TheStanceID - Fenomena demo pengemudi ojek online (ojol) baru-baru ini menunjukkan bahwa ada persoalan laten dalam pola kerja-sama antara pengembang aplikator digital dan publik yang menjadi mitranya.

Sejumlah pengemudi ojol menggelar aksi unjuk rasa di depan Patung Kuda Monas, Jakarta Pusat, pada Selasa (20/5/2025). Aksi demonstrasi juga terjadi di berbagai titik kota besar lainnya, seperti Semarang, Surabaya, dan Bandung.

Mereka serentak menonaktifkan aplikasinya (off bid) dengan harapan pengembang aplikator, terutama dua terbesar nasional yakni GoTo dan Grab Indonesia memenuhi aspirasi mereka.

Chief of Public Affairs Grab Indonesia Tirza Munusamy mengklaim aksi demonstrasi tak berdampak pada operasi perusahaan, karena mayoritas pengemudi Grab masih aktif memberikan layanan pengantaran di berbagai wilayah di Indonesia.

“Tercatat, 99% mitra pengemudi tetap aktif menjalankan layanan mobilitas dan pengantaran di berbagai kota di Indonesia, termasuk pada saat berlangsungnya penyampaian aspirasi pada 20 Mei 2025,” jelas Tirza kepada Kontan, Senin (26/5/2025).

Pernyataan aplikator itu mengafirmasi pernyataan Ketua Komisi V DPR RI, Lasarus, saat RDPU Komisi V DPR RI dengan driver ojol pada Rabu (21/5/2025).

Mengutip laporan Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS), Lasarus menilai potensi nilai transaksi yang terdampak aksi demo ojol tersebut mencapai Rp187,95 miliar dari total gross transaction value (GTV).

"Aksi besar kemarin pada tanggal 20 Mei 2025 menurut prediksi peneliti Institute for Demographic and Affluence Studies atau IDEAS tidak disertai aksi off bid masal para mitra ojol hari itu," ujar Lasarus saat membuka rapat.

Catatan Struktur Hubungan Industrial Ojol

Grab

Kehadiran ojek online di Indonesia telah merevolusi transportasi perkotaan, menawarkan kemudahan akses transportasi dan tarif ojol yang kompetitif.

Kesuksesan platform ini menciptakan jutaan mitra pengemudi ojol yang menggantungkan hidupnya pada aplikasi. Namun, di balik popularitas dan kemudahan layanan ojek online, terdapat isu krusial yang memicu aksi demo ojol.

Model bisnis aplikasi ojek online seringkali menimbulkan ketidakseimbangan antara aplikator, pemerintah, dan driver ojol. Perusahaan ojol, sebagai pemilik platform, memiliki kontrol besar atas penetapan tarif, sistem insentif, dan aturan main ojol.

Sementara itu, pengemudi ojol rentan karena status kemitraan yang minim jaminan sosial dan pendapatan yang tidak pasti. Padahal, jutaan warga masyarakat menggantungkan pencahariannya dari ojol.

Di sisi lain, regulasi pemerintah pun belum optimal mengakomodasi kepentingan semua pihak karena bahkan UU Cipta Kerja yang menggantikan UU Ketenagakerjaan tak spesifik mengatur tentang ojol.

Pada tataran teknis, implementasi peraturan ojol seringkali tidak efektif atau menimbulkan interpretasi beragam, menciptakan celah praktik yang merugikan hak pengemudi ojol.

Kondisi ekonomi, termasuk kenaikan harga dan biaya operasional ojek online di tengah ekonomi yang masih tertekan, memperburuk situasi pendapatan mitra ojol.

Belum lagi jika bicara persaingan antar aplikasi transportasi online dan kebijakan tarif dinamis yang semakin menekan penghasilan driver ojol.

Tuntutan Utama Aksi Demo Ojol

ojek online

Berdasarkan aspirasi komunitas ojol, berikut tiga tuntutan utama yang belum memenuhi ekspektasi mereka, sehingga mendorong rencana aksi ojek online pada 20 Mei 2025:

  1. Tarif Ojek Online yang Adil

    Pemerintah dan aplikator dinilai belum memberikan solusi konkrit terkait tarif layak ojol. Mitra ojol menuntut penyesuaian tarif yang sesuai biaya operasional (harga bensin, perawatan motor) dan biaya hidup.

    Mereka juga mendesak mekanisme penetapan tarif yang transparan dan adil, mempertimbangkan pendapatan driver ojol dan daya beli konsumen.

  2. Perlindungan dan Jaminan Sosial Driver Ojol

    Status kemitraan ojol menghalangi akses jaminan sosial pengemudi, seperti asuransi kesehatan driver ojol, asuransi ketenagakerjaan, dan dana pensiun.

    Mereka menuntut pengakuan status yang jelas dan perlindungan sosial mitra ojol setara pekerja formal. Pemerintah dan perusahaan aplikasi ojol dianggap belum mewujudkan sistem jaminan sosial yang komprehensif.

  3. Kemitraan Ojek Online yang Setara dan Transparan

    Pengemudi aplikasi online mengeluhkan kurangnya transparansi kebijakan aplikator, termasuk sistem bagi hasil ojek online, algoritma order, dan potensi pemutusan kemitraan sepihak.

    Mereka menuntut dialog aplikator driver yang konstruktif dan kemitraan yang setara, di mana suara hak mitra ojol lebih didengar.

    Pemerintah dan platform digital ojek online dinilai belum menciptakan regulasi efektif untuk transparansi ojek online dan keadilan kemitraan.

Aksi demonstrasi driver ojol pada 20 Mei lalu merupakan sinyal kekecewaan mitra ojol terhadap kondisi kerja yang dirasa semakin tidak mendukung kesejahteraan mereka.

Baca Juga: Ekonomi Digital, Jalanan, dan Siapa yang Kita Bela?

Pemerintah dan aplikator ojek perlu merespons tuntutan ini dengan serius dan mencari solusi berkelanjutan untuk menciptakan ekosistem ojek online yang adil.

Kegagalan merespons tuntutan itu berpotensi mengganggu stabilitas sosial ekonomi dan merusak citra inovasi teknologi yang seharusnya menyejahterakan masyarakat. (ymk)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.