Penta Peturun

Oleh Penta Peturun, Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Lampung, kini menjalankan tugas sebagai Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan.

Di bawah panas Jakarta, motor-motor kecil berseliweran, memacu gas di antara debu dan deru klakson. Pengemudi ojol menggenggam layar kecil, satu notifikasi order menjadi satu kesempatan untuk menyambung hidup.

Bagi mereka, ini bukan sekadar pekerjaan. Ini soal makan hari ini, membayar sekolah anak, menutup tagihan kontrakan.

Namun di balik layar aplikasi, siapa yang benar-benar menikmati keuntungan, yang berdiri di puncak ekosistem ekonomi digital Indonesia?

Pada 1970-an, Jakarta mengenal opal—ojek pangkalan dengan Vespa tua. Para abang opal tahu siapa yang dapat giliran, siapa yang baru balik, siapa yang harus didahulukan.

“Dulu kami pangkalan rame, orang datang, ngobrol, tawar-tawaran. Sekarang sepi, tinggal saya duduk sendiri, lihat anak-anak muda main HP, nunggu order dari aplikasi.” ujar Bang Amir, opal Pal Meriam, Jakarta Timur.

Di Medan, bentor lahir dari modifikasi motor Inggris BSA 500 cc: becak motor yang tak hanya mengangkut orang, tapi juga barang dan mimpi.

Lae Oloan adalah tukang bentor yang biasa mangkal di pasar Sukaramai Medan. ”Anak saya bilang: Bapak daftar Grab. Tapi motor tua ini sudah hidup saya. Kalau saya ikut aplikasi, bentor saya mau disuruh parkir di mana?”

Namun 2014 mengubah segalanya. Gojek lahir, disusul Grab, Maxim, InDriver. Dunia lama pangkalan runtuh. Algoritma dingin masuk, menentukan siapa dapat order, siapa menunggu.

Abang-abang yang dulu dikenal nama, kini jadi titik global positioning system (GPS) yang berkerumun di peta digital, saling berburu status “ojol gacor”—istilah bagi mereka yang berhasil mendapat order tanpa putus.

Angka-Angka yang Menampar

Pramoedya Ananta Toer

Sejarah bukan hanya catatan kejadian, tetapi juga catatan penderitaan manusia, tulis Pramoedya Ananta Toer.

Dan penderitaan itu berbicara lantang dalam angka-angka yang menampar. Mari gunakan hitungan Sempoa, atau dikenal sebagai soroban, atau sim suan.

Total pekerja transportasi online pada 2025 mencapai 4,5 juta orang, terdiri dari 2,7 juta ojol dan 1,8 juta taksi online. Perputaran industrinya mencapai Rp350 triliun–Rp400 triliun per tahun.

Pendapatan aplikator dari komisi 10–25% sebesar Rp40 triliun–Rp70 triliun per tahun, sementara pendapatan tambahan dari iklan, logistik, fitur dompet digital, dan pinjaman mencapai Rp110 triliun–Rp155 triliun.

Rata-rata penghasilan bersih pengemudi hanya Rp2,2 juta–3,5 juta per bulan. Ironisnya, dari jutaan pekerja ini angka pasti di antara mereka yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan hanya kecil.

”Peserta BPJS Ketenagakerjaan baru sekitar 250 ribu orang, masih 1,7 juta yang belum ikut", ujar Anggora Dirut BPJS Ketenagakerajaan di sela pidato penyerahan kartu peserta.

Kalkulasi praduga, membuat potensi iuran sosial yang hilang mencapai Rp450 miliar–Rp1 triliun per tahun. Di atas kertas, angka-angka ini tampak menggembirakan, tapi di jalanan, kenyataannya jauh lebih suram.

Amartya Sen mengingatkan bahwa, pembangunan sejati bukan soal angka, tetapi soal kemampuan manusia untuk hidup bermartabat.

Niat Spiritual Pejuang Ojol

Aku bukan hanya roda yang berputar di jalan, aku adalah doa yang bergerak mencari cahaya. Dalam debu kota dan terik siang, hatiku tetap menyebut nama-Mu yang tak pernah letih.

Rezeki bukan sekadar angka dalam aplikasi, tapi hembusan kasih yang Kau tiup ke arahku. Saat order sepi, aku belajar sabar. Saat jalan macet, aku belajar pasrah.

Tuhanku, tuntunlah motorku seperti Kau tuntun hati para pecinta, menuju tempat yang tak hanya memberi rupiah, tapi juga membuat jiwaku pulang. Hari ini, aku tak hanya mengantar penumpang—aku mengantar diriku lebih dekat pada-Mu.

Dalam acara nasional “Quo Vadis Ojek Online?” yang selenggarakan BPJS Ketenagakerjaan dengan Kementerian Ketenagakerjaan RI pada 8 Mei 2025, ratusan pengemudi berkumpul.

Ahli waris Nur Salim, pengemudi ojol menerima Rp42 juta santunan kematian plus Rp132 juta beasiswa anak dari BPJS. Wahidin, pengemudi yang kecelakaan di Tanah Abang, mengaku biaya pengobatan Rp124 juta ditanggung penuh BPJS Ketenagakerajaan.

Ungkapan Maulana Jallaudin Rumi: ”kesakitanmu adalah tempat cahaya akan masuk". Makna, kata Rumi terjawab di sela keramaian, seorang ibu setengah baya dengan jaket ojol hijau mendekat ke saya saat sesi foto bersama.

