Kamis, 17 Juli 2025
Term of Use Media Guidelines

Anomali Redaksi Detik & Sikap Dewan Pers di Tengah Dugaan Persekusi

Ketika publik membatalkan suara kritisnya di media massa karena "merasa tidak selamat," dan Dewan Pers meminta kita "menghormati" pilihan demikian, berarti ada yang salah dengan iklim kebebasan pers kita dan perangkat-perangkatnya.

By
in Big Shift on
Anomali Redaksi Detik & Sikap Dewan Pers di Tengah Dugaan Persekusi
Tangkapan layar artikel opini yang ditayangkan Detik, sebelum kemudian diturunkan kembali. (Sumber: istimewa)

Jakarta, TheStanceID – Setelah ditayangkan pada Kamis (22/5/2025), Detik menghapus opini berjudul “Jenderal di Jabatan Sipil: di Mana Merit ASN?” di tengah dugaan terjadinya persekusi terhadap penulis yang merupakan akademisi.

Sebelumnya redaksi Detik menyatakan bahwa artikel itu dihapus karena rekomendasi Dewan Pers dan karena mempertimbangkan keselamatan penulis opini tersebut.

Redaksi Detik belakangan mengoreksinya, dan mengeklaim bahwa pangkal penurunan tulisan itu semata-mata karena penulis yang meminta, bukan karena rekomendasi Dewan Pers, berdasarkan klaim sepihak sang penulis.

“Redaksi menghapus tulisan opini ini atas permintaan penulis, bukan atas rekomendasi Dewan Pers. Sedangkan mengenai alasan keselamatan, itu berdasarkan penuturan penulis opini sendiri,” tulis redaksi dalam artikel tersebut, Jumat (23/5/2025).

Ini menjadi anomali pertama, yang memicu pertanyaan di benak publik: ada apa?

Penulis opini tersebut diketahui merupakan seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tengah mengenyam pendidikan Magister Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI).

Sebelum tulisan itu diturunkan, penulis opini bernama Yogi Firmansyah (YF) tersebut menuliskan kegelisahannya terkait dengan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang disahkan menjadi UU Nomor 3 Tahun 2025.

Ia mempertanyakan apakah prajurit aktif TNI bisa atau layak menduduki jabatan sipil? Ia menyoroti pengangkatan Letnan Jenderal TNI Djaka Budi Utama sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai di Kementerian Keuangan, Selasa (20/5/2025).

Djaka menjadi anggota TNI pertama yang menduduki posisi dirjen Kemenkeu dalam sepanjang sejarah Indonesia. Dia mengajukan pensiun diri pada Mei lalu.

Penulis melihat hal ini dimungkinkan karena Pasal 47 ayat 2 UU TNI yang telah direvisi menyebutkan bahwa prajurit aktif dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun.

Mantan Tim Mawar Disinggung, Dewan Pers Pilih Aman

Djaka Budi

Penulis memang tergolong kritis, karena berani mempertanyakan apakah penunjukan Djaka--mantan anggota Tim Mawar yang disidang karena menculik aktivis 1998--selaras dengan semangat manajemen karir dan manajemen talenta ASN.

Baginya, Dirjen Bea dan Cukai bukan sekadar jabatan administratif, namun juga berperan strategis untuk mengeksekusi kebijakan di bidang pengawasan, hukum, hingga penerimaan negara dari sektor kepabeanan dan cukai.

Penulis dalam artikelnya juga mengingatkan perihal PP Nomor 11 Tahun 2017, yang diubah dengan PP 17 Tahun 2020 tentang pengisian jabatan pimpinan tinggi yang diharuskan berbasis merit, dalam hal ini kualifikasi, kompetensi dan kinerja.

Ia juga menyoroti Permenpan-RB Nomor 3 Tahun 2020 yang berisikan pentingnya manajemen talenta ASN, di mana setiap jabatan strategis merupakan posisi target yang diisi melalui proses seleksi yang objektif, transparan, dan bebas dari intevensi.

Kegelisahannya diakhiri dengan pertanyaan apakah penunjukkan tersebut telah melalui pemetaan talenta yang tersedia dan apakah sudah mempertimbangkan potensi dan kinerja ASN yang selama ini dibina.

Dewan Pers menyatakan menghormati kebijakan redaksi media untuk melakukan koreksi atau pencabutan berita, sepanjang langkah tersebut dilakukan demi menjaga akurasi, keberimbangan, serta kepatuhan terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

“Namun, setiap pencabutan berita harus disertai penjelasan yang transparan kepada publik, agar tidak menimbulkan spekulasi dan tetap menjaga akuntabilitas media,” ujar Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat, Jumat (23/5/2025).

Dia menegaskan bahwa hingga saat ini Dewan Pers belum memberikan rekomendasi, saran, ataupun permintaan kepada redaksi Detik untuk mencabut artikel opini tersebut.

“Kami telah menerima laporan dari penulis artikel dan saat ini sedang melakukan verifikasi dan mempelajarinya,” tambahnya.

YLBHI Terima Laporan Persekusi

M Isnur - YLBHI

Ketua Umum Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur mengumumkan bahwa berdasarkan laporan yang dia terima, penulis mendapatkan aksi kekerasan dari orang tidak dikenal.

