Resesi Ekonomi Thailand dan Risiko Ekspansi Fiskal Indonesia
Thailand resmi memasuki resesi. Sebagai mitra utama di ASEAN, resesi ini bisa menular ke Indonesia melalui perdagangan, investasi, dan sentimen pasar. Risiko tertular ini makin besar karena di tengah meningkatnya tekanan eksternal, pemerintah memiliki sejumlah program ekpansif berbiaya tinggi seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan sebagainya.

oleh Syahrir Ika, Peneliti Ahli Utama BRIN yang pernah menjadi Direktur Umum dan Sumber Daya Manusia PT Antam Tbk (2003-2005). Mantan Ketua Umum Perhimpunan Peneliti Indonesia (Himpenindo) periode 2018-20121 ini menerbitkan 15 buku, dan lebih dari 100 artikel ilmiah di majalah dan jurnal, baik nasional maupun internasional.
Thailand resmi masuk ke jurang resesi setelah dua kuartal berturut-turut mengalami pertumbuhan ekonomi negatif.
Data Bank Sentral Thailand dan laporan Reuters (25 Juni 2025) menyebutkan kontraksi ini dipicu penurunan tajam ekspor, lambatnya pemulihan pariwisata, persaingan ketat dari produk murah Tiongkok, serta ketidakpastian politik domestik.
Bagi Indonesia, kabar ini bukan sekadar isu luar negeri. Sebagai mitra utama di ASEAN, tekanan ekonomi Thailand bisa menimbulkan efek contagion —penularan krisis-- melalui perdagangan, investasi, dan sentimen pasar.
Resesi Thailand Ini terjadi dalam waktu krusial: ketika pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto mulai mengimplementasikan sejumlah program besar yang fiskal-ekspansif seperti makan bergizi gratis (MBG), dana abadi pesantren, proyek ketahanan pangan dan pertahanan, serta akselerasi pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Pertanyaannya, apakah ekonomi Indonesia cukup tahan terhadap tekanan dari luar dan dalam sekaligus?
Resesi Thailand bisa berdampak pada Indonesia melalui tiga saluran utama.
Pertama, jalur perdagangan. Pelemahan permintaan dari Thailand dan kawasan bisa mengganggu ekspor Indonesia, terutama produk-produk manufaktur yang saling terhubung dalam rantai regional.
Kedua, jalur keuangan. Jika investor global menilai ASEAN sebagai kawasan berisiko, arus modal bisa keluar dari Indonesia sebagaimana terjadi pada krisis-krisis sebelumnya.
Ketiga, jalur psikologis. Pelemahan nilai tukar, lonjakan CDS (Credit Default Swap), dan volatilitas pasar bisa mengerek biaya pinjaman dan mengganggu stabilitas makro.
Beban Program Besar dan Risiko Fiskal
Simulasi pesimis menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini bisa melambat ke 4,3% (turun dari baseline 4,9%), sementara defisit fiskal dapat melebar hingga 3,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Jika tidak terkendali, utang pemerintah bisa mendekati 41% PDB—sebuah angka yang secara nominal masih aman, tapi mengkhawatirkan jika dibarengi belanja yang tidak produktif.
Di sisi domestik, pemerintah tengah menjalankan agenda yang sangat ambisius. Komitmen anggaran untuk program MBG saja diperkirakan mencapai Rp400 triliun–Rp500 triliun per tahun dalam skenario penuh.
Belum termasuk pembiayaan IKN, pertahanan, ketahanan pangan, subsidi energi, dan program jaminan sosial lainnya.
Dalam kondisi ideal, ekspansi fiskal ini bisa memacu pertumbuhan dan membuka lapangan kerja. Namun, dalam situasi global yang melambat dan tekanan eksternal yang meningkat, ekspansi semacam ini mengandung risiko besar.
Jika pendapatan negara melemah, program-program tersebut bisa menjadi bumerang fiskal, yaitu mendorong defisit anggaran, meningkatkan utang, dan melemahkan kredibilitas pemerintah dalam pengelolaan ekonomi.
Teori ekonomi klasik menyebutkan bahwa dalam situasi ketidakpastian global, yang paling dibutuhkan adalah disiplin anggaran dan kejelasan arah kebijakan.
Keynesianisme memang mendorong peran negara dalam menstimulus ekonomi saat permintaan lemah, tapi belanja harus tepat sasaran dan memberi efek pengganda tinggi, bukan semata populis atau konsumtif.
Jalan Tengah: Produktivitas dan Ketahanan
Indonesia tidak perlu membatalkan program-program prioritas nasional. Namun, realisasinya perlu dikawal ketat agar tidak mengorbankan stabilitas fiskal jangka menengah. Beberapa langkah penting perlu dipertimbangkan:
Pertama, lakukan prioritisasi belanja pada sektor-sektor yang berdampak langsung terhadap produktivitas dan penciptaan nilai tambah, seperti pertanian modern, industri hilir, pendidikan vokasi, dan infrastruktur dasar.
Kedua, perluas dan percepat reformasi pajak, terutama di sektor digital, ekonomi informal, dan mineral bernilai tinggi. Rasio pajak terhadap PDB saat ini masih di bawah 10% —salah satu yang terendah di Asia.
Ketiga, jaga koordinasi antara otoritas fiskal, moneter, dan sektor keuangan. Komunikasi yang solid dan transparan dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan menjaga ekspektasi pasar dan memperkuat kepercayaan publik.
Keempat, aktifkan kerja sama regional. Resesi Thailand harus menjadi momentum bagi ASEAN untuk memperkuat mekanisme kolektif seperti AMRO, CMIM, dan sistem peringatan dini untuk krisis ekonomi kawasan.
Baca Juga: Perang Israel–Iran dan Inflasi Global
Kita tentu memahami semangat besar pemerintahan baru dalam mendorong pertumbuhan inklusif dan pemerataan pembangunan. Namun, semangat itu harus dilandasi oleh kalkulasi rasional dan kehati-hatian fiskal.
Dalam situasi eksternal yang tidak menentu, belanja besar tanpa pengendalian bisa menjadi risiko sistemik. Sejarah membuktikan bahwa krisis sering kali tidak datang dari arah yang diantisipasi.
Resesi Thailand hanya salah satu sinyal awal bahwa kita harus lebih waspada, lebih disiplin, dan lebih cermat dalam mengelola harapan ekonomi rakyat.***
Untuk menikmati berita di berbagai dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.