Kamis, 21 Agustus 2025
Term of Use Media Guidelines

Evaluasi Satu Tahun Kebijakan Pembatasan Gula, Garam, Lemak (GGL)

International Diabetes Federation (IDF) memprediksi penderita diabetes di Indonesia akan menjadi 28,6 juta pada 2045. Perlu terobosan ekstra untuk mendorong aturan pembatasan GGL agar memberikan dampak nyata.

By
in Headline on
Evaluasi Satu Tahun Kebijakan Pembatasan Gula, Garam, Lemak (GGL)
Sumber: https://feb.ugm.ac.id/

Jakarta, TheStanceID – Pembatasan Gula, Garam, dan Lemak (GGL) berjalan setahun sejak ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024. Berhasilkah kebijakan ini menekan jumlah pasien cuci darah (hemodialisis) di Indonesia?

Menurut National Kidney Foundation, hingga 2024 ada 2 juta orang di seluruh dunia yang harus cuci darah akibat gagal ginjal. Angka tersebut hanya 10% dari jumlah yang sebenarnya lantaran sulitnya akses kesehatan di beberapa negara berkembang.

Lebih rinci, hampir 80% pasien mendapatkan perawatan gagal ginjal di negara-negara maju berkat sistem kesehatan yang memadai, sementara itu 20% di antaranya berada di 100 negara berkembang.

Di Indonesia ada kabar bagus. Berdasarkan data Indonesian Renal Registry (IRR) dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia, sejak 2014 sampai dengan sekarang angka pasien gagal ginjal kronik yang harus menjalani cuci darah semakin menurun.

Dari 185.901 orang pada 2019, menjadi 130.931 orang (2020), lalu naik ke 144.428 orang (2021), meninggi lagi ke 158.929 orang (2022), dan drop signifikan pada tahun 2023 menjadi 127.900 orang.

Namun, tentu saja, idealnya angka yang bagus adalah: nol. Mengapa belum juga tercapai nol? Penyebabnya adalah tingginya Penyakit Tidak Menular (PTM), yang sebagian besar dipicu oleh gaya hidup.

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mencatat PTM memicu kematian utama di dunia ini, mencapai 75% dari total kematian/tahun. Diabetes adalah penyebab utamanya selain kanker dan penyakit pernapasan kronis.

Lihat saja data IRR. Sebagian besar pasien yang menjalani hemodialisa dipicu oleh hipertensi, dengan persentase sebesar 37%. Lalu, menyusul diabetes melitus (30%), kerusakan ginjal (10%), dan infeksi bakteri yang memicu peradangan ginjal (4%).

Intervensi Negara untuk Dorong Gaya Hidup Sehat

Untuk itu, Indonesia menyusun regulasi untuk menciptakan pola hidup yang lebih sehat di kalangan masyarakat, agar PTM tidak meningkat yakni melalui PP 28/2024 yang membatasi batas maksimal kandungan GGL dalam pangan olahan.

Di Pasal 194 ayat (1) di PP tersebut, pemerintah menetapkan kewenangan untuk menentukan batas maksimal kandungan GGL dalam pangan olahan, dengan mempertimbangkan kajian risiko dan/atau standar internasional.

Selain itu, Pasal 195 di PP yang menjadi turunan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan ini mengatur bahwa produsen, importir, dan distributor wajib mencantumkan label gizi yang mencakup informasi kandungan GGL di kemasan produk.

Namun setelah setahun diberlakukan, dampak kebijakan ini belum terlihat signifikan. Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) menyebutkan diabetes di Indonesia melonjak dari 5,7% (2007), menjadi 11,7% (2023) dan diprediksi masih tinggi.

“Melihat peningkatan angka diabetes mellitus tipe 2 dan komplikasinya terhadap ginjal, tampaknya belum terlihat dampaknya,” tutur Ketua IRR dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia, Afiatin Makmun, kepada TheStanceID.

Menurut International Diabetes Federation (IDF), Indonesia pada 2021 menduduki peringkat kelima negara dengan jumlah penderita diabetes terbanyak di dunia yakni mencapai 19,5 juta orang.

Dengan mengacu pada situasi sekarang, IDF memprediksi penderita diabetes di Indonesia akan menjadi 28,6 juta pada 2045.

TheStanceID mencoba menghubungi Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) untuk mengetahui detil dan tantangan implementasi PP tersebut, namun hingga berita ini ditayangkan belum juga mendapatkan respons.

Mengacu Negara Lain

Selain Indonesia, negara lain juga meminimalisir kandungan gula dalam makanan maupun minuman. Mulai dari Singapura yang mewajibkan pelabelan kandungan gula di minuman kemasan dan melarang penjualan minuman berkadar gula di atas 12%.

Ekuador dan Uruguay melarang penjualan minuman berkadar gula tambahan lebih dari 7,5 gram per 100 ml, di sekolah-sekolah negeri dan swasta.

