Wolbachia; Kepentingan Publik & Obsesi Bill Gates pada Populasi
Proyek Bill Gates seringkali memicu kekhawatiran terkait efek jangka panjangnya ke publik.

Jakarta, TheStanceID – Berkat Microsoft, Bill Gates menjadi salah satu orang terkaya dunia. Kini ia aktif mendorong inovasi kesehatan publik, setelah beberapa kali menyerukan pentingnya mengerem laju populasi.
Bill Gates, nama yang identik dengan teknologi dan inovasi global, adalah salah satu sosok paling berpengaruh di dunia. Kariernya dimulai sebagai pendiri dan CEO Microsoft—yang kini disorot atas dukungannya pada genosida Israel di Gaza.
Namun dalam dua dekade terakhir, Gates telah beralih fokus dari teknologi ke isu-isu global, terutama di bidang kesehatan masyarakat dan kependudukan.
Pada tahun 2000, Gates mulai mengurangi keterlibatannya di Microsoft dan mendirikan Bill & Melinda Gates Foundation, sebuah organisasi yang berfokus pada filantropi global. Ia menyumbangkan lebih dari US$50 miliar melalui yayasan tersebut.
Selepas perceraian dia dan istrinya, yayasan ini berganti nama menjadi Gates Foundation. Perhatiannya masih sama, yakni pada isu pendidikan, pengentasan kemiskinan, dan khususnya kesehatan masyarakat.
Gates meyakini investasi di bidang kesehatan dan pengentasan kemiskinan adalah cara efektif meningkatkan kualitas hidup manusia dan mengurangi laju populasi. Teorinya, sebagaimana dia kemukakan di beberapa kesempatan: ketika seseorang makin makmur, ia akan lebih mawas dan membatasi reproduksi.
Untuk mempelopori pemberantasan penyakit seperti malaria, polio, dan tuberkolusis (TBC), Gates melalui yayasannya mendukung pengembangan vaksin dan distribusi obat-obatan ke wilayah yang paling membutuhkan.
Gates Foundation juga terlibat dalam inisiatif COVAX, yang bertujuan mendistribusikan vaksin secara merata ke seluruh dunia. Dia mengeklaim telah menciptakan manfaat triliunan dolar dari investasi di bidang vaksin.
Selama pandemi Covid-19, dia mendanai penelitian dan pengembangan vaksin mRNA, seperti yang dipakai Pfizer-BioNTech dan Moderna.
Belakangan, studi berjudul “Covid-19: Two Rare Vaccine Side Effects Detected in Large Global Study” (2024) menyebutkan bahwa penerima vaksin berbasis mRNA berisiko lebih besar kena myocarditis dan pericarditis.
Gates juga fokus pada pengembangan teknologi nyamuk Wolbachia, sebagai program pengendalian nyamuk menggunakan bakteri Wolbachia demi mengurangi penyebaran penyakit yang ditularkan oleh nyamuk, seperti demam berdarah dan malaria.
Dia juga berinvestasi besar-besaran dalam penelitian kesehatan dan biofarma dengan sebagian saham di beberapa perusahaan farmasi besar untuk mempercepat pengembangan teknologi medis.
Jejak Bill Gates di Indonesia
Di Indonesia, Bill Gates diketahui menyeponsori PT Bio Farma (Persero) sejak Februari 2020, untuk menjalankan misi perluasan kapasitas produksi dan pengisian vaksin novel Oral Polio Vaccine Type 2 (nOPV2).
Proyek yang dilakukan Gates baik dari inisiatif pribadi maupun melalui yayasannya, seringkali memicu kekhawatiran, terutama tentang dampak jangka panjangnya terhadap ekosistem dan kemaslahatan publik.
Salah satu yang disorot adalah nyamuk Wolbachia yang diterapkan di Indonesia sejak 2017, melalui proyek uji coba oleh World Mosquito Program (WMP) bekerja sama dengan berbagai institusi lokal, termasuk Universitas Gadjah Mada (UGM).
Ketika berkunjung ke Yogyakarta pada 2014 Gates kelepasan ngomong dengan menyebut bahwa dia mendanai proyek Wolbachia.
Uji coba telah dilakukan mulai tahun 2011 di laboratorium, yang kemudian diimplementasikan pada 2017 di beberapa wilayah di Yogyakarta. Telur nyamuk yang mengandung bakteri Wolbachia dilepaskan di alam liar.
Selepas itu, nyamuk rekayasa tersebut diklaim tidak akan dapat menularkan virus dengue karena bakteri Wolbachia menghalangi replikasi virus tersebut dalam tubuh nyamuk di lingkungan liar.
Obsesi Aneh Trilyuner
Mantan Menteri Kesehatan RI Siti Fadilah Supari menyebutkan bahwa keterlibatan Gates dalam program nyamuk wolbachia harus dipastikan tidak akan berdampak negatif di masa depan.
