Jakarta, TheStanceID – Pemerintah menggelontorkan lima paket stimulus ekonomi senilai Rp24,4 triliun menjadi bukti nyata bahwa ekonomi memang tak baik-baik saja pasca-pelaksanaan kebijakan Presiden Prabowo Subianto pada kuartal I/2025.
Di awal tahun, pemerintah menaikkan tarif PPN menjadi 12%, efisiensi anggaran besar-besaran di kementerian dan lembaga, Makan Bergizi Gratis (MBG), dan aplikasi Coretax yang mempersulit pelaku usaha memenuhi kewajiban perpajakan.
Anggaran tersebut bersumber dari APBN senilai Rp23,59 triliun dan non-APBN senilai Rp0,85 triliun, kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati usai rapat terbatas dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (2/6/2025).
Sri Mulyani mengatakan penyaluran insentif ekonomi merupakan bentuk respons pemerintah dalam menghadapi kemungkinan peningkatan risiko dan pelemahan ekonomi nasional akibat dampak global.
"Kita harapkan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 dijaga mendekati 5%, dari yang tadinya diperkirakan akan melemah akibat kondisi global, dengan pertumbuhan yang kita tetep jaga, maka kemiskinan dan pengangguran terbuka diharapkan turun lebih cepat," ujarnya dalam konferensi pers.
Pemerintah juga mulai mencairkan gaji ke-13 untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) pada Juni dengan anggaran Rp49,3 triliun, termasuk untuk ASN pusat, daerah, TNI/Polri dan pensiunan.
Hal ini diharapkan membantu pemerintah dalam menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
Lima Paket Stimulus Ekonomi
1. Diskon Transportasi (Rp0,94 triliun dari APBN)
Insentif ini terdiri dari: pertama, diskon tiket kereta api sebesar 30% dengan anggaran Rp0,3 triliun diperkirakan akan dinikmati 2,8 juta penumpang kereta api pada Juni—Juli 2025 seiring masuknya momen libur sekolah.
“Ini diharapkan bisa meningkatkan aktivitas ekonomi,” ujar Sri Mulyani.
Kedua, diskon tiket pesawat berupa pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) untuk kelas ekonomi sebesar 6% dengan anggaran Rp0,43 triliun dan diperkirakan akan dinikmati 6 juta penumpang.
Ketiga, diskon tiket angkutan laut sebesar 50%. Pemerintah menganggarkan Rp 0,21 triliun dan akan menjangkau 0,5 juta penumpang.
2. Diskon Tarif Tol (Rp0,65 triliun, non-APBN)
Pemerintah juga memberikan diskon tarif tol 20% selama Juni-Juli 2025. Diperkirakan, ada 110 juta pengendara yang melintas di jalan tol dalam periode tersebut. Program ini pun diestimasi memakan anggaran Rp0,65 triliun.
“Untuk ini, akan dilakukan melalui operasi non-APBN karena dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum sudah memberi surat edaran kepada badan usaha jalan tol mengenai kebijakan diskon tarif tol,” kata Sri Mulyani.
3. Diskon Penebalan Bantuan Sosial (Rp11,93 triliun dari APBN)
Pemerintah akan menambah dana bantuan sosial atau Bansos sebesar Rp200 ribu per bulan untuk dua bulan. Bantuan ini menyasar kelompok penerima manfaat untuk program Kartu Sembako, yakni 18,3 juta kelompok penerima.
Bantuan tersebut diberikan selama dua bulan, yakni pada Juni dan Juli 2025. Selain itu, pemerintah akan memberi bantuan beras 10 kilogram. “Jadi, total akan dapat 20 kilogram beras,” jelas Sri Mulyani.
4. Bantuan Subsidi Upah (Rp 10,72 triliun dari APBN)
Seperti saat Pandemi Covid-19, pemerintah akan memberikan Bantuan Subsidi Upah (BSU) senilai Rp300 ribu/bulan kepada 17,3 juta pekerja. Bantuan tersebut disalurkan pada Juni dan Juli 2025.
Bantuan disalurkan kepada pekerja bergaji kurang dari Rp3,5 juta per bulan atau di bawah upah minimum provinsi, kabupaten, kota, yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan.
“Jadi, dua bulan Rp600 ribu,” kata Sri Mulyani
Selain itu, Pemerintah juga akan memberikan BSU kepada 565 ribu guru honorer. Rinciannya, 288 ribu guru di lingkungan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dan 277 ribu guru di lingkungan Kementerian Agama.
“Guru honorer juga akan mendapat Rp300 ribu per bulan untuk 2 bulan,” ujarnya.
5. Perpanjangan Diskon Iuran JKK (Rp 0,2 Triliun, non-APBN)
Diskon Jaminan Kecelakaan Kerja atau JKK sebesar 50% diberikan kepada 2,7 juta pekerja di lingkungan enam industri padat karya. Program ini ditujukan agar para pekerja itu bisa mendapat JKK yang hanya dibayar separuh.
Berbeda dari empat paket stimulus lainnya, diskon iuran JKK akan berlaku selama enam bulan.
Pemerintah Batal Beri Diskon Tarif Listrik 50 Persen
Dalam kesempatan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga mengumumkan pembatalan rencana pemberian diskon tarif listrik sebanyak 50% dari tarif normal kepada 79,3 juta pelanggan listrik berdaya 1.300 VA ke bawah.
Rencananya, diskon tarif diberlakukan untuk tagihan Juni dan Juli.
Menurut Sri Mulyani, pembatalan disebabkan oleh mekanisme penganggaran. Pemerintah rencananya menggelontorkan diskon pada Juni dan Juli tahun ini. Tapi karena diskon listrik mekanisme penganggarannya lebih lambat, rencananya dibatalkan.