Peru lebih sadis. Sejak 2019 mereka hanya mengizinkan kandungan gula maksimal 2,5 gram per 100 ml pada minuman yang dijual di sekolah-sekolah.

Adapun Thailand dan Singapura mengeluarkan kebijakan pelabelan gizi di bagian depan kemasan (Front-of-Pack Labeling/FOPL), baik yang bersifat wajib maupun sukarela, untuk membantu konsumen membuat pilihan yang lebih sehat.

Australia, meski belum menerapkan cukai gula secara nasional, memiliki program reformulasi untuk mengurangi kandungan gula dalam produk makanan dan minuman. Sayangnya, sifatnya masih sukarela sehingga pelaku usaha tak banyak mematuhi.

Kemudian ada juga Uni Emirat Arab, yang per 1 Januari 2020 memberlakukan pajak 50% pada semua minuman yang mengandung gula atau pemanis buatan, guna mengurangi konsumsi dan mencegah penyakit seperti diabetes.

Berbagai kebijakan pembatasan gula ini merupakan bentuk intervensi negara guna menciptakan gaya hiidup sehat mengingat konsumsi gula yang berlebihan dapat menyebabkan obesitas, diabetes tipe 2, dan penyakit ginjal kronis.

Dengan menurunnya konsumsi gula di kalangan masyarakat, angka PTM yang berujung pada kebutuhan akan hemodialisis diharapkan bisa ditekan.

Proses Panjang Bikin Masyarakat Abai

rudi supriyadi

Dokter Spesialis Penyakit Dalam dari Rumah Sakit Borromeus Rudi Supriyadi mengonfirmasi sebagian besar pasien hemodialisis dipicu diabetes mellitus, hipertensi kronis, serta penyakit ginjal lain termasuk polikistik, batu ginjal, dan gangguan autoimun.

“Di negara maju maupun berkembang, diabetes adalah penyebab utama namun di Indonesia agak berbeda hipertensi menjadi penyebab nomor satu berdasarkan data dari IRR,” paparnya kepada TheStanceID.

Dokter, epidemiolog, sekaligus pakar keamanan kesehatan global Dicky Budiman menilai konsumsi gula berlebihan memang bisa berujung pada hemodialisa. Namun karena prosesnya tergolong panjang, masyarakat pun abai dengan bahaya gula.

“Prosesnya kompleks ya, memang benar bahwa diabetes melitus tipe 2 ini salah satu penyebab utama penyakit ginjal kronis, stadium akhir yang akhirnya perlu cuci darah,” ujarnya kepada TheStanceID.

Hipertensi yang mengharuskan cuci darah pun memiliki kondisi khusus, yaitu tekanan darah tinggi kronis yang tidak terkontrol sehingga merusak ginjal. Situasi demikian secara medis disebut sebagai glomerulonefritis.

Termasuk kondisi karena penyakit ginjal polikistik, ada obstruksi saluran kemih kronis, dan penggunaan obat nefrotoksik yang meracuni ginjal. Intinya, cuci darah baru terlihat di depan mata ketika persoalan sudah kompleks, sudah terlambat.

Peningkatan jumlah pasien cuci darah menurut Dicky lebih karena membaiknya deteksi penyakit akibat prevalensi diabetes dan hipertensi di dunia, khususnya Indonesia, sehingga berujung pada peningkatan kebutuhan penindakan.

Di sisi lain, masyarakat tidak menyadari pemicu utama penyakit yang bisa berujung vonis hemodialisis, yakni gaya hidup tak sehat. “Dia diet tinggi garam, gula, lemak juga, tapi kurang olahraga, kurang gerak. Ini juga berpengaruh ya, menjadi faktor.”

Pihak yang Diuntungkan

Dicky menuturkan peningkatan pasien cuci darah di sisi lain menjadi peluang bagi negara produsen alat cuci darah. Misalnya, Jerman dengan merek Fresenius, Jepang dengan merek Nipro, dan Amerika Serikat dengan merek Baxter atau Medtronic.

“Termasuk Korea Selatan dan China yang juga mulai berkembang ya dalam memproduksi, mengekspor gitu. Mereka tentu secara umum mendapat keuntungan dari meningkatnya permintaan mesin dialisis,” paparnya.

Bisnis yang berputar juga terkait dengan penjualan cairan dialisis dan layanan maintenance. Disamping itu juga rumah sakit dan klinik hemodialisis.

Hal itu semua membuat proses cuci-darah tidak murah. Oleh karenanya, Dicky menyeru masyarakat khususnya kaum muda untuk membatasi asupan GGL dan menjaga pola hidup yang sehat.

“Penyakit kronis itu bukan urusan atau menimpa orang sudah tua saja. Itu salah besar anggapan seperti itu. Kurus tidak berarti sehat atau anggapan bahwa yang penting badan gak gemuk itu salah karena orang kurus pun dapat kena diabetes,” tuturnya.

