Senin, 04 Agustus 2025
Term of Use Media Guidelines

Berteman dengan Depresi: Cara Abraham Lincoln Mengukir Hidupnya

Depresi berat hingga pernah ingin bunuh diri, Abraham Lincoln merangkul agonia sebagai teman menghapus perbudakan.

By
in Soul Nutrient on
Berteman dengan Depresi: Cara Abraham Lincoln Mengukir Hidupnya
Ilustrasi Presiden Amerika Serikat (AS) ke-16 Abraham Lincoln Sumber: Leonardo.ai

Tak boleh ada kawan yang tahu nasibku,

Atau tempat persemayaman abuku;

Kecuali pemangsa yang menyeret dengan taringnya,

atau oleh gaok dengan teriakannya.

Ya! Aku telah putuskan apa yang harus dijalani,

Dan ini menjadi tempat untuk menggenapi:

Jantung ini akan jadi tempat tembusnya belati,

Meski di neraka aku akan meratapi!

Neraka! Apalah artinya buat orang sepertiku?

Yang kesenangan tak pernah mencumbu;

Terkurung kesengsaraan oleh teman-teman

Ditelantarkan juga oleh harapan.

Bait-bait sajak itu diterbitkan di Jurnal Sangamo, edisi 25 Agustus 1838, dengan judul "The Suicide's Soliloquy."

Redaktur menilai puisi itu terlalu indah untuk tidak diangkat. Gratis pula, karena tak disertai nama dan alamat. Hanya ada tulisan yang menerangkan bahwa barisan puisi itu ditemukan "dekat tulang belulang" di hutan dekat Sungai Sangamon, Illinois.

Satu setengah abad kemudian, Richard Lawrence Miller, seorang periset sejarah partikelir yang sedang meneliti karya sastra menduga bahwa puisi itu ditulis oleh Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat (AS) ke-16.

Pada 2003, kesimpulannya diterima karena karakter sintaksis, nada, dan gaya bahasanya mirip dengan puisi Lincoln yang lain. Penggunaan kata ‘dagger’ (belati) kala itu juga belum jamak, kecuali bagi pembaca karya Shakespeares, seperti Lincoln.

Puisi itu diduga ditulis ketika Lincoln berusia 29 tahun.

Kala itu, dia baru saja keluar dari rumah ayahnya dan memulai hidup baru di New Salem, dekat Sungai Sangamon. Dia memiliki beberapa teman, salah satunya adalah perempuan cantik berambut pirang dengan mata biru yang berpendar, bernama Ann Rutledge.

Ketika epidemi tifus merebak, Ann jatuh sakit. Lincoln rutin berkunjung. Menurut kesaksian John Jones sebagaimana dikisahkan NPR, Lincoln bersedih layaknya seseorang yang kehilangan belahan jiwanya.

Ann meninggal dunia, menyisakan tanya soal sedalam apa hubungan mereka. Pada tahun yang sama, puisi misterius itu muncul di Sangamon. Penuh kedukaan dan hasrat untuk bunuh diri.

Duka Ditinggal Kekasih

Analisis kontemporer menduga puisi itu adalah ekspresi kedukaan Lincoln untuk Ann, dan hidupnya.

Terlahir di keluarga petani, hidup Lincoln memang penuh kesedihan. Kakeknya, yang bernama sama dengan dirinya, terbunuh dalam konflik dengan suku Indian.

Orang tuanya, Thomas dan Nancy Lincoln, memutuskan hijrah ke Kentucky untuk mencari penghidupan yang lebih baik.

Namun, bayang-bayang kematian terus menghantui.

Ketika masih balita, Lincoln yang baru mengerti konsep kelahiran dan kehidupan yang menyertai, mesti memahami bahwa semuanya bisa sirna akibat kematian. Adik lelakinya yang masih bayi meninggal karena sakit.

Lalu di usia sembilan tahun, sumber kasih sayangnya terputus. Ibunya meninggal karena keracunan susu. Sarah, kakak perempuannya yang berusia 11 tahun, menggantikan peran domestik sang ibunda.

Sang kakak, satu-satunya tempat Lincoln menemukan kehangatan keluarga di tengah sikap eksentrik ayahnya yang gemar menyendiri ke hutan, tidak bisa lama menemani hari-harinya.

Sarah meninggal ketika melahirkan, meninggalkan Abraham yang berusia 19 tahun sebagai satu-satunya anak yang tersisa dan dipaksa bekerja keras membantu ayahnya mengurusi pertanian untuk bertahan hidup.

Maka, ketika Lincoln menemukan kasih sayang dari sosok Ann, dia seolah-olah menemukan apa yang selama ini nihil dalam hidupnya: kebahagiaan.