"Banyak orang Indonesia memuji Bill Gates setinggi langit. Tetapi, jika melihat obsesinya, bahkan terhadap nyamuk, itu agak aneh menurut saya," papar Siti Fadilah Supari kepada TheStanceID, Minggu (19/1/2025).
Dia juga menyoroti peran Gates dalam pengembangan vaksin mRNA yang digunakan selama pandemi Covid-19. Meskipun vaksin tersebut telah dipakai secara luas, ia menilai dampak jangka panjangnya masih menjadi tanda tanya.
"Vaksin mRNA yang dia prakarsai ternyata memiliki efek samping yang luar biasa banyak hingga menyebabkan kematian. Jadi, apakah itu baik atau tidak, perlu ditanyakan langsung," jelasnya.
Siti juga mengingatkan beberapa biofarma di Indonesia telah dikendalikan oleh yayasan yang dinaungi Gates. Menurut dia, masyarakat memang tidak boleh langsung berprasangka buruk, tetapi tetap perlu mewaspadai maksud tersembunyi di balik manuver Gates.
Minta Waktu Tambahan
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Aji Muhawarman mengakui teknologi nyamuk aedes aegypti berwolbachia di Indonesia sudah diuji coba di lima kota sebagai pilot project. Namun hasilnya baru akan diketahui pada tahun 2026.
“Dari hasil pilot project ini, baru kota Bontang sudah selesai rilis sedangkan kota Jakarta Barat, Bandung, Semarang dan Kupang masih dalam proses rilis,” ujarnya saat kepada ThestanceID, Rabu (22/1/2025).
Dari lima kota tersebut, dia mengklaim hasilnya cukup baik, bahwa target populasi wolbachia bisa mencapai 60% atau lebih di area intervensi.
Terkait dampaknya terhadap penurunan kasus dengue (DBD), dia meminta hasilnya ditunggu 1 tahun lagi. Aji merevisi proyeksi Kemenkes sebelumnya yang memperkirakan angka penurunan DBD setelah Wolbachia disebar (pada 2017) bisa dilihat secepatnya dalam 2 tahun.
Berdasarkan reportase TheStanceID, mengacu pada klaim awal Kemenkes dan data terkait DBD, program Wolbachia gagal menekan angka DBD dalam setidaknya 12 tahun terakhir—dan ternyata malah meningkat.
Terkait dengan kekhawatiran nyamuk ini dipergunakan sebagai senjata biologis di masa yang mendatang, Aji menegaskan bahwa rekayasa nyamuk wolbachia telah diuji mendalam dan hasilnya aman.
“Teknologi wolbachia ini sudah melalui kajian oleh 20 pakar Independen dari berbagai bidang terkait dampak negatif dan hasil kajian tersebut merekomendasikan bahwa teknologi wolbachia ini aman atau dampak negatifnya dapat diabaikan,” tutur Aji.
Teoritis, Nyamuk Bisa Jadi Senjata
Ahli Global Health Security dan epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman menilai secara teoritis nyamuk hasil rekayasa genetik dapat dimanfaatkan sebagai senjata biokimia. Namun penerapannya akan sangat kompleks.
"Dalam sejarah, termasuk Perang Dunia II, pendekatan seperti ini sulit dilakukan secara efektif karena nyamuk tidak dapat dikontrol dengan presisi tinggi di lingkungan terbuka," katanya.
Meski begitu, seiring dengan kemajuan teknologi genetika dan bioteknologi, risiko pemanfaatan nyamuk sebagai senjata biologi akan semakin meningkat, terutama dalam situasi geopolitik tertentu.
Karenanya, Dicky menekankan pentingnya penguatan sistem pengawasan biologis dan regulasi internasional. World Health Organization (WHO) juga harus mengacu pada protokol Konvensi Senjata Biologis.
"Negara harus berpartisipasi aktif dalam forum global seperti WHO untuk memastikan bahwa penelitian genetika dilakukan secara etis dan transparan," tegasnya.
Transparansi dan Komunikasi
Dicky menambahkan, penggunaan nyamuk sebagai agen vaksinasi telah menjadi objek penelitian, meskipun masih terbatas.
Beberapa riset, termasuk yang didanai oleh Yayasan Gates, bertujuan menemukan metode inovatif mencegah penyakit seperti malaria melalui manipulasi genetik. Dicky menegaskan bahwa riset ini masih berada pada tahap awal dan bersifat terkendali.
"Ini bukan program vaksinasi massal, tetapi lebih pada eksplorasi potensi genetik dan vektor biologis dalam konteks kesehatan masyarakat," ujarnya kepada TheStanceID.
Dia mendorong pemerintah membuat regulasi untuk mengawasi riset bioteknologi dan mengembangkan sistem mitigasi untuk menghadapi potensi penyalahgunaan teknologi ini.
Selain itu, komunikasi publik penting dilakukan untuk meningkatkan pemahaman dan mencegah penyebaran hoaks atau teori konspirasi. "Publik harus diberi pemahaman yang jelas mengenai manfaat dan risikonya," tambah Dicky. (par)
Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.