CEK KEBIJAKAN: Tarif Trump Bisa Timbulkan Resesi di Indonesia
Dalam daftar yang dirilis pemerintah AS, produk ekspor Indonesia ke AS dikenai tarif 32%.

Jakarta, TheStanceID - Setelah sekian lama menggertak, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akhirnya benar-benar merealisasikan kebijakan tarif baru terhadap produk impor yang masuk negaranya pada Rabu (2/4/2025) waktu setempat.
Presiden Trump mengumumkan tarif baru sebesar 10% pada hampir semua barang impor yang masuk ke AS. Di samping itu, Trump memberlakukan tarif resiprokal alias 'Tarif Timbal Balik' terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia.
"Ini adalah deklarasi kemerdekaan ekonomi kami," kata Trump saat mengumumkan langkah-langkah baru tersebut, mengklaim duit dari tarif itu akan dipakai untuk "mengurangi pajak dan membayar utang nasional."
Dalam pengumuman itu, Trump juga merilis daftar negara lengkap dengan tarif balasan yang dikenai AS terhadap negara-negara itu.
Penerapan kebijakan tarif Trump ini akan berlaku bertahap. Tanggal 3 April 2025 berlaku untuk tarif 25% untuk semua mobil buatan luar negeri.
Adapun tarif dasar 10% untuk semua negara berlaku mulai 5 April 2025. Sementara itu, tarif timbal balik yang lebih tinggi bakal mulai berlaku 9 April 2025.
Indonesia Masuk Daftar
Indonesia muncul pada daftar tarif tersebut. Disebutkan bahwa Indonesia menerapkan tarif sebesar 64% untuk barang-barang asal AS.
Dalam daftar yang dirilis pemerintah AS, produk ekspor Indonesia ke AS dikenakan tarif imbal balik 32%. Angka itu belum termasuk tarif global 10% yang berlaku universal untuk semua barang yang masuk ke Negeri Sam itu.
Besaran tarif yang dikenakan untuk Indonesia tidak lepas dari defisit perdagangