Rabu, 20 Agustus 2025
Term of Use Media Guidelines

Cuci Darah: Harga Mahal dari Gaya Hidup Gen-Z yang Sering Diabaikan

Penyakit akibat kebanyakan "makan enak", seperti hipertensi dan diabetes melitus, bisa berkembang menjadi gagal ginjal jika tidak ditangani serius.

By
in Pop Culture on
Cuci Darah: Harga Mahal dari Gaya Hidup Gen-Z yang Sering Diabaikan
Ilustrasi seseorang yang harus menghadapi kenyataan untuk dirawat di rumah sakit. (sumber: leonardo.ai)

TheStanceID - Bukan perokok, apalagi peminum alkohol, tapi gemar makan dengan pola makan berantakan. Itulah yang terjadi pada Tonny Richard Samosir sebelum terkena hipertensi yang mengharuskannya menjalani proses meletihkan: cuci darah.

Ketua Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) itu menceritakan bagaimana ia akhirnya harus kehilangan fungsi ginjal akibat hipertensi. Menjadi satu dari beberapa penyebab diabetes, pola makan adalah faktor penyebab terdekat dengan kita.

“Masa sih suka makan saja bisa menyebabkan hipertensi? Bisa. Selain itu, saya juga mengalami kenaikan berat badan. Tidak sampai obesitas tapi sudah melewati batas ideal. Saya juga jarang berolahraga,” ujarnya pada TheStanceID Minggu (18/5/2024).

Tony mengakui bahwa hipertensinya tidak terkontrol. Ia hanya meminum obat saat merasa pusing dan memeriksakan diri ke dokter, namun setelah obatnya habis dan gejalanya mereda, dia tidak melanjutkan pengobatan atau kontrol.

Saat itu, ia tidak tahu bahwa hipertensi bisa berujung gagal ginjal. “Saya benar-benar tidak tahu, dan ini juga menjadi kesalahan di sisi pelayanan kesehatan yang tidak menyampaikan edukasi secara komprehensif kepada pasien.”

Selama penanganan, ia tak minum obat secara teratur sehingga hipertensinya tak tertangani dan berujung gagal ginjal. Dia pun mengingatkan masyarakat: jika mengalami tekanan darah tinggi, minumlah obat secara teratur tanpa lepas kontrol dokter.

“70% populasi pasien gagal ginjal disebabkan oleh dua penyakit tersebut. Data ini tidak hanya berlaku di Indonesia, tapi juga secara global. Saya sendiri mulai menjalani cuci darah pada tahun 2009, saat usia saya 27 tahun,” tuturnya.

Selain itu Tony juga menyayangkan adanya pandangan salah yang menyebutkan bahwa obat antihipertensi bisa memicu gagal ginjal. Padahal tidak demikian. Yang menyebabkan gagal ginjal adalah hipertensi yang tidak dikontrol dengan baik.

Dekat dengan Gaya Hidup Gen-Z

hipertensi

Publikasi Universitas Mataram menyebutkan bahwa Generasi Z (lahir antara 1997-2012) tumbuh di era teknologi digital yang pesat dan memicu gaya hidup tak sehat.

Kebutuhan eksis di dunia digital, yang berbasis media sosial, berujung ada pola makan yang tidak sehat: konsumsi makanan cepat saji, minuman berpemanis, tidak cukup tidur, tingkat stress yang tinggi, dan aktivitas fisik terbatas.

Hal ini berisiko memicu diabetes yang jika tidak ditangani akan berujung kronis seperti yang dialami Tony dan memaksanya menjalani terapi cuci darah dari tahun 2009.

Tony menuturkan, bahwa pola makan mesti seimbang. Bukan berarti tak boleh makan enak, melainkan makan enak dengan batasan: makanan terlalu asin memicu hipertensi, makanan berpemanis berlebihan memicu diabetes.

“Saat ini banyak sekali minuman kekinian dan makanan manis yang sedang tren, seperti kopi, kue, dan minuman berpemanis lainnya. Semua itu harus dibatasi. Bukan berarti tidak boleh sama sekali, tapi konsumsinya harus dijaga,” pesannya.

Ia juga menyarankan olahraga teratur, minum cukup air putih, dan tidur yang cukup. Sekaya apapun seseorang, kata Tony, tidak lagi berarti jika kesehatan terganggu.

“Jika seseorang sudah mengalami gagal ginjal, sekaya apa pun dirinya, semua itu tidak berarti. Mau punya helikopter sekalipun, jika sudah cuci darah, hidupnya tetap terbatas. Tidak bisa lagi menikmati hidup seperti sebelumnya,” tegasnya.

Tony beruntung mendapat transplantasi ginjal yang saat ini menjadi satu-satunya opsi medis bagi pasien gagal ginjal kronis untuk berhenti menjalani cuci darah (dialisis) secara permanen. Namun demikian, dia tetap setia memimpin KPCDI.

Biang di Balik Cuci Darah

Indonesian Renal RegistryKetua Indonesian Renal Registry (IRR) Afiatin Makmun mengungkapkan bahwa hipertensi menjadi penyebab utama pasien harus menjalani hemodialisis, dengan kontribusi sebesar 37%, disusul diabetes melitus (30%), dan kerusakan ginjal lainnya (10%).

Selain itu, infeksi bakteri penyebab peradangan ginjal berkontribusi sebesar 4%. Penyebab lain meliputi lupus ginjal, penyakit ginjal polikistik, penyumbatan saluran kemih, dan asam urat masing-masing sebesar 1%.

