Nestapa Anak Buruh Migran di Kedah: Puluhan Tahun Tak Bisa Mudik
Kerja keras puluhan tahun, upah tak cukup untuk beli tiket pulang. Inilah nestapa dan asa buruh migran Malaysia.

TheStanceID – Malam itu wajah anak pekerja migran di Kedah, Malaysia, begitu ceria. Mengenakan busana adat Nusantara, mereka mengekspresikan kerinduan dan keinginan mengunjungi Tanah Air setelah "terjebak" puluhan tahun di Negeri Jiran.
Rasanya seperti menyaksikan acara tujuh belasan. Panggung berukuran 5 x 2 meter, yang hanya bisa menampung satu mobil Toyota Innova, dihiasi ala kadarnya dengan lampu-lampu dan balon merah-putih.
Di atas panggung kecil itu, anak-anak tersebut menari penuh semangat, sembari menyanyikan lagu-lagu khas Tanah Air, dari Gundul-Gundul Pacul, Soleram, Kampuang nan Jauh di Mato, hingga Sipatokaan.
Para penonton mengikuti lantunan lagi tersebut. Beberapa dari mereka begitu ekspresif di mana setiap tarikan nada dibarengi dengan penghayatan, layaknya seseorang menyanyikan ode untuk pasangan terkasih yang puluhan tahun terpisahkan.
“Aku adalah anak kelahiran Malaysia yang selalu bangga mendengarkan kisah kehebatan Indonesia dari ibuku,” ucap salah satu anak buruh migran Indonesia, dalam bait puisi yang dibawakannya.
Mendengar bait tersebut, sejumlah hadirin tak kuasa membendung air matanya. Isak tangis terdengar di Sanggar Bimbingan Permai Kulim di Kedah pada malam itu, Sabtu (28/12/2024).
Air mata itu menjadi semacam pengakuan atas kegagalan memenuhi harapan sederhana para anak yang menari di atas panggung tersebut, untuk pulang menjenguk kampung halaman yang selama ini mereka lihat melalui gawai dan televisi.
Kedah adalah salah satu negeri bagian di Malaysia, yang menampung 10 ribuan pekerja migran dari Indonesia. Mereka rata-rata mendapatkan penghasilan Rp5 juta-Rp9 juta, menurut keterangan Pertubuhan Masyarakat Indonesia di Penang.
Sanggar Bimbingan Permai Kulim menjadi tempat pendidikan anak-anak pekerja migran yang setiap hari mengajarkan pendidikan dasar, dan juga pemahaman akar budaya Indonesia.
Permai adalah singkatan dari Pertubuhan Masyarakat Indonesia—sebuah organisasi yang dibentuk warga Indonesia untuk mengaktifkan sanggar seni di Penang dan Kulim, Kedah.
Malam itu, sanggar merayakan ulang tahun ketiga. Selain diisi anak pekerja migran Kedah, hadir juga delegasi dari sanggar Indonesia di dua kota lain di Malaysia, yakni Sanggar Bimbingan Permai Penang dan Sanggar Bimbingan AMI Bukit Mertajam.
Miniatur Indonesia di Malaysia
Malam itu, miniatur Indonesia seolah hadir di Sanggar Bimbingan Permai Kulim, dari rahim kesibukan WNI yang bekerja keras bertahun-tahun di pabrik, kebun, dan di lokasi manapun yang bisa menjadi sumber penghidupan para WNI di Negeri Jiran tersebut.
Rasa lelah dan peluh para pekerja migran itu seolah-olah sirna. Senyum dan air mata bahagia mewarnai wajah mereka, demi melihat anak-anak dan remaja, yang belum pernah menginjakkan kaki di Bumi Pertiwi, fasih melantunkan lagu Indonesia Raya.
"Walaupun banyak negeri kujalani. Yang masyhur permai dikata orang. Tetapi kampung dan rumahku. Di sanalah ku rasa senang"
Meski anak-anak itu lahir dan tumbuh di Malaysia, tetapi mereka tetap lekat dengan Indonesia meski sejak lahir tak pernah melihat dengan mata kepala sendiri tanah Nusantara dan menghirup udara yang keluar dari pori-porinya.
