Amerika Ngamuk, China Ngancam, Indonesia Bingung
Diplomasi yang menyapa dengan senyum, tapi pulang tanpa sepatu.

Oleh Mahmud Syaltout, pengajar geopolitik Universitas Indonesia UI) yang aktif di Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Nahdlatul Ulama (NU).
Dyaaaar!
Begitulah kira-kira bunyinya ketika Indonesia pulang dari Washington bukan dengan kesepakatan dagang, tapi oleh-oleh tarif 47%.
Bukan kabar baik. Bukan nota diplomatik. Tapi tuduhan dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menyebut negara-negara berkembang sebagai “ass licker.” Kita pun pulang dengan muka datar, sambil berharap tidak ada wartawan bertanya.
Belum sempat keringat diplomasi diseka, datang angin dingin dari arah sebaliknya: China. Tanpa suara. Tanpa ancaman.
Tapi setiap analisis yang kubaca, setiap indikator yang muncul di radar Open Source Intelligence (OSINT), menunjukkan satu hal: tekanan dari China jauh lebih sistemik. Dan jauh lebih berdampak.
Sudah lebih dari satu dekade aku meneliti pengaruh Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) terhadap kerja sama ekonomi kawasan Asia Timur.
Tapi dalam kasus ini, WTO seperti papan pengumuman di masjid. Isinya tertulis, tapi siapa pun bisa pilih mau nurut atau pura-pura nggak lihat.
Dunia tak lagi diatur oleh aturan tertulis. Dunia sekarang bergerak oleh narasi, sinyal, dan reaksi—dan Indonesia sedang tertinggal membaca semuanya.
Ternyata Area Pejagalan
Delegasi Indonesia datang ke Washington seperti peserta forum diplomatik: rapi, sopan, membawa folder goodwill dan serangkaian statistik, dengan semangat “kami terbuka untuk kerja sama.”
Duduk dengan harapan dihargai sebagai mitra. Berdialog dalam semangat kesetaraan. Seperti santri naik podium untuk pidato sanjungan dan argumentasi—satu sisi menunjukkan sopan santun, sisi lain menampilkan kedalaman isi.
Tapi ternyata panggung itu bukan tempat pidato. Bukan ruang diplomasi. Itu meja jagal. Begitu duduk, tarif sudah diketok. Laporan sudah disebar. Narasi sudah dibentuk.
Dan kita… belum sempat buka laptop. Bukan forum sahabat, tapi ruang eksekusi yang didesain agar kita menyadari posisi—bukan mengajukan keberatan.
Yang lebih ironis, sorotan AS bukan cuma pada tarif ekspor atau neraca dagang. Tapi merembet ke sistem pembayaran domestik.
Dalam dokumen negosiasi, Indonesia ditekan terkait penggunaan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nusantara (GPN)—dua instrumen kedaulatan keuangan digital yang dianggap membatasi akses perusahaan pembayaran asing.
Baca juga: AS Kritik Pembayaran QRIS dan GPN, Usik Kedaulatan Keuangan Digital
Bagi AS, batas akses itu adalah pelanggaran, dan tekanan mereka tidak hanya diarahkan ke barang dan jasa, tapi sampai ke dompet digital kita. Dan ketika semua sedang bicara tekanan, Indonesia justru bicara evakuasi.
Gadaikan Nasib Palestina
Menteri Luar Negeri (Menlu) Sugiono, dalam pertemuan resmi dengan Menlu AS, menyatakan Indonesia siap mengevakuasi 1.000 warga negara dari kawasan konflik. Terdengar mulia, terdengar manusiawi. Tapi konteks tak bisa diabaikan.
Beberapa minggu sebelumnya, pada Februari 2025, Presiden Trump yang baru dilantik menyatakan bahwa relokasi sementara warga Palestina dari Gaza adalah bagian dari pendekatan kemanusiaan yang sedang ia dorong.
Jadi ketika Indonesia menyatakan kesiapan untuk evakuasi—dengan narasi serupa, di ruang yang sama, kepada aktor yang sama—apa pun niatnya, sinyalnya bisa terbaca lain.