Lincoln Sempat Menggila

Kematian Ann yang mendadak membuat kebahagiaan tak terkira itu berubah menjadi rasa kehilangan yang rasa sakitnya menelusup ke rongga-rongga jiwanya.

"Lincoln menggila," kata sahabat dekatnya, Joshua Speed seperti dikutip Atlantic. "Kami mengeluarkan semua pisau dan alat-alat berbahaya lainnya [dari kamarnya], sangat memilukan."

Ketika hasrat bunuh diri Lincoln menyeruak, sosok teman menjadi penyelamat. Didampingi Speed, Lincoln memeriksakan diri ke Dr. Anson Henry, yang kemudian di biografinya diakui sebagai momen yang "penting untuk menjaganya tetap hidup."

Setelah Lincoln menikah dengan Mary Todd dan dikaruniai empat orang anak, Tuhan tak serta-merta memberikan hidup yang mudah dan penuh kesenangan.

Hubungan percintaan mereka yang rumit, di mana mereka sempat batal menikah, membuat jiwa Lincoln tidak stabil. Pesimisme dan trauma yang membentuk karakternya sejak kecil membuatnya sulit menemukan kebahagiaan.

Apalagi, anak keduanya, Edward Baker Lincoln (Eddie), meninggal pada usia empat tahun.

Ketika Abraham Lincoln naik ke panggung di konvensi Partai Republik tahun 1860, massa yang memenuhi ballroom di Decatur Illionis mengelu-elukan namanya. Orang sudah menduga bahwa politisi berusia 51 tahun itu bakal menjadi presiden selanjutnya.

Namun seusai acara, William J. Bross, salah satu petinggi di lllinois menyaksikan pria yang biasa dipanggil Abe itu duduk sendirian di ujung ballroom. Kepalanya tertunduk. Kedua telapak tangannya tertangkup menutupi wajah.

Kemuraman itu tak lantas hilang meski hidup Lincoln telah dipenuhi hingar-bingar politik dan publisitas media massa. Ketika William mendekat, Lincoln tersadar dan gugup berkata, "Aku merasa kurang sehat."

Terpilih Menjadi Presiden

Pada 6 November 1860, Lincoln terpilih menjadi presiden pertama Partai Republik. Enam negara bagian yang pro-perbudakan menolak hasil pemilu, dan mengumumkan pemisahan dari AS dan membentuk Konfederasi.

Kematian kembali datang.

Perang saudara pecah, menelan korban lebih dari 500.000 nyawa milisi dan tentara dari kedua belah pihak. Di tengah perang, giliran anak ketiganya, Willie Lincoln, yang dipanggil Sang Kuasa.

Lincoln semakin kebal dengan kabar kematian. Dia terus melangkah memimpin negara besar tersebut, sebagai energi kemuraman yang mewujud dalam bentuk manusia.

Kesedihan memenuhi air mukanya, dalam situasi apapun, sebagaimana komentar William Herndon, pengacara yang pernah menjadi mitra satu firma hukum dengan Abraham.

"Kesedihan seolah menetes dari setiap langkahnya," tuturnya seperti dikutip Atlantic.

Kesedihan Berujung Misi Mulia

Di tengah depresi dan keinginan bunuh diri, Lincoln memiliki teman-teman yang mendukungnya. Merekalah yang memberinya kesempatan untuk berpikir lebih jernih dan menemukan kembali makna hidup, dalam bentuk nilai perjuangan.

Dalam suratnya kepada Speed, Lincoln menggambarkan suasana kebatinannya. Dia tak lagi berhasrat mengejar kesenangan. Hidup begitu tak menarik di matanya, sehingga dia terpacu menjadi pribadi yang baik agar hidupnya terasa benar-benar bermakna:

Aku sekarang ini menjadi manusia yang paling sengsara. Jika yang kurasakan ini dibagikan ke semua manusia, tak akan ada wajah gembira di muka bumi ini… Mustahil untuk tetap menjadi diriku sendiri; pilihannya adalah aku harus mati, atau menjadi orang yang lebih baik.

Lincoln berhasil menemukan cara untuk mengubah kemuraman hidupnya menjadi berkah. Dia menemukan kembali motivasi dan tujuan hidup, salah satunya dari ajaran Gereja Baptis yang diikutinya, yang mengutuk perbudakan.

Sejarawan Philip Shaw menulis kisah dari Allen Gentry, sahabat Abraham Lincoln, ketika Lincoln baru keluar dari rumah ayahnya dan mereka sedang melewati New Orleans.

