta, TheStanceID – Pernyataan Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengenai dugaan bahaya vaksin Human Papillomavirus (HPV) kembali memicu perdebatan. Pemerintah ngotot laporan tersebut tidak akurat, meski terungkap di jurnal.
Siti Fadilah menyebutkan sejumlah penelitian mengindikasikan bahwa vaksin HPV produksi Merck diketahui terkontaminasi Deoxyribonucleic Acid (DNA) dan tidak diuji dengan tepat, sehingga dikhawatirkan dapat menyebabkan efek berbahaya bagi penerima.
Postingan akun Instagram milik Siti Fadilah mengunggah postingan bersumber dari Vaccine Choice Canada yang menjelaskan bahaya vaksin HPV, yang tertulis:
“Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) tahu vaksin HPV Gardasil terkontaminasi DNA. Gugatan hukum besar terhadap Merck mengungkapkan bahwa Merck dan FDA tahu pembuat vaksin tersebut tidak melakukan pengujian yang tepat untuk kontaminasi DNA, tetapi menutupinya.”
Postingan tersebut kian meramaikan penolakan vaksin HPV yang diberikan pada anak usia sekolah, dan memicu kekhawatiran massal akan efek sampingnya terhadap kesehatan.
Dunia maya memang sempat ramai tentang kekhawatiran efek vaksin HPV tersebut terhadap kesehatan reproduksi, sebagaimana yang diunggah akun iii-chromatic di platform X.
Kemenkes merespons cepat postingan Siti Fadilah Supari melalui akun Instagramnya dengan memposting tangkapan layar unggahannya dengan dibubuhi tanda hoaks.
Alih-alih melakukan pengecekan, Kemenkes mengumumkan bahwa vaksin HPV aman, tidak menyebabkan kemandulan, serta telah terbukti efektif dalam mencegah kanker serviks dan penyakit lainnya.
“Jangan mudah percaya dengan informasi yang belum terverifikasi. Yuk, sebarkan fakta dan lindungi diri serta orang-orang tercinta. #AntiHoaxKesehatan,” tulis Kemenkes.
Pemerintah Perlu Menelisik
Siti Fadilah merespons dalam Instagramnya bahwa yang disampaikan bersumber dari Balai Obat dan Makanan (Food and Drug Agency/FDA) Amerika Serikat (AS). Siti meminta Kemenkes menelisik lebih jauh atas dugaan tersebut.
“Yang ngomong itu FDA, bukan Siti Fadilah, masa dibilang hoaks? Ini saya ambil dari satu tulisan, bukan saya yang mengatakan itu, tapi FDA. FDA itu kayak badan POM-nya Amerika, sangat berkuasa di seluruh dunia. Nah mestinya, kalau gak ngerti ya cari ngerti,” papar Siti.
Mengacu pada posting Vaccine Choice Canada, terdapat pembahasan soal risiko terkait bahan tambahan dalam vaksin, seperti Polysorbate 80, yang dapat mempengaruhi kesuburan. Bahan ini ditemukan di vaksin Gardasil 9.
Situs resmi FDA tentu saja tak merilis pernyataan bahwa vaksin HPV memiliki dampak buruk. Sebaliknya, FDA menyetujui vaksin HPV seperti Gardasil 9 setelah uji klinis yang diklaim melibatkan 15.000 peserta pria dan wanita.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS juga menekankan bahwa vaksin HPV menjalani pengujian ekstensif sebelum disetujui oleh FDA, mengklaim bahwa vaksinasi HPV jauh melebihi potensi risikonya.
Menurut penelusuran TheStanceID, memang ada sebuah penelitian yang mengungkap dugaan adanya DNA yang terikat di vaksin vaksin Gardasil 9 produksi Merck akibat kontaminasi aluminum, yang bisa mengganggu kesehatan.
Laporan tersebut berjudul "Detection of Human Papillomavirus (HPV) L1 Gene DNA Possibly Bound to Particulate Aluminum Adjuvant in the HPV Vaccine Gardasil®"
Dirilis tahun 2012, penyusunnya adalah peneliti Milford Hospital and Milford Molecular Laboratory AS, Sin Hang Lee. Uniknya, salah satu referensi penelitian itu, yakni pernyataan CDC tentang detil efek samping vaksin HPV, telah hilang dari situs CDC.
Kemenkes Pilih Membantah
Meski ditantang melakukan penelitian, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Aji Muhawarman memilih menjelaskan kembali bahwa manfaat vaksin HPV sangat jelas, dan tak menyebabkan kemandulan.
Kanker serviks merupakan penyebab kematian tertinggi kedua bagi perempuan setelah kanker payudara, sehingga perlu pencegahan lebih dini salah satunya melalui vaksinasi.
“Kemandulan pada umumnya disebabkan oleh gangguan atau kelainan pada organ reproduksi. Komponen yang ada pada vaksin HPV tidak terbukti menyebabkan kemandulan,” ujar Aji Muhawarman kepada TheStanceID.
WHO melalui Global Advisory Committee on Vaccine Safety 2013–2016, lanjut dia, telah mengkaji keamanan vaksin ini secara menyeluruh dan tidak menemukan adanya kaitan antara vaksin HPV dan masalah kesuburan.