Di mata mitra, kita terlihat tidak sedang mengambil posisi independen. Kita terlihat menyelaraskan diri. Bukan karena kita setuju, tapi karena kita diam.
Bown dan Kolb (2020) menjelaskan bahwa strategi tarif Trump bukan alat negosiasi, tapi bentuk economic coercion yang diprogram untuk menjatuhkan lebih dulu, baru kemudian bicara.
Dalam permainan seperti ini, diplomasi berubah fungsi. Bukan jadi alat penyambung komunikasi, tapi jadi formalitas simbolik agar pihak yang ditekan tetap terlihat diundang.
Zartman (2000) menyebut bahwa negotiation only happens under mutual hurting stalemate. Tapi AS tidak merasa terluka. Mereka menari di atas dominasi sistemik.
Kita yang datang penuh harap, mereka yang memberi pilihan: ikut atau disingkirkan.
Salam Disambut Senjata
Dan di tengah kondisi itu, kita masih mencoba menenangkan suasana dengan skema imbal beli—membeli lebih banyak gandum, gas cair (liquefied petroleum gas/LPG), dan menyodorkan empati.
Tapi di ruang seperti itu, empati bukan kekuatan. Itu hanya pengakuan bahwa kita sudah menyerah sebelum bicara. Diplomasi kita mengira sedang membuka forum. Tapi forum itu hanya panggung hening sebelum palu diketok. …
Di atas kertas, semua negara datang ke forum internasional dengan semangat kerja sama. Tapi semangat bukan strategi. Forum bukanlah ruang apresiasi—ia adalah medan uji kesiapan.
Indonesia datang bukan hanya tanpa tekanan. Kita datang tanpa struktur. Kita bawa salam, mereka bawa senjata.
David A. Baldwin dalam Economic Statecraft (2020) menjelaskan bahwa diplomasi ekonomi hanya efektif jika sebuah negara memiliki kemampuan untuk memberikan imbalan dan menjatuhkan hukuman.
Dua-duanya tidak kita punya. Kita datang dengan niat baik, tapi tanpa daya gigit. Lebih buruknya lagi, kita datang tanpa intelijen ekonomi yang memadai.
Kita tidak memiliki pemetaan kekuasaan domestik AS—tidak tahu siapa yang punya pengaruh dalam penetapan tarif. Kita tidak memahami bagaimana industri mereka membentuk opini publik. Kita tidak membangun simulasi skenario tekanan.
Bahkan framing media internasional pun tidak kita petakan, padahal dari sanalah legitimasi naratif terbentuk. Kita masuk ruang tanpa teropong.
Pentingnya Memahami Musuh
Sun Tzu sudah memperingatkan ribuan tahun lalu: “If you know the enemy and know yourself, you need not fear the result of a hundred battles.”
Masalahnya, kita tidak tahu lawan. Dan kita belum selesai memahami posisi kita sendiri. Sementara AS datang dengan sistem yang matang.
Mereka membawa tarif sebagai tekanan ekonomi. Mereka membawa isu environmental, social, governance (ESG) sebagai senjata moral. Mereka membungkus tekanan dalam retorika demokrasi pasar bebas.
Dan mereka sudah menyiapkan infografis, laporan lembaga think tank, dan saluran media global yang akan memperkuat narasi mereka begitu negosiasi selesai. Kita datang berharap ruang diskusi. Mereka datang membawa peta tekanan.
Dan memang, jika kita tidak memiliki intelijen, strategi, simulasi, dan bahkan tidak pernah membaca buku Trump, The Art of the Deal, kita datang bukan untuk menang. Kita datang… untuk kalah dengan sopan.
Ironisnya, di tengah kebijakan efisiensi anggaran, kita masih mengirim delegasi ke luar negeri tanpa persiapan yang matang.
Mereka tidak hanya membawa senjata tarif. Tapi juga senjata ideologis, data, infografis, dan kanal opini publik global yang sudah siap menyebarkan pesan. Kita datang berharap ada ruang dialog. Mereka datang sudah siap mengeksekusi.
