Tiga "Tersangka" Pemicu Google, Starlink, dan Amazon Hindari Indonesia
Bagi investor yang mencari SDM handal--dan bukannya talent digital sekelas pemilik akun fufufafa, Indonesia tentunya bikin alergi.

Jakarta, TheStanceID - Luhut Binsar Pandjaitan adalah ujung tombak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk urusan lobi target investasi raksasa information & technology (IT), seperti Tesla, Starlink, hingga Google. Sejauh ini, hasilnya zonk karena tiga hal.
Lobi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) ini dilakoni agar korporasi global itu mau membenamkan duit triliunan dolar Amerika Serikat (AS) ke Indonesia.
Suatu kali Luhut bercerita tentang susahnya negosiasi dengan CEO Tesla dan founder SpaceX, Elon Musk, agar mau berinvestasi ke Tanah Air, terutama di Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional, Bulungan, Kalimantan Utara (KIPI Kaltara).
Kawasan seluas 13.000 hektare itu digadang-gadang menjadi kawasan industri hijau terbesar dunia yang akan menjadi masa depan Indonesia dalam pembangunan industri energi hijau (green energy), dan industri kendaraan listrik (electric vehicle/EV).
“Tesla itu kan tidak gampang negosiasinya,” kata Luhut saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut, Rabu (25/5/2022), dikutip dari kanal Youtube TNI-AL.
“Saya bilang ke Elon, kalau mau dapat end to end, dapat produk baterai yang green product, dapat mobil yang green product, ya tempatnya di sini [Kaltara] karena kita punya 10.000 megawatt hydropower, kita punya nanti 10.000 megawatt solar panel, ini Indonesia.”
Jokowi bahkan sowan ke kantor Space X di Boca Chica, AS, pada Sabtu (14/5/2022). “Saya kira, dia [Elon] sangat tertarik sekali untuk segera datang ke Indonesia dan tadi saya sudah sampaikan untuk bisa datang di Indonesia,” kata Jokowi, dikutip Setpres.
Meski sudah bertatap muka, nyatanya pabrikan EV milik Musk, yakni Tesla, batal mendirikan pabrik di Indonesia dengan alasan lagi berkonsentrasi pada bisnis eksisting, dan belum ingin menambah fasilitas produksi di negara manapun.
Gagal di AS, China masih menyambut dengan tangan terbuka. Beberapa produsen mobil listrik yang berinvestasi di Indonesia mulai dari Wuling, BYD, VinFast, hingga Cherry.
Ketika berkunjung ke AS, Jokowi sebetulnya juga membidik korporasi AS lain, termasuk Google, Chevron, Boeing, Qualcomm, ConocoPhillips, hingga Marriot.
Dalam forum di Intercontinental the Willard Hotel, Washington, 12 Mei 2022, Jokowi menegaskan serius membangun ekonomi digital karena Indonesia adalah surga perusahaan rintisan teknologi, dengan 2.346 startup, atau terbanyak kelima di dunia.
Negeri Jiran yang Dipilih
Sayangnya, perusahaan teknologi global justru memilih membenamkan investasinya lebih besar ke negeri jiran.
Awal Oktober ini, media Malaysia The Star, menyebut Google akan membangun pusat data usai meneken kerja sama dengan perusahaan teknologi lokal Dagang NeXchange Berhad (DNeX) pada 30 September, untuk layanan komputasi awan (cloud).
Nilai investasinya mencapai US$2 miliar atau setara Rp31 triliun (kurs Rp15.500/US$) di Malaysia.
“Investasi kami dirancang untuk memberikan kinerja dan keandalan yang tinggi, memenuhi permintaan layanan cloud dan AI di seluruh negeri," kata President and Chief Investment Officer Alphabet dan Google, Ruth Porat, dalam sebuah acara di Malaysia.
Menariknya, investasi ini termasuk melatih 355.000 warga Malaysia untuk talenta digital. Investasi ini akan menciptakan 26.500 lapangan pekerjaan dan menyumbang US$3 miliar atau Rp47 triliun lebih bagi perekonomian Malaysia di 2030.
Realisasi investasi cloud di Malaysia adalah pembuktian janji Google yang disampaikan Karan Bajwa, Vice President, Asia Pacific, Google Cloud, sejak 10 Agustus 2022.
“Kami akan menghadirkan Google Cloud di tiga wilayah baru: Malaysia, Thailand, dan Selandia Baru, di samping enam wilayah lainnya: Berlin, Dammam [Arab Saudi], Doha, Meksiko, Tel Aviv, dan Turin,” katanya, dalam siaran pers.
Di Thailand, Google menggelontorkan US$1 miliar atau Rp16 triliun untuk pusat data dan cloud serta mendukung adopsi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) di Asia Tenggara.
Indonesia Dapat Apa?
Sejauh ini, hasil lobi intensif Jokowi dan Luhut adalah: hibah. Pada 2 Oktober lalu, Google mengumumkan hibah senilai US$2 juta buat Edu Farmers International Foundation (dulu JAPFA Foundation) di Jakarta
Nilai hibah Indonesia ini hanya 0,35% dari investasi Google di Malaysia. Sedih, tak?
Tak hanya Google, Amazon menurut laporan The Star juga akan berinvestasi US$6,2 miliar atau Rp96 triliun di Malaysia, US$9 miliar (Rp140 triliun) di Singapura, dan US$5 miliar (Rp78 triliun) di Thailand. Indonesia tidak ada.
Yang masih mendingan adalah Microsoft. Mengumumkan investasi jumbo di Malaysia senilai US$2,2 miliar (Rp34 triliun) pada 2 Mei lalu untuk infrastruktur cloud dan AI, Indonesia juga kecipratan.
