Dugaan Penganiayaan Jurnalis Floresa & Rekomendasi Kosong Kompolnas
Dalam kasus Herry Kabut, semua pasal itu dilanggar. Dan lagi-lagi, Kompolnas hanya beri rekomendasi serta tebar janji.

Jakarta, TheStanceID - Intimidasi terhadap jurnalis kembali terjadi, membuka lagi catatan hitam tentang inkonsistensi aparat dalam melindungi hak warga negara, khususnya jurnalis, ketika terjadi unjuk rasa.
Kali ini dugaan intimidasi dan kekerasan menimpa Herry Kabut, Pemimpin Redaksi Floresa, yang ditangkap aparat di tengah aksi demo warga Poco Leok menolak proyek Geothermal di Manggarai, Nusa Tenggara Timur, Rabu (2/202024).
Lewat berita yang dipublikasikan Floresa.co, dia menceritakan kronologis penyekapan dan penyiksaan yang dialaminya. Dia mengalami bengkak di pelipis dan luka di rahang selama proses penangkapan tersebut.
Herry mengaku awalnya hanya sedang mengambil gambar warga yang diamankan polisi saat unjuk rasa. Tetapi ia kemudian ditangkap dan mengalami sejumlah tindak kekerasan, selain ponselnya dirampas dan diperiksa isinya.
Saat ditahan, Herry sempat mengirim pesan WhatsApp kepada seorang wartawan, tetapi pesan tersebut didikte polisi. Ia mengaku berada di bawah tekanan saat mengirim pesan tersebut.
"Dia menyuruh saya membalas pesan dari salah satu jurnalis itu berdasarkan rumusan jawaban yang disusunnya. Dia berkata, ‘jawab saja kalau kamu aman dan kamu diamankan karena tidak membawa kartu identitas’.” ujar Herry.
Herry ditarik dan diangkut paksa ke dalam mobil aparat sambil dianiaya. Kejadian tersebut juga sempat didokumentasikan oleh warga setempat.
Polisi Membantah
Namun, Polisi berdalih penangkapan terhadap Herry Kabut dilakukan karena yang bersangkutan tidak menggunakan kartu pengenal pers saat peliputan aksi unjuk rasa itu.
"Ada tiga orang yang diamankan ke Polres, namun akhirnya dilepaskan kembali, salah satunya wartawan. Yang bersangkutan diamankan karena pada saat di lokasi mengaku wartawan, tetapi setelah diminta ID persnya yang bersangkutan tidak bisa menunjukkan," tutur Kabid Humas Polda NTT Kombes Aria Sandy.
Aria menegaskan, aparat hadir untuk mencegah bentrok antara kelompok penolak kegiatan dan kelompok pendukung pemda, Badan Pertanahan Negara (BPN), dan pihak pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang melaksanakan pengukuran tanah.
Apalagi, demonstrasi sempat memanas dengan aksi saling dorong antara masyarakat dengan aparat. Polisi berkepentingan untuk memastikan tidak ada provokator atau pihak tak bertanggung jawab yang memperkeruh suasana.
Kapolres Manggarai, AKBP Edwin Saleh, membantah secara sengaja menangkap jurnalis saat unjuk rasa di Poco Leok, Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu (2/10/2024). Edwin mengklaim polisi hanya mengamankan, bukan menangkap, mereka.
Empat orang yang diamankan polisi salah satunya adalah Pemimpin Redaksi (Pemred) Floresa, Herry Kabut. Mereka diamankan karena diduga memprovokasi warga saat unjuk rasa menolak proyek geothermal.
Edwin tidak menjelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan provokasi tersebut.
Profesionalisme Jurnalis
Dalih polisi bahwa penangkapan dilakukan karena Herry Kabut tidak bisa memberikan identitas bisa dipahami mengingat penyalahgunaan peran jurnalis dan fungsi jurnalisme memang marak terjadi di Indonesia.
Ketua Dewan Pers 2016-2019 Yosep Stanley Adi Prasetyo sempat mengangkat dilema mengenai “media abal-abal.” Mereka tak berbadan hukum, alamat redaksinya tak jelas, tidak mencantumkan nama penanggung jawab, terbit temporer, bahasa yang digunakan tidak sesuai standar, dan isi berita melanggar kode etik jurnalistik.
Nama-nama media demikian kerap dibuat “menakutkan” dengan menggunakan nama-nama lembaga negara atau institusi penegak hukum seperti KPK, BIN, KontraS, ICW, Tipikor, Buser, Bhayangkara, dan lain-lain.
Stanley menyebutkan media abal-abal dengan nama KPK paling ditakuti di daerah. Wartawan media abal-abal tersebut mengaku sebagai ‘petugas KPK’. Orang yang mengaku sebagai ‘wartawan’ dari ‘media’ ini datang ke sekolah-sekolah dan kantor desa untuk memeras.
“Kepala sekolah dan kepala desa tentu saja mengasosiasikannya sebagai petugas dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) apalagi para wartawan tersebut mengenakan tanda pengenal yang sengaja dibuat mirip dengan logo KPK,” tutur Stanley dalam kolom berjudul "Abal-Abalisme", yang terbit di majalah Etika (edisi November 2018).
Para oknum jurnalis inilah yang membuat aparat pemerintah, khususnya di daerah, dalam situasi rawan konflik melakukan tindakan pengamanan dengan "upaya paksa" ketika menemukan jurnalis tanpa tanda pengenal.
Dewan Pers Mengecam
Meski demikian, tindakan kekerasan aparat kepolisian terhadap Herry tidak dapat dibenarkan apapun alasannya, demikian ditegaskan Dewan Pers.
