Bursa Merah, Berikut Analisis Kenapa Revisi UU TNI Diyakini Jadi Pemicu

Masuknya TNI ke ranah sipil diinilai menurunkan daya saing ekonomi Indonesia, memperburuk KKN.

By
in Now You Know on
Bursa Merah, Berikut Analisis Kenapa Revisi UU TNI Diyakini Jadi Pemicu
Gedung Bursa Efek Indonesia (sumber : wikipedia)

Jakarta, TheStanceID - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) drop hampir 7% pada sesi satu perdagangan Selasa (19/3/2025) sehingga perdagangan saham sempat disetop. Kebijakan mundur ke belakang dinilai memicu ketidakpastian ekonomi.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menduga IHSG anjlok tajam karena efek sentimen negatif dari pembahasan revisi Undang-Undang TNI.

Jika pembahasan RUU TNI tetap dilanjutkan, kepercayaan pasar akan turun dan berimbas buruk pada perekonomian dalam negeri. Seperti diketahui, revisi itu memicu penolakan dari berbagai pihak.

"Ada risiko TNI masuk jabatan sipil menurunkan daya saing ekonomi Indonesia, memperbesar konflik kepentingan dan celah korupsi," kata Bhima dalam Diskusi 'Tentara Polisi Menguat, Rupiah Bursa Ekonomi Melemah', pada Selasa (18/3/2025) malam.

Koreksi pada Selasa itu murni dipicu faktor dalam negeri, karena mayoritas indeks saham Asia dan dunia kemarin berada di zona hijau.

"Kalau dibiarkan, capital outflow terus berlanjut, bisa menjadi indikasi menuju pada resesi ekonomi, ada kekhawatiran akumulasi faktor yang menurunkan performa ekonomi Indonesia mencapai puncaknya dalam waktu dekat," kata Bhima.

Resesi tersebut, lanjut dia, bakal berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, dan konflik sosial di berbagai daerah.

Sulit Pulih Cepat

Bhima menambahkan kebijakan proteksionisme Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, turut mempengaruhi pasar saham di negara berkembang, termasuk Indonesia. Meskipun efeknya tidak lebih besar daripada faktor domestik.

"Kalau sampai trading halt berarti investor asing akan terus lakukan sell off. Pasal modal pasca libur Lebaran masih belum bisa dipastikan apakah akan rebound," sambungnya.

Ketakpastian global karena kebijakan proteksionistis Trump, kata Bhima, sayangnya tidak direspons pemerintah dengan mitigasi yang tepat dan mengeluarkan kebijakan yang market friendly.

Sebaliknya, Presiden Prabowo Subianto justru memperkuat sektor pertahanan keamanan sehingga rentan memicu pertanyaan besar di benak investor.

"Ada apa ini? kenapa ekonomi memburuk tapi kebijakannya malah memperkuat pertahanan keamanan," ujar Bhima.

Baca juga: Amnesty: RUU TNI Bawa Indonesia Menjauh dari Demokrasi Menuju Otokrasi

Di sisi lain, peran TNI diperluas di ranah sipil melalui RUU TNI, di tengah kinerja fiskal yang buruk sementara belanja besar dibutuhkan untuk program wajib Makan Bergizi Gratis (MBG).

Skeptisme investor juga muncul terkait tata kelola Danantara, di tengah melemahnya daya beli masyarakat di tengah berbagai PHK yang menerpa akhir-akhir ini.

Khawatir Kasus Marsinah Terulang

Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia, Sri Rahmawati mengatakan pihaknya menolak keras pembahasan revisi UU TNI karena bisa mengembalikan esensi dwifungsi ABRI yang mengancam demokrasi.

"Sangat tidak ramah bagi masyarakat sipil. Mestinya posisinya TNI adalah untuk menjaga keamanan negara. Jadi posisi kami adalah supaya TNI kembali ke barak, ke perbatasan-perbatasan," ujarnya.

Dia juga khawatir menguatnya militerisme dalam proses pengambilan keputusan bisa membungkam dan mengancam kebebasan berpendapat kaum buruh.

Ia berkaca pada kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah pada tahun 1993 yang ditemukan meninggal dengan kondisi yang mengenaskan ketika memperjuangkan hak-hak buruh.

"Kami selama ini dibayang-bayangi oleh preman. Apalagi dengan revisi UU TNI itu ancamannya bisa dibungkam. Tidak menutup kemungkinan kasus Marsinah akan terulang kembali bagi buruh dengan menguatnya militerisme," ungkapnya.

Rahma sendiri mengungkap, kondisi buruh saat ini terus memburuk dan memprihatinkan, terutama pasca terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja karena status kerja yang tidak pasti dan upah yang rendah.

"Sangat berdampak buruh terhadap buruh terutama soal status kerja, misalnya upah, kekerasan terhadap buruh, diskriminasi, dan persaingan antar buruh sangat tinggi saat ini karena kehilangan pekerjaan," ujar Rahma.

Belum lagi, perusahaan selalu berlindung dengan dalih sedang terjadi krisis global dan minimnya order sehingga buruh berada di kondisi psikologis takut kehilangan pekerjaan dan terpaksa harus menerima upah rendah.

"Sementara Disnaker tidak pernah sidak, untuk upah dibawah UMP itu sangat banyak," ungkapnya.

Pelibatan Militer Gaya Orba

Founder Ekspedisi Indonesia Baru Farid Gaban menilai lesunya kondisi ekonomi Indonesia saat ini dipicu kebijakan ekonomi Presiden Prabowo yang tidak jauh berbeda dari kebijakan presiden terdahulu Joko Widodo (Jokowi) dan hanya melanjutkan.

"Mulai dari hilirisasi hingga mengandalkan sektor ekstraktif," ujarnya.

Padahal, kata Farid, situasi Covid-19 harusnya bisa menjadi momen bagi pemerintah untuk mengoreksi hal-hal yang mendasar terkait ekonomi Tanah Air.

Namun, Presiden Prabowo justru lebih terobsesi untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8% dengan mengedepankan stabilitas politik dan keamanan. Termasuk merangkul semua kekuatan politik di parlemen.

"Dengan tidak ada yang mengoreksi itu, justru investor semakin takut karena tidak ada mekanisme check and balance," jelasnya.

Ditambah, pelibatan tentara dan polisi untuk ikut mengawal Proyek Strategis Nasional (PSN) di berbagai daerah. "Hampir semua PSN dijaga polisi dan tentara."

Padahal, sejumlah pakar menilai pelibatan militer dalam PSN, seperti food estate, terbukti gagal dan cenderung menurunkan profesionalitas militer.

Dia pun melihat langkah pemerintah yang ingin memperluas penugasan TNI aktif di jabatan-jabatan sipil melalui Revisi UU TNI merupakan upaya mengulangi peran militer seperti di era Orde Baru. (est)

Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.

\