Dua pengendara motor dengan helm full face menyerempetnya usai mengantar anaknya ke sekolah. Beberapa jam kemudian penulis kembali dipersekusi oknum bermotor sama tetapi dengan helm berbeda, kali ini motornya ditendang sampai ia terjatuh.

Ia pun menduga aksi tersebut terkait dengan tulisannya yang baru saja diterbitkan sehingga meminta Detik menghapus tulisan itu. YLBHI menilai serangan fisik terhadap penulis opini sama halnya dengan pembungkaman terhadap masyarakat yang kritis.

Menurut Isnur, pemerintah dan aparat penegak hukum seharusnya menjamin perlindungan terhadap sang penulis opini Detik dan kepada siapapun yang menyampaikan kritik dan pendapatnya di alam demokrasi.

“Pemerintah dan aparat juga berkewajiban mengungkap upaya pembungkaman seperti ini. Serangan ini merupakan tindakan pidana yang harus diproses dan tidak boleh terulang,” ungkap Isnur kepada TheStanceID, Sabtu (24/5/2025).

Dalam pantauan YLBHI, aksi pembungkaman suara kritis terus meningkat dalam setahun terakhir. Bukan hanya terhadap jurnalis dan akademisi, tapi juga kepada seniman, penyanyi, budayawan, mahasiswa, aktivis, buruh dan petani.

"YF berhak untuk mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya dalam rangka pemulihan dan perlindungan,” tegas Isnur yang menegaskan dukungannya kepada Yogi agar kuat dan terus melakukan kritik secara terbuka dan tegas.

LPSK Proaktif Hubungi Penulis Opini

LPSKPimpinan Lembaga Perlindungan dan Saksi Korban (LPSK) Wawan Fahrudin menegaskan bahwa pada prinsipnya pihak yang menjadi korban tindak pidana tertentu, apalagi yang mendapatkan ancaman terkait jiwa berhak mengajukan perlindungan LPSK.

“Atas peristiwa tersebut, LPSK juga sudah melakukan upaya proaktif dengan berkomunikasi dengan korban dan memang kebutuhan untuk itu belum ada,” tuturnya kepada TheStanceID.

Umumnya, pemohon akan menghadapi serangkaian proses dari asesmen, investigasi, pengumpulan data dan fakta. Waktunya memakan 30 hari sejak diterima permohonan.

Jenis perlindungan bisa berupa perlindungan fisik misalnya pengamanan rumah, monitoring/pengawasan, pengawalan saat proses peradilan. Selain itu juga pemenuhan hak prosedural, dan bantuan rehabilitasi seperti medis, psikologis dan psikososial.

Selanjutnya yaitu perlindungan hukum, misalnya saksi/korban diberikan perlindungan dari tuntutan balik. Pihak yang terancam juga tetap dilindungi jika memang harus bekerja, alias selama aktivitas keseharian sepanjang tidak ada ancaman.

“Selain itu laporan balik juga bisa diberikan perlindungan hukum oleh LPSK. Kembali lagi untuk kasus ASN, YF belum ada permohonan dan kebutuhan perlindungan,” tandasnya.

Dugaan persekusi penulis opini Detik kian memperburuk catatan kebebasan pers di Indonesia, yang menurut catatan TheStanceID telah banyak diwarnai persekusi dan intimidasi.

Baca Juga: Jurnalis Diancam, Dibunuh, Ditekan lewat Regulasi

Dewan Pers mengaku menghormati dan menjunjung tinggi kebebasan pers sebagaimana dijamin Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, sembari mengecam keras dugaan intimidasi terhadap warga masyarakat.

“Kami mendesak semua pihak untuk menghormati dan menjaga ruang demokrasi, serta melindungi suara kritis dari warga, termasuk mahasiswa,” ucap Komaruddin.

Namun anomali kedua muncul. Dia menilai penghapusan artikel opini atas permintaan penulis adalah "hak yang harus dihormati sebagai bagian dari kebebasan narasumber untuk mencabut pendapat yang sebelumnya telah disampaikan kepada media."

Padahal, dalam pernyataan yang sama disebutkan bahwa penghapusan artikel dimungkinkan sepanjang terkait dengan upaya menjaga akurasi, keberimbangan, serta kepatuhan terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Sejauh ini tidak ada pertanyaan atau catatan dari publik, maupun dari Dewan Pers, terkait aspek akurasi, keberimbangan, dan kode etik dalam tulisan opini Detik. Semua kembali pada dugaan persekusi.

Komaruddin lalu mengimbau semua pihak menghormati kebebasan berekspresi dan berpendapat. “Kami menyerukan agar semua pihak menghindari penggunaan kekerasan maupun tindakan main hakim sendiri,” ujarnya.

Seruan itu terdengar normatif, karena tak menyinggung soal self-censorship berbasis dugaan persekusi ataupun kebijakan yang diambil Dewan Pers untuk memastikan pers Indonesia tidak menormalkan praktik swasensor berlatar belakang persekusi.

Ketika publik membatalkan suara kritisnya di media massa karena "merasa tidak selamat," dan Dewan Pers meminta kita "menghormati" pilihan demikian, berarti ada yang salah dengan iklim kebebasan pers kita dan perangkat-perangkatnya. (ags)

Simak info kebijakan publik & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.

\