Panggung kecil itu seakan menjadi simbol harapan dan mimpi mereka. Meski hanya berjarak 100 kilometer dari Medan, anak-anak di Kedah itu tak kunjung bisa pulang kampung. Umumnya karena terkendala dana.
Dengan upah yang tak seberapa, para pekerja migran memilih mengirim tabungan ke sanak keluarga di Indonesia, dan tak bisa menyisakan dana untuk mengajak anak-anaknya pulang mengunjungi negeri asalnya.
Eddy Virgo, Presiden Permai Penang, berharap membantu anak-anak sanggar berdikari melalui pendidikan yang layak. “Kelak ketika mereka bisa pulang ke Indonesia, mereka bisa menjadi pakar dan mengisi pos-pos ahli dan pekerjaan di Indonesia.”
Banting Tulang Mengelola Sanggar
Di balik keceriaan anak-anak Indonesia, ada satu orang yang sibuk memastikan jalannya acara. Berkopiah hitam dan berbaju melayu warna biru, ia hilir mudik memastikan semua berjalan lancar sembari menyapa para tamu.
Dia adalah Muhammad Mukhotib, pengelola Sanggar Bimbingan Permai Kulim, yang telah mengelola lembaga pendidikan ini selama 3 tahun terakhir. Tidak digaji, dan bahkan mengeluarkan dana mandiri untuk menghidupkan sanggar.
Di tengah keterbatasan, dan bermodal sewa rumah kayu berukuran 7x10 meter, Mukhotib berupaya memupuk asa ratusan anak-anak Indonesia agar tetap mendapatkan pendidikan yang berkarakter Indonesia.
"Kalau hujan besar suka bocor dan atapnya jatuh," ujar Mukhotib, yang hampir 20 tahun mencari penghidupan di Malaysia.
Meski ada ketentuan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) di sanggarnya, tidak semua keluarga buruh migran sanggup membayar.
Mukhotib sadar akan beratnya kehidupan para pekerja migran. Oleh karenanya, ia tidak pernah memaksa mereka membayar SPP dan memilih patungan bersama rekan-rekannya untuk menutupi kekurangan tersebut, bergerilya mencari sumbangan.
“Uang hasil sumbangan itu biasanya kami gunakan untuk membayar sewa rumah, air, listrik, kebutuhan alat ajar, serta uang transportasi guru,” tutur pria asal Demak, Jawa Tengah itu.
Perlu Uluran Tangan Pemerintah
Mukhotib mengaku terkadang muncul rasa gundah dan tertekan demi menghadapi beratnya operasional sanggar. Namun demi melihat kondisi anak-anak rantau di Kedah, perasaan tersebut ia kesampingkan.
“Perhatian dari pihak pemerintah sejauh ini juga hanya sebatas penyediaan alat bantu belajar. Jadi, kalau bukan kita siapa lagi?” ucapnya.
Ia pun memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada para guru di sanggar yang rela mewakafkan waktunya menjaga pembentukan karakter anak-anak Indonesia tersebut, meski pro bono.
“Relawan guru tidak bergaji. Murni relawan,” ujar lelaki berusia 45 tahun itu.
Ia berharap ada perhatian lebih dari pemerintah Indonesia terhadap nasib pendidikan anak-anak Indonesia di Malaysia, karena mereka adalah warga Indonesia yang tetap membutuhkan perhatian dan perlindungan dari negara.
Melalui acara tersebut, Mukhotib berharap kelak anak-anak didiknya tersebut bisa kembali ke Tanah Air dan selama itu, mereka bisa menjawab dengan kepala tegak mengenai asal usulnya.
“Bahwa saya adalah anak Sumatera, saya anak Jawa, saya anak Sulawesi,” tutur Mukhotib di atas podium. (pid)