Mereka bawa pistol—karena di sana memang legal. Kita bawa salam dan slide PowerPoint—karena di sini yang ilegal cuma nyindir. Bedanya? Pistol mereka ditembakkan. Slide kita ditinggal ngopi.
Dan dalam forum seperti itu, bukan yang paling sopan yang menang. Tapi yang paling siap—dan yang paling paham siapa sebenarnya lawannya.
Siapa Bayar Cicilan?
Kita sering lihat ancaman dari Washington. Karena mereka teriak. Tapi yang lebih bahaya justru China, yang diam-diam mulai membatasi ruang.
Ekspor terbesar Indonesia bukan ke AS. Tapi ke China. Dan bukan beda tipis. Nilainya 2,5 kali lipat lebih besar. Sawit, batu bara, nikel—semua dilahap China dengan tenang, bahkan ketika negara-negara Barat menghujat lewat ESG.
Bayangkan kalau ekspor kita ke China disetop. Sawit kita bukan cuma menumpuk, tapi akan merontokkan harga di pasar lokal. Petani Sumatera bisa bangkrut massal.
Batu bara? Banyak konglomerat politik punya saham di sana. Itu mesin uang mereka. Dan kalau China berhenti membeli, mesin itu macet.
Nikel? Tanpa ekspor dan mitra hilirisasi, provinsi seperti Maluku Utara yang pertumbuhan ekonominya nomor satu bisa langsung turun jadi provinsi dengan pertumbuhan utang nomor satu.
Dan kita belum bicara investasi. China adalah penyumbang utama dalam proyek-proyek infrastruktur nasional. Dari kereta cepat sampai kawasan industri khusus.
Kalau mereka menghentikan arus modal, atau mulai menagih utang secara ketat, kita bisa kehilangan bukan hanya proyek, tapi daya tawar nasional. Semua ini bisa terjadi bukan karena China marah. Tapi karena mereka hanya perlu berhenti tersenyum.
China Bukan Guru BP
Stiglitz (2006) bilang bahwa tanpa narasi yang adil dari negara berkembang, globalisasi akan menjadi konser tunggal negara kaya.
Dan dalam konser itu, kita bahkan tidak pegang alat musik. Kita hanya berdiri di panggung belakang sambil menunggu aba-aba yang tidak akan pernah datang.
Diplomasi itu bukan soal siapa yang sopan duluan. Apalagi kalau lawannya negara yang menghitung untung rugi, bukan volume senyum. Kita hadir. Kita bicara. Tapi tanpa tekanan, tanpa peta, dan tanpa arah.
Derrida menulis dalam Le temps et l’autre (1990):
L’acte même de décider est un moment d’indécidabilité.
Keputusan itu sendiri sebenarnya juga bingung: “aku ini mutusin apa sih?” Kebingungan itu sering kita tutupi pakai tambahan: pernyataan bersama, klarifikasi, tanggapan Kementerian, pameran budaya, konferensi pers, dan lain-lain.
Dalam De la grammatologie (1967), Derrida menyebut itu le supplément.
Le supplément… comble un vide.
Tambahan itu kayak fotokopi sertifikat pelatihan—panjang, tapi nggak ngubah gaji. Dan setelah semua ditambahi, kita tetap muter di jalan buntu.
Derrida menulis dalam Apories (1993):
L’aporie ne s’ouvre pas sur une solution, elle suspend.
Aporia itu bukan pintu keluar. Itu tembok, tapi warnanya pastel. Ya, warna SMEA. Kalem, tapi mentok.
Itulah yang sedang aku bahas dalam Scoring the Aporia, yang akan tayang di Syaltout Signals, menjelang kedatangan Presiden Prancis Emanuel Macron ke Indonesia bulan depan.
Kalau gak mau ketinggalan, monggo… nyalain loncengnya. Karena seperti kata guru Game Theory-ku, Prof. Bruce Bueno de Mesquita:
If you didn’t calculate before you acted, you didn’t act. You surrendered.
Dan kalau kita terus senyum tanpa strategi, ya siap-siap aja… jadi lauk pembuka dalam jamuan kepentingan orang lain.***
Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.