Lebih lanjut, Aji menjelaskan bahwa sejak 2006, ketika vaksin HPV mendapatkan izin edar, lebih dari 500 juta dosis vaksin telah disebar ke seluruh dunia.
WHO secara rutin mengevaluasi keamanan vaksin ini dan tak menemukan isu terkait mandul. Sampai sekarang lembaga internasional tersebut secara resmi merekomendasikan vaksin HPV sebagai program imunisasi nasional.
“Jadi, klaim bahwa vaksin HPV menyebabkan kemandulan adalah tidak berdasar dan menyesatkan. Masyarakat sebaiknya tetap mengikuti rekomendasi dari sumber terpercaya dan tidak terpengaruh oleh informasi yang tidak didukung bukti ilmiah,” tambahnya.
Kemenkes mengimbau masyarakat untuk mendapatkan informasi kesehatan dari sumber yang valid dan mengikuti program imunisasi HPV sebagai langkah perlindungan dari kanker serviks yang terbukti efektif dan aman.
WHO Pastikan Keamanannya
Peneliti Kesehatan Global sekaligus Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman menilai vaksin HPV terbukti mencegah kanker serviks, menurut “Catatan Epidemiologi Mingguan” vaksin HPV dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2022.
Laporan tersebut menyebutkan bahwa vaksin pencegah penyakit HPV mulai tersedia pada 2006, dengan tingkat keamanan dan efektivitas vaksin HPV yang sangat tinggi. “Tidak ada bukti ilmiah yang menghubungkan vaksin ini dengan masalah kesuburan.”
Dari segi cara kerjanya, vaksin HPV dibuat memakai teknologi DNA rekombinan dan kultur sel. Vaksin ini mengandung protein struktural khusus yang membentuk partikel mirip virus (virus-like particle/VLP).
Karena tidak mengandung virus hidup atau DNA virus, vaksin ini tidak dapat menyebabkan infeksi.
Semua vaksin HPV melindungi dari HPV tipe 16 dan 18, yang diketahui memiliki risiko tinggi menyebabkan kanker serviks. Vaksin non-avalent juga melindungi dari HPV tipe 31, 33, 45, 52, dan 58, yang juga berrisiko tinggi memicu kanker.
Adapun vaksin quadrivalent dan nonavalent melindungi dari HPV tipe 6 dan 11, yang dapat menyebabkan kutil kelamin (anogenital).
Menurut Dicky, vaksin HPV tidak mengandung hormon atau bahan yang mempengaruhi kesuburan. Vaksin ini merupakan vaksin rekombinan yang dibuat dari protein kapsid virus yang membentuk VLP.
Selain itu, berbagai riset dan studi telah meneliti keamanan jangka panjang vaksin ini, termasuk efeknya terhadap kesuburan. Bahkan kehamilan pada wanita yang menerima vaksin HPV justru lebih sehat karena terlindungi dari virus.
Kanker akibat HPV dapat berujung pada operasi pengangkatan rahim (histerektomi) atau radioterapi, yang justru dapat menyebabkan kemandulan.
Targetnya Memang Remaja
WHO merekomendasikan vaksin HPV diberikan kepada wanita mulai usia 9 tahun, sebelum seseorang aktif secara seksual, agar lebih efektif dalam mencegah infeksi HPV.
Terdiri atas enam jenis vaksin HPV yang telah mendapat izin penggunaan, vaksin-vaksin tersebut umumnya diberikan hingga usia 26 atau 45 tahun. Beberapa vaksin juga telah disetujui untuk penggunaan pada pria guna mencegah penyakit terkait HPV.
Vaksin ini digunakan untuk mencegah lesi prakanker dan kanker serviks yang disebabkan oleh berbagai tipe HPV berisiko tinggi. Vaksin HPV tersedia dalam bentuk jarum suntik siap pakai atau dalam botol dosis tunggal/dosis ganda.
Untuk memastikan keamanan, kualitas, dan efektivitas vaksin HPV, WHO menetapkan standar dan rekomendasi bagi produsen serta lembaga pengawas kesehatan.
Dicky menilai munculnya hoaks dalam dunia kesehatan kerap disambungkan dengan teori konspirasi. Kehadirannya menurut dia cukup massif di era digital yang serba cepat, di mana informasi yang belum terbukti ilmiah sangat mudah beredar.
Namun, jangan langsung menyalahkan atau meremehkan mereka yang mempercayai informasi keliru karena justru bisa memperkuat keyakinan mereka. “Penting untuk berdiskusi dengan cara yang santun dan berbasis argumentasi yang kuat.”
Selain itu, empati juga menjadi faktor penting. Banyak dari mereka yang terpengaruh bukan semata-mata karena kurangnya pengetahuan, melainkan karena faktor sosial, ekonomi, atau ketidakpercayaan terhadap otoritas.
“Mereka sering kali merasa cemas dan enggan keluar dari zona nyaman mereka. Oleh sebab itu, memahami alasan di balik keyakinan mereka akan membantu dalam menyampaikan informasi dengan cara yang lebih efektif,” tuturnya.
Dicky menegaskan, fakta dan bukti ilmiah adalah senjata utama dalam melawan hoaks, tetapi cara penyampaiannya harus diperhatikan. Informasi yang terlalu sarat dengan istilah ilmiah dapat sulit dipahami oleh masyarakat awam. (par)
Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.