Afiatin prihatin dengan tren tingginya jumlah pasien baru dengan penyakit ginjal stadium akhir yang memerlukan terapi cuci darah. Menurutnya, hal ini mencerminkan bahwa upaya pencegahan belum berjalan optimal.

Data IRR yang dikelola oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia menunjukkan bahwa dalam 1 dekade terakhir sejak 2014, jumlah pasien aktif hemodialisis kronik mengalami pasang surut.

Puncaknya terjadi pada 2019 dengan 185.901 pasien. Namun, pada 2020 angka tersebut turun menjadi 130.931, naik kembali menjadi 144.428 (2021) dan meningkat lagi di 2022 menjadi 158.929.

Tren ini berubah pada 2023, dengan penurunan signifikan menjadi 127.900 pasien angka terendah dalam 6 tahun terakhir.

Afiatin menekankan pentingnya kesadaran masyarakat bahwa penyakit seperti hipertensi dan diabetes melitus bisa berkembang menjadi gagal ginjal jika tidak ditangani serius.

“Dibutuhkan program pencegahan yang kuat untuk menekan angka gagal ginjal akibat hipertensi dan diabetes. Penyebab lainnya pun perlu tetap menjadi perhatian,” ujarnya kepada TheStanceID.

Tanda Seseorang Harus Cuci Darah

rudi supriyadi

Dokter Spesialis Penyakit Dalam dari Rumah Sakit Borromeus, Prof. Dr. Rudi Supriyadi, dr. Mkes, SpPD (KGH), FINASIM menjelaskan tanda-tanda seseorang diharuskan melakukan cuci darah, pertama yaitu gagal ginjal tahap akhir.

Dialisis diperlukan ketika fungsi ginjal sangat menurun, terutama pada pasien dengan penyakit ginjal kronis stadium 5 di mana laju penyaringan ginjal (eGFR) turun di bawah 10 mL/menit/1,73 m², atau di bawah 15 mL/menit/1,73 m² pada pasien diabetes.

Tanda lainnya yaitu uremia berat di mana racun ureum (BUN) menumpuk dalam jumlah tinggi di darah, sehingga memicu kondisi serius seperti ensefalopati uremik (gangguan otak) atau perikarditis uremik (radang selaput jantung).

Hal ini menjadi tanda bahwa tubuh tidak mampu lagi membersihkan racun tanpa bantuan dialisis. Selain itu, kondisi dengan kalium yang berlebih dalam darah atau hiperkalemia.

“Kalium yang terlalu tinggi dan tidak kunjung turun meski sudah diobati bisa sangat berbahaya karena dapat memicu gangguan irama jantung. Bila kondisi ini tidak membaik, cuci darah menjadi jalan keluar,” paparnya.

Selain itu juga dipicu asidosis metabolik berat. Jika darah terlalu asam (pH rendah) dan tidak membaik meski sudah diberikan obat-obatan, maka dialisis bisa membantu mengembalikan keseimbangan tubuh.

Kondisi yang mengharuskan cuci darah lainnya yaitu penumpukan cairan yang parah di paru-paru yang tidak membaik dengan obat pengeluaran cairan (diuretik).

Baca Juga: Melampaui Jarum: Perjuangan Sunyi dan Solidaritas Pasien Gagal Ginjal

Terakhir, keracunan. Misal akibat litium, metanol, aspirin, obat tidur, atau minuman oplosan, yang mengharuskan dialisis untuk membersihkan zat berbahaya tersebut dari dalam darah.

Rudi menuturkan bahwa umumnya hemodialisa dilakukan 2-3 kali seminggu, masing-masing 4-5 jam per sesi, tergantung kebutuhan pasien. “Frekuensi cuci darah tergantung pada fungsi ginjal sisa, volume tubuh dan status klinik pasien.”

Pencegahan Masih Minim

Dokter dan Ahli Keamanan Kesehatan Global, dr. Dicky Budiman, PhD mengakui kurangnya pencegahan menjadi faktor penyebab di balik tingginya angka pasien cuci darah.

“Penyebab peningkatan jumlah pasien cuci darah ini ada beberapa faktor utama sebetulnya. Yaitu peningkatan prevalensi diabetes dan hipertensi ya di dunia ini dan juga termasuk di Indonesia. Kemudian juga adanya keterlambatan dalam deteksi terhadap penyakit ginjal kronis,” ujarnya kepada TheStanceID.

Dicky menekankan bahwa pelayanan kesehatan yang lebih baik pasti berbanding lurus dengan deteksi kesehatan yang signifikan. Namun, dia juga mengakui bahwa cuci darah juga bisa dipicu oleh turunnya fungsi ginjal akibat faktor usia.

“Jadi populasi yang jauh lebih banyak usia tuanya juga berkontribusi pada risiko peningkatan jumlah orang yang memang harus mengalami cuci darah,” tuturnya.

Transplantasi ginjal kata Dicky adalah bentuk solusi untuk berhenti dari cuci darah, namun perlu dipastikan sang pasien tidak memiliki jejak penyakit penyerta atau bawaan lain, dan fokus menjaga kesehatan pasca transplantasi di masa depan.

Pada akhirnya, kisah Tony dan data para ahli menunjukkan bahwa gagal ginjal bukanlah kondisi yang datang tiba-tiba. Ia tumbuh perlahan, diam-diam, dari gaya hidup yang kita anggap biasa, terlalu asin, terlalu manis, terlalu malas gerak.

Pencegahan melalui pola makan sehat, kontrol rutin, dan edukasi yang tepat adalah langkah pertama mencegah generasi berikutnya terhubung ke mesin cuci darah. Ketika ginjal rusak, tak ada jalan mundur, dan hidup tak lagi sama. (par)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.

\