Ada Apa dengan En-route Charge Penerbangan Indonesia?

Semakin luas area penerbangan dan semakin tinggi lalu lintas pesawat yang terbang di suatu negara, semestinya semakin tinggi pula pendapatan dari en-route charge. Tapi di Indonesia hal tersebut tidak terjadi. Apakah ada yang salah dalam mindset manajemen penerbangan dan navigasi Indonesia?

By
in Now You Know on
Ada Apa dengan En-route Charge Penerbangan Indonesia?
Aktivitas navigasi udara di Air Traffic Controller (ATC). (Sumber: https://www.vaughn.edu/)

Arip Musthopa

Oleh Arip Musthopa, pengguna jasa penerbangan dan pemerhati layanan publik, pernah berkiprah sebagai Ketua Umum Pengurus besar (PB) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) 2008-2010.

Istilah en-route merupakan serapan dari bahasa Prancis yang berarti “dalam perjalanan” atau “di jalan”. Sedangkan en-route charge adalah biaya yang dikenakan terhadap pesawat yang terbang menjelajah di suatu ruang udara (negara tertentu).

Biasanya en-route charge dikaitkan dengan jasa navigasi yang diberikan oleh otoritas navigasi suatu negara terhadap pesawat yang terbang di areanya.

Jasa diberikan dari bandara keberangkatan hingga bandara tujuan atau untuk pesawat yang terbang melintas (overflying) tanpa mendarat di bandara negara tersebut.

Pengenaan biaya en-route diatur oleh ICAO (International Civil Aviation Organization) dalam Dokumen 9082 ICAO’s Policies on Charges for Airports and Air Navigation Services.

Dalam ketentuan yang terus diperbarui tersebut (edisi terakhir, ke-10 tahun 2024), formula en-route charge terdiri dari tiga komponen utama, yaitu unit rate atau tarif dasar, faktor jarak terbang jelajah, dan faktor berat pesawat saat take-off (maximum take-off weight/MTOW).

Ketiganya lalu diformulasikan menjadi rumus en-route charge oleh pemerintah negara anggota ICAO secara transparan dan dikonsultasikan dengan pelaku usaha penerbangan.

Biasanya, formulasi rumus en-route charge adalah unit rate dikalikan dengan faktor jarak terbang jelajah dan berat pesawat saat take-off.

Pendapatan Indonesia dari En-route Charge

en-route charge

Berapa pendapatan Indonesia dari en-route charge? Berdasarkan laporan tahunan PT. Airnav Indonesia, satu-satunya BUMN pengelola jasa navigasi ruang udara Indonesia, untuk tahun 2023 adalah Rp2,792 triliun.

Sedangkan tahun 2019, sebelum pandemi Covid-19, nilainya adalah Rp3,066 triliun. Apakah pendapatan ini sudah cukup wajar?

Mari kita bandingkan dengan Thailand (otoritasnya: Aerothai), negara tetangga yang relatif setara dengan Indonesia; dan 43 negara Eropa yang tergabung dalam Eurocontrol yang sudah lebih maju dari kita.

Data dalam gambar di atas, menunjukkan bahwa pendapatan en-route charge Thailand tahun 2024 adalah 1,93x lebih besar dari Indonesia.

Padahal, luas ruang udara yang dikelola atau area flight information region (FIR) Indonesia 15x lebih luas dari Thailand, dan lalu lintas pesawat (total penerbangan rute domestik, internasional, dan overflying) di Indonesia lebih banyak 2,27 kali dari Thailand.

Gambaran lebih dramatis lagi apabila dibandingkan dengan Eropa. Pendapatan mereka tahun 2024 adalah US$11,444 miliar atau 62,94x lebih banyak dari pendapatan Indonesia yang hanya US$181,81 juta.

Padahal, lalu lintas penerbangan di Eropa hanya 5,63x lebih banyak dari Indonesia, dan luas area FIR-nya hanya 1,48x lebih luas dari FIR Indonesia.

Data di atas seolah mementahkan logika sederhana: semakin luas FIR area dan semakin tinggi lalu lintas pesawat yang terbang di suatu negara/wilayah, maka semakin tinggi pendapatan en-route-nya.

Anomali di Langit Indonesia

AirnavLalu, kenapa logika sederhana itu tidak terjadi dalam konteks Indonesia? Hal ini jelas menandakan adanya keanehan. Salah satu hal yang patut diperhatikan adalah unit rate atau tarif dasar, yang menjadi salah satu komponen dalam rumus en-route charge.

Unit rate Indonesia, sesuai laporan tahunan Airnav Indonesia adalah US$0,65 untuk rute internasional dan penerbangan overflying, sedangkan untuk rute domestik adalah Rp7.000.

Di Thailand, sesuai info dari laman resmi Aerothai saat ini unit rate-nya adalah 3.800 baht atau US$117,8; dan 1,45 kali lebih besar tarifnya khusus untuk penerbangan melintas (overflying).

Sedangkan, 43 negara Eropa yang tergabung dalam Eurocontrol memiliki kebijakan unit rate bervariasi. Rata-rata negara-negara Eurocontrol tahun 2023 adalah 56,82 euro atau US$65,34.

Unit rate tertinggi di Eropa adalah Moldova sebesar 220 euro atau US$253, dan terendah adalah Pulau Santa Maria Portugal sebesar 8 euro atau US$9,2 (1 euro setara US$1,15).

Tarif unit rate Indonesia konon telah bertahan puluhan tahun, sejak Airnav berdiri tahun 2012 atau malah jauh tahun sebelumnya (saat otoritas navigasi masih menyatu di PT. Angkasa Pura).

Sementara itu, unit rate negara lain bergerak dinamis, cenderung dinaikkan setelah beberapa tahun. Contohnya Thailand, tahun 2021, unit rate-nya lebih rendah dari tahun ini, yakni 3.400 baht atau setara US$105,4.

Bahkan, Filipina, yang kondisi penerbangannya relatif masih di bawah Indonesia, menaikkan unit rate untuk penerbangan non domestik menjadi US$1,3 sejak November 2023.

Baca Juga: Kenapa Tiket Pesawat Mahal?

Lantas, mengapa unit rate Indonesia tidak dinaikkan sejak dulu, sehingga pendapatan en-route charge Indonesia bisa lebih tinggi?

Demikian buruk dan tertinggalkah layanan navigasi dan infrastruktur penerbangan Indonesia sehingga pemerintah atau BUMN tidak berani menetapkan tarif yang lebih tinggi?

Apabila untuk menaikkan tarif layanan diperlukan investasi peralatan navigasi dan infrastruktur terkait efisiensi dan keselamatan penerbangan yang lebih canggih terlebih dahulu, kenapa tidak dilakukan?

Karena, berapapun biaya yang diinvestasikan untuk hal tersebut pasti kembali dengan adanya sistem cost recovery yang dijamin oleh regulasi ICAO.

Apakah ada yang salah dalam mindset manajemen penerbangan dan navigasi Indonesia? Semoga Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN, dan Airnav Indonesia memberikan jawaban yang jujur atas masalah ini. Wallaahu a’lam bishshawab.***

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.

\