Termasuk pola pikir jika sakit tinggal berobat itu juga tidak tepat, karenanya pencegahan jauh lebih murah dan efektif daripada pengobatan. Sekalipun ditanggung asuransi, proses cuci darah tetaplah meletihkan dan menyakitkan.

Dicky yang juga mantan Sekretaris Dewan Pengawas BPJS (2016-2018) mengungkap bahwa cuci darah menjadi salah satu beban besar di BPJS, yang menguras setidaknya Rp100 juta per tahun.

Hak Warga atas Kesehatan Masih Sulit Dipenuhi

Tony Richard Samosir

Ketua Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCI) Tony Richard Samosir menilai Indonesia belum sepenuhnya menjamin pemenuhan hak warganya atas layanan kesehatan.

Masih banyak rumah sakit di Indonesia yang hanya menerima pasien berduit, dan kerap menolak pasien miskin meski di ambang kematian. Dia menegaskan bahwa negara harus hadir memenuhi hak kesehatan masyarakatnya.

“Kebijakan kesehatan itu belum berpihak kepada masyarakat sepenuhnya. Sekalipun ada orang yang sudah punya BPJS kesehatannya, ketika mereka masuk UGD, mereka ditolak dengan alasan kamar penuh, atau hal-hal lain yang sifatnya administrasi padahal nyawa pasien harus diselamatkan,” ujarnya kepada TheStanceID.

Untuk itu, dia kini menempuh pendidikan magister hukum kesehatan di Universitas Padjajaran Bandung, demi memperkuat advokasi hukum kesehatan Indonesia melalui KPCDI.

Kesehatan bukan semata urusan medis melainkan soal keberpihakan negara, keadilan sosial yang mewujud melalui kebijakan, dan kesadaran kolektif masyarakat atas perwujudannya dalam keseharian di tiap diri masing-masing.

Kegagalan pembatasan GGL dalam PP 28/2024 menekan angka diabetes menunjukkan bahwa regulasi tanpa implementasi yang kuat hanya akan menjadi dokumen mati di atas kertas.

Kampanye Kementerian Kesehatan

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Aji Muhawarman menegaskan pihaknya terus berupaya menekan angka pasien cuci darah di Indonesia melalui berbagai kampanye.

Salah satunya adalah promosi prinsip CERDIK, yang merupakan akronim dari: Cek kesehatan secara teratur; Enyahkan asap rokok; Rajin berolahraga; Diet seimbang; Istirahat cukup; dan Kelola stress dengan baik.

Selain itu juga ada Patuh; Periksa kesehatan secara rutin dan ikuti anjuran dokter; Atasi penyakit dengan pengobatan yang tepat dan teratur untuk mengendalikan penyakit; Tetap diet dengan gizi seimbang; Upayakan aktivitas fisik dengan aman; Hindari asap rokok, alkohol, dan zat karsinogenik.

“Dengan menerapkan perilaku CERDIK dan PATUH, diharapkan dapat menurunkan jumlah pasien cuci darah dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan,” ujarnya kepada TheStanceID.

Selain itu, ia juga mengajak masyarakat melakukan intervensi dini, melalui Skrining PTM Prioritas (hipertensi dan diabetes melitus) serta pengelolaan faktor risiko yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal.

Untuk memastikan kampanye itu berjalan, pemerintah menyediakan fasiitas program Cek Kesehatan Gratis (CKG), skrining awal fungsi ginjal berupa pemeriksaan tekanan darah dan gula darah dan skrining lanjutan melalui tes darah maupun tes urin.

Jika hasil pemeriksaan skrining lanjutan dinyatakan normal maka dilanjutkan dengan edukasi perilaku sehat. Sebaliknya jika terlihat ada gejala, maka dilakukan pengobatan dan anjuran pemeriksaan rutin.

“Anjuran periksa ulang setiap 3 bulan, serta rujuk ke FKTL jika perlu pemeriksaan lanjut atau fungsi ginjal memburuk,” papar Aji.

Baca Juga: Cuci Darah: Harga Mahal dari Gaya Hidup Gen-Z yang Sering Diabaikan

Di luar itu, pemerintah ketat mengawasi praktik kesehatan terkait penyakit ginjal, termasuk regulasi penggunaan obat-obatan, dan standar pelayanan di fasilitas kesehatan, serta pengaturan standar tenaga medis dan alat kesehatan.

“Selain itu juga kami mendorong riset-riset inovatif dalam penggunaan teknologi medis untuk diagnosa dan pengobatan penyakit ginjal,” tuturnya.

Untuk menuju bangsa yang sehat, semua memiliki peran. Negara memperkuat kebijakan, tenaga kesehatan melayani dengan penuh integritas, dan masyarakat menjaga pola hidup sehat. Bukan karena takut sakit, melainkan karena mencintai hidup. (par)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.

\