Dihubungi oleh TheStanceID, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menegaskan bahwa tidak boleh ada tindakan kekerasan kepada wartawan yang menjalankan tugasnya. Sekalipun tidak setuju dengan proses maupun hasil reportasenya, tidak boleh ada tindakan pidana.
"Jika ada keberatan atas cara kerja wartawan dan mengarah pada tindak pidana, silahkan pihak-pihak tersebut lapor ke Kepolisian, tapi jangan main hakim sendiri", tegas Ninik.
Begitupun kalau ada keberatan pada pemberitaan, dia mempersilahkan pihak yang keberatan untuk mengajukan hak jawab, bisa langsung ke media terkait atau mengadu ke Dewan Pers.
"Dewan pers tidak mentolerir segala bentuk kekerasan, karena kerja pers dilindungi UU Nomor 40/1999 tentang pers" ujar Ninik.
Atas kejadian tersebut, Dewan Pers meminta institusi kepolisian untuk mengusut secara tuntas dan cepat. Ninik khawatir, aksi premanisme seperti ini jika tidak diungkap pelakunya dan diusut akan punya kecenderungan berulang kembali.
Sependapat, Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) menilai kasus ini merupakan pelanggaran berat terhadap jaminan perlindungan kerja jurnalistik sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Setiap orang yang melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.”
Tindak kekerasan oleh aparat keamanan berupa penganiayaan yang mengakibatkan luka berat pada jurnalis saat menjalankan profesinya merupakan tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun penjara.
Atas perkara tersebut, KKJ mendesak lima hal. Pertama, Kepolisian untuk memproses aparat yang melakukan kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis secara hukum pidana dan kode etik.
Kedua, Kapolri beserta jajarannya untuk menghentikan segala bentuk tindakan penggunaan gas air mata, intimidasi, penghalang-halangan, penyerangan (represi), penangkapan dan kekerasan dalam bentuk apapun terhadap jurnalis yang bertugas dalam melakukan peliputan aksi publik sebagaimana dilindungi oleh undang-undang.
Ketiga, Panglima TNI beserta jajarannya untuk menarik mundur seluruh anak buahnya yang ditugaskan dalam pengamanan aksi sipil karena tidak sejalan dengan tugas dan kewajiban sebagaimana amanat Undang-undang.
Keempat, Kapolri dan Panglima TNI beserta seluruh jajarannya untuk segera melakukan investigasi dan mengusut tuntas praktik kekerasan berupa penganiayaan, intimidasi dan penyerangan fisik yang menyasar jurnalis yang tengah menjalankan tugas peliputan.
Kelima, korban kekerasan dihimbau untuk melaporkan seluruh bentuk kekerasan yang dialami selama proses peliputan.
Janji Manis Kompolnas
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indrarti, mengakui bahwa kekerasan dan penangkapan terhadap wartawan Floresa adalah pelanggaran UU Pers. Dia meminta Polda memeriksa anggota Polres Manggarai yang terlibat.
"Jika benar ada kekerasan yang terjadi, maka dua sanksi yang bisa dikenakan, pertama pasal penganiayaan dan kedua adalah kode etik karena melakukan penganiayaan merupakan pelanggaran kode etik," ucap Poengky.
Menurut Poengky, tindakan kekerasan terhadap jurnalis seperti ini tidak boleh terulang kembali karena jurnalis bertugas menyampaikan fakta kepada masyarakat. Aparat pun seharusnya melakukan perlindungan dan mendukung kerja-kerja pers.
Di sisi lain, Poengky mendorong korban melapor ke Bidpropam Polda NTT dan juga kepada Kompolnas. "Kompolnas akan mengirimkan surat klarifikasi ke Polda NTT untuk menanyakan kebenaran tentang hal ini," ujar Poengky.
Dia berjanji akan mengeluarkan rekomendasi agar pengamanan aksi unjuk rasa tidak diwarnai kekerasan, terutama kepada wartawan.
Menurut catatan TheStanceID, Kompolnas sudah berulang kali mengeluarkan rekomendasi pencegahan kekerasan dalam aksi demonstrasi dan berjanji aksi pengamanan unjuk rasa akan lebih baik ke depannya.
Pada kasus penembakan demonstran dalam aksi 21-23 Mei 2019, yang menelan korban jiwa sebanyak sembilan orang, rekomendasi Kompolnas berakhir zonk. Hingga kini pelaku penembakan belum terungkap.
Pada tahun 2021, ketika viral aksi anggota kepolisian membanting demonstran hingga sang korban kejang-kejang, tidak ada hukuman tegas terhadap pelaku yang diumumkan pihak Kepolisian kepada publik.
Padahal, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum melarang aparat melakukan tindakan yang tak proporsional.
Pasal 13 menjelaskan bahwa aparat berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melindungi hak asasi manusia, menghargai asas legalitas, menghargai prinsip praduga tidak bersalah, dan menyelenggarakan pengamanan.
Bahkan untuk mereka yang taat hukum atau kooperatif, seperti Herry Kabut, harus diberikan perlindungan. Hal ini sesuai Pasal 23 ayat 1 yang menyatakan bahwa: “terhadap peserta yang taat hukum harus tetap diberikan perlindungan hukum.”
Sekalipun ada yang berbuat onar, Pasal 24 menyebutkan bahwa “upaya paksa” harus dihindari terjadinya hal-hal yang kontraproduktif misalnya: tindakan spontanitas dan emosional dan menangkap dengan kasar: menganiaya atau memukul.
Dalam kasus Herry Kabut, semua pasal itu dilanggar. Dan lagi-lagi, Kompolnas hanya berikan rekomendasi serta tebar janji. (est)