Dia berbisik, ”Tolong sampaikan dengan Pak Menteri… potongan 10%, karena selama ini memberatkan kami.” Kalimat sederhana bermakna dalam, mengguncang kesadaran kita.

Hippocampus area otak bekerja cepat, teringat di kain hitam atribut aksi dibentangkan para driver dan ojol di depan kantor Kemenaker bertuliskan: “Jangan Rakus, Tamak. Aplikator Cukup 10%.”

Suatu ikhtiar dilakukan negara, dibentuk suatu badan untuk menjawab bahwa negara hadir.

Program JKK (Jaminan Kecelakaan Kerja) dengan biaya perawatan tanpa batas, santunan sementara, kompensasi cacat. JKm (Jaminan Kematian) Rp42 juta, santunan tunai plus beasiswa Rp174 juta; JHT (Jaminan Hari Tua) berupa tabungan pensiun.

Tanpa BPJS, satu musibah cukup menghancurkan keluarga pengemudi. Dengan BPJS, ada pegangan. Namun kesadaran dan akses masih sangat rendah, sementara aplikator belum diwajibkan ikut menanggung.

Beri Perlindungan Nyata

John RawlsJohn Rawls dalam A Theory of Justice (1971) mengingatkan, ketidakadilan terbesar adalah ketika peluang dasar tidak terbagi secara adil.

Regulasi pun tertinggal jauh. Regulasi penuh kekosongan, menerpa kaum lemah terhimpit kapitalisme digital. Pengatur tarif, keselamatan, standar pelayanan, yang tidak enak bagi kaum papa.

Undang-Undang (UU) No. 13/2003 Ketenagakerjaan yang jadul tak menjangkau pekerja digital.

ILO (2020) menyerukan kerangka hukum baru bagi gig economy: pengakuan status hukum pekerja, kewajiban kontribusi sosial platform, audit algoritma, akses serikat pekerja, serta kolaborasi antarnegara untuk menegakkan standar global.

Joseph Stiglitz mengingatkan pasar tanpa intervensi menciptakan ketidakadilan struktural.

Ekonomi mikro rapuh, konsumsi rumah tangga terganggu, satu kecelakaan memiskinkan keluarga lintas generasi, negara kehilangan potensi jaring pengaman sosial, industri rapuh jika hanya menguntungkan investor.

Baca juga: Nestapa Anak Buruh Migran di Kedah: Puluhan Tahun Tak Bisa Mudik

Sumitro Djojohadikusumo, begawan Ekonomi Indonesia dalam kubur masih teriak dalam tulisanya, ”bangsa yang tak memperkuat kelas pekerja akan rapuh fondasi industrinya".

Teriakan almarhum dilanjutkan oleh anaknya yang saat ini menjadi Presiden Prabowo Subianto, ”Mereka pahlawan keseharian. Negara hadir untuk melindungi.”

Disambut oleh Menaker Yasserli. ”Pekerja digital bukan bayangan. Mereka nyata, mereka punya hak,” tegas Prof Men--demikian kami memanggil beliau.

Tak kalah sengit dan tegas, Wakil Menteri Tenaga Kerja (Wamenaker) Immanuel Ebenezer (Noel) menimpali, “Ojol bukan mesin pencetak uang. Kita wajib audit aplikator, pastikan mereka ikut tanggung jawab sosial.”

Jadi, lanjutnya, negara atau pemerintah berharap terhadap aplikator ini: berilah mereka hak yang menjadi tuntutan mereka.

Tidak Muluk-Muluk

Menurut Noel, permintaan para pengemudi online tidaklah muluk-muluk.

”Mereka tidak minta yang namanya gaji direksi. Mereka tidak minta yang namanya saham. Mereka hanya meminta hak mereka selama di jalanan. Dan itu angka itu wajar buat kami sebagai pemerintah," ujar dia.

Karena itu, rekomendasinya jelas: negara harus membuat regulasi khusus pekerja digital, mewajibkan kontribusi aplikator, dan mengaudit transparansi algoritma.

Aplikator perlu mengurangi potongan, ikut menanggung iuran sosial, menyediakan pelatihan. Sebagaimana amanat konstitusi mensejahterkam kehidupan bangsa.

Pengemudi harus membangun asosiasi, meningkatkan literasi hukum dan digital, serta bersuara aktif. Masyarakat harus sadar siapa yang mengantar pesanan mereka.

Ekosistem harus dibangun untuk keberlanjutan yang adil, bukan hanya untuk pertumbuhan ekonomi, tapi untuk martabat manusia. Adam Smith mengingatkan, tidak ada masyarakat yang dapat makmur bila mayoritas anggotanya miskin.

Seperti kata Pramoedya, "berbuat adil itu sulit. Tapi kalau tidak dicoba, hidup ini tak lebih dari kesia-siaan."

Negeri ojol ini bukan soal promo, rating, atau angka di dashboard. Ini tentang manusia: mereka yang memutar gas setiap hari, berharap esok lebih baik. Sejarah tidak akan mencatat siapa yang paling kaya, tapi siapa yang berani berlaku adil.

"Kemarin aku pintar, maka aku ingin mengubah dunia. Hari ini aku bijak, maka aku mengubah diriku sendiri," bisik Jalaluddin Rumi. Kini saatnya kita berhenti menonton. Saatnya memilih: siapa yang kita bela?***

Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.