Gentry menuturkan bahwa mereka melewati pasar budak tempat kaum kulit hitam dirantai, disiksa, dan dijual. Selama di sana, dia melihat Lincoln mengepalkan kedua tangannya. Begitu kuat, hingga "ruas-rusa jarinya memutih."

Sejak itu, Lincoln konsisten menyuarakan aspirasi politiknya untuk menghapus perbudakan.

Menghadapi beberapa kali upaya pembunuhan dari para pendukung perbudakan, Lincoln tak bergeming dengan prinsipnya.

Sebagai orang yang pernah ingin bunuh diri, kematian adalah seperti “kawan yang dirindukan.” Dia hanya ingin mati dengan meninggalkan sebuah nilai, warisan kebaikan. Bukan mati konyol dalam kesia-siaan, dilupakan.

Berdiri di sikap mental demikian, Lincoln tegas menolak tekanan dari kelompok Konfederasi untuk membuat Washington menyerah ketika Amerika di ambang perang saudara.

Terlatih untuk Tabah

Pun jika cobaan kembali mendera, seperti sebelum-sebelumnya, Lincoln sudah terlatih untuk lebih tabah. Dia berserah kepada Tuhan sebagai nakhoda kapal hidupnya.

Suatu hari, Elizabeth Keckley, tukang jahit Mary Lincoln, bercerita bahwa di Gedung Putih dia pernah melihat sang Presiden masuk ke ruangan dengan langkah berat dan gontai.

Saat itu Elizabeth sedang fitting pakaian dengan sang Ibu Negara.

"Dia baru balik dari Departemen Perang, katanya, di mana kabar berita yang ada adalah ‘gelap, di mana-mana gelap," tutur Elizabeth.

Lalu Lincoln membuka Injil dan membacanya sekitar 15 menitan, hingga kemudian wajahnya berubah menjadi ceria. Ekspresi gundah Sang Presiden telah sirna, seolah dia telah menemukan resolusi dan harapan.

Penasaran, Elizabeth pura-pura menjatuhkan sesuatu ke dekat sofa untuk mengintip apa yang dibaca Lincoln. Rupanya, Kitab Ayub. Ayub adalah sosok suci di agama samawi, yang mendapat cobaan Tuhan bertubi-tubi tapi membuatnya semakin beriman.

Dalam studi berjudul “Judgment of Contingency in Depressed and Nondepressed Students: Sadder but Wiser?” (1979), Abramson dan Alloy menyebut fenomena psikologis seperti yang ditunjukkan Lincoln ini sebagai "realisme depresif," atau efek "semakin sedih semakin bijak."

Ketika tidak depresi, orang rentan termakan ilusi, termasuk optimisme tak realistis, terlalu besar menilai diri, dan perasaan berlebihan bahwa dia bisa mengontrol keadaan. Riset yang sama mengindikasikan bahwa persepsi dan penilaian orang depresi justru lebih tak berbias.

Menyeret kemuraman sepanjang hidup, Lincoln berhasil mencapai misi mulianya pada 1 Januari 1863, dengan menandatangani Proklamasi Emansipasi, yang menghapuskan perbudakan di Amerika setelah berjalan selama 89 tahun.

David Herbert Donald, dalam buku Lincoln (1995) menyebutkan bahwa Lincoln berpikir bahwa momen itu adalah capaian terbaik di hidupnya. "Aku tak pernah, seumur hidupku, merasa lebih yakin bahwa yang kulakukan adalah benar selain ketika menandatangani berkas itu [Proklamasi Emansipasi]."

Dari tangan Lincoln, tiga juta budak di Amerika dibebaskan. Malaikat maut baru mendatanginya pada 15 April 1865, dua tahun setelah dia menuntaskan misi mulia tersebut. (ags)

CATATAN REDAKSI: Bunuh diri bukanlah solusi terhadap persoalan hidup dan tekanan batin. Untuk mengakses layanan konseling, masyarakat bisa mengakses nomor telepon gawat darurat Kementerian Kesehatan, yakni 119, bebas pulsa.

Pemerintah juga menyajikan layanan konseling secara psikologis secara gratis melalui sambungan telepon:

  1. RSJ Amino Gondohutomo Semarang (024) 6722565

  2. RSJ Marzoeki Mahdi Bogor (0251) 8324024, 8324025, 8320467

  3. RSJ Radjiman Wediodiningrat Malang (0341) 423444

  4. RSJ Prof Dr Soerojo Magelang (0293) 363601

  5. RSJ Soeharto Heerdjan Jakarta (021) 5682841

Adapun nomor hotline Kementerian Kesehatan di 1500-567 bisa dihubungi untuk mendapatkan informasi di bidang kesehatan, selama 24 jam.

\