"Kita rapat diskon listrik penganggaran lebih lambat. Kalau Juni, Juli tidak bisa dijalankan," katanya.
Sebagai gantinya, pemerintah menambah insentif berupa bantuan subsidi upah (BSU). Semula, BSU Rp150 ribu diberikan kepada pekerja bergaji di bawah Rp3,5 juta selama dua bulan.
Pemerintah kemudian menambah bantuan itu menjadi Rp300 ribu per bulan. Dengan kata lain, 17,3 juta orang pegawai dan 565 ribu orang guru honorer akan mendapatkan bantuan Rp600 ribu selama dua bulan.
CELIOS : Sulit Mendorong Daya Beli
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai paket insentif ekonomi yang akan mulai diberlakukan pemerintah pada 5 Juni 2025 mendatang merupakan langkah tepat.
Namun, pihaknya menyoroti salah satu kebijakan stimulus yakni soal subsidi upah. Ia menilai subsidi upah yang diberikan terlalu kecil. Idealnya subsidi upah adalah sebesar 30% atau setara Rp1 juta untuk pekerja gaji Rp3,5 juta.
"Jika subsidi upahnya cuma Rp300 ribu per bulan, maka daya dorong ke konsumsi rumah tangga bakal terbatas. Sulit untuk ekonomi tumbuh di atas 5% pada Kuartal III/2025," kata Bhima dalam keterangannya.
Bhima menambahkan, subsidi upah juga perlu diimbangi dengan pengendalian harga kebutuhan pokok dan transportasi perumahan, sehingga daya beli pekerja bisa terjaga.
Dia juga menyoroti pembukaan lapangan kerja yang sama pentingnya karena masalah saat ini pemutusan hubungan kerja (PHK) sedang masif. Selain itu, dia menyarankan agar pemerintah menjamin pekerja informal agar masuk ke skema subsidi upah.
"Pelajaran dari Covid-19 kemarin, pekerja informal tidak mendapat subsidi upah karena pemerintah masih berbasis data BPJS Ketenagakerjaan," imbuhnya.
Baca Juga: CEK KEBIJAKAN: Tarif Trump Bisa Timbulkan Resesi di Indonesia
Sementara itu, Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar menyebut paket stimulus yang diberikan per Juni ini sebagai langkah “trial and error” pemerintah. Apalagi, banyak kebijakan stimulus yang dibuat pemerintah sebelumnya tidak berjalan efektif.
Ia menganalogikan kebijakan ini layaknya menggarami lautan karena tidak memiliki dampak signifikan alias sia-sia.
Menurutnya, satu-satunya bantuan pemerintah yang paling efektif adalah bantuan uang tunai lewat Program Keluarga Harapan (PKH).
“Ini ada paket stimulus diskon tiket pesawat, siapa yang mau berangkat naik pesawat di tengah bayaran iuran sekolah? Enggak ada," tegas Media.
“Saya enggak sepakat negara enggak punya uang, uang itu ada, tapi digeser untuk MBG ratusan triliun, ke Danantara dan uang itu tidak beredar ke bawah,” ungkapnya.
Insentif Harus Disertai Sabilitas Harga
Pengamat Ekonomi dari Universitas Pasundan Acuviarta Kartabi memperkirakan meskipun stimulus ini dapat mendorong konsumsi rumah tangga, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih jauh dari angka ideal seperti 8%.
Ia memprediksi pertumbuhan ekonomi realistis hanya berada di kisaran 5% hingga 5,5%. Apalagi masih ada tantangan global, seperti efek kebijakan proteksionisme dari Donald Trump di Amerika Serikat, yang dapat mengganggu ekspor Indonesia.
“Kalau ekspor kita anjlok akibat tarif impor AS yang tinggi, maka pertumbuhan bisa terhambat. Sekarang kita fokus ke konsumsi domestik, tapi jangan lupakan ekspor dan investasi,” kata Acuviarta kepada TheStanceID.
Menurutnya, insentif akan efektif hanya jika tidak dibarengi dengan lonjakan harga kebutuhan pokok. Ia pun mendorong pemerintah untuk menjaga inflasi tetap terkendali.
“Subsidi dan diskon boleh, tapi jangan sampai inflasi tinggi. Yang ada bukan dorong ekonomi, malah stagnan,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya peningkatan produktivitas dan daya saing sektor usaha agar subsidi tidak sekadar jadi penyangga sesaat, tetapi turut menggerakkan ekonomi jangka panjang.
Pemangkasan Tarif PPN
Lebih lanjut, Bhima Yudhistira mengusulkan insentif lainnya, yakni pemangkasan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN pada Juni 2025 dari 11% ke 9%.
Dia menilai penurunan tarif pajak PPN dari 11% ke 9% bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Lantaran, masyarakat akan membelanjakan uang lebih banyak untuk membeli barang dan jasa.
Selain itu, industri pengolahan khususnya yang berorientasi pasar dalam negeri akan mendapat manfaat terbesar dari pemangkasan tarif PPN. Sebesar 25% porsi penerimaan pajak berasal dari sumbangan industri pengolahan.
Ia berkaca pada praktik di beberapa negara yang sudah menurunkan tarif PPN, seperti penurunan PPN Vietnam sebesar 2% hingga 2026 dan Irlandia yang memangkas tarif PPN pasca-pandemi untuk menstimulus pemulihan daya beli masyarakat.
Selain itu, Jerman juga melakukan pemangkasan tarif PPN reguler sebesar 3%
“Pendapatan negara dari skema penurunan tarif PPN justru akan positif karena dikompensasi oleh kenaikan penerimaan lain seperti setoran PPh badan, dan PPh 21 karyawan,” jelasnya. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.