Perusahaan milik Bill Gates ini berencana menanam dana US$1,7 miliar, atau Rp26 triliun, selama 4 tahun di Indonesia untuk infrastruktur cloud dan AI, pelatihan keterampilan AI bagi 840.000 orang, dan dukungan terhadap komunitas developer.
“Generasi baru AI ini mengubah cara hidup dan bekerja setiap orang di mana pun, termasuk di Indonesia,” ujar Chairman and CEO Microsoft Satya Nadella, dalam siaran pers pada 30 April 2024.
Apa Salah Indonesia?
Kenapa Indonesia belum dilirik atau kurang diprioritaskan jadi tujuan investasi oleh raksasa teknologi dunia? TheStanceID mencatat ada tiga persoalan yang membuat Indonesia kurang seksi, sebagai basis investasi perusahaan teknologi informasi.
Pertama, Indonesia kalah cepat dalam memperbaiki iklim usaha.
Kondusivitas iklim usaha Indonesia memang dipersepsikan membaik di kalangan investor dunia. Data Ease of Doing Business (EoDB) Bank Dunia menyebutkan bahwa peringkat Indonesia membaik dari 114 (2015) menjadi 73 (2024), dari 190 negara.
Namun, negara tetangga kita juga membaik. Singapura di peringkat 2, Malaysia 12, Thailand 21, dan Brunei Darussalam 66. Tidak heran, raksasa teknologi memilih negara tetangga kita yang jauh lebih pesat perbaikan iklim usahanya.
Negara | Ranking |
---|---|
Singapura | 2 |
Malaysia | 12 |
Thailand | 21 |
Brunei Darussalam | 66 |
Vietnam | 70 |
Indonesia | 73 |
Filipina | 95 |
Kamboja | 144 |
Laos | 154 |
Myanmar | 165 |
Timor Leste | 181 |
Sumber: Bank Dunia (2024) |
Kedua, daya saing di mata investor IT. Di titik inilah Indonesia masih bermasalah.
Jika bicara soal daya saing secara umum, World Competitiveness Ranking (WCR) 2024 yang dirilis International Institute for Management Development (IMD) menunjukkan peringkat Indonesia naik 7 level dari 34 (2023) ke 27 (dari 67 negara).
Di Asia Tenggara, Indonesia termasuk tiga besar, hanya di bawah Singapura (peringkat 1) dan Thailand (25), meninggalkan Malaysia di posisi 34, dan Filipina (52).
Namun jangan terlena. IMD menilai daya saing secara makro saja: dari kinerja ekonomi, efisiensi pemerintahan (birokrasi), efisiensi bisnis, dan infrastruktur.
Bagi raksasa IT, empat hal itu tidaklah cukup. Karakter usaha raksasa IT semacam Google adalah produk mereka bisa dikirim ke konsumen tanpa biaya logistik tinggi. Urusan jarak bukan jadi soal. Pasar Indonesia bisa digarap bahkan dari San Fransisco.
Jadi, besarnya populasi Indonesia hanya menarik sebagai pasar, bukan sebagai basis operasi.
Yang menarik mereka, dari aspek populasi, adalah ketersediaan talent IT sehingga OCO Global memasukkannya di lima pertimbangan utama perusahaan IT mencari lokasi investasi.
Problemnya, daya saing IT Indonesia justru menurun, menurut laporan Global Competitiveness Report 2019 yang disusun oleh World Economic Forum (WEF). Dari 141 negara yang diriset, Indonesia berada di peringkat 72 untuk urusan adopsi IT.
Kemampuan atau kapasitas berinovasi Indonesia juga masih buruk, yakni di peringkat 74. Hal ini disebabkan oleh minimnya bujet riset pengembangan di Tanah Air, sedikitnya paten yang ditemukan, dan terbatasnya publikasi karya ilmiah.
Persepsi Korupsi Memburuk
Problem ketiga adalah kepastian hukum yang berimplikasi pada praktik pemerintahan yang bersih. Di balik rilis yang membanggakan terkait iklim usaha, ada catatan buruk terkait korupsi dan penegakan hukum di Indonesia.
Hendra Suryakusuma, Ketua Indonesia Data Center Provider Organization (IDPRO), dalam situs resmi IDPRO menyebutkan iklim investasi yang kondusif menjadi faktor terpenting dalam keputusan investor, terutama kepastian hukum.
“Jika kita break down komponen iklim investasi yang kondusif ini termasuk kepastian hukum dan regulasi yang jelas dan konsisten, infrastruktur penunjang, insentif, kemudahan berusaha, dan upah buruh kompetitif,” katanya.
Sayangnya, data Transparancy International (2023) menunjukkan Indonesia berada di peringkat 115 dari 180 negara terkait korupsi. Skor kita di level 34, turun dari rekor tertingginya di 40 (2019), dan kembali ke masa awal Jokowi dan PDI-P berkuasa (2014).
Apa yang terjadi di Bumi Pertiwi terkait korupsi?
Kita semua tentu tahu soal rekam-jejak pemberantasan korupsi di Indonesia dalam 10 tahun ini: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilemahkan, kasus korupsi bisa hilang berdasarkan warna politik dan peta koalisi, kembalinya nepotisme, dll.
Tanpa kepastian hukum, wajar jika Indonesia hanya seksi di mata raksasa yang ingin mengeruk kekayaan alam (SDA), di mana semua implikasi negatif dari operasinya “bisa diatur.”
Bagi raksasa IT yang ingin mengeruk kualitas dan kreativitas SDM—dan bukannya talent digital sekelas buzzer macam pemilik akun fufufafa yang sakti di mata hukum, Indonesia tentu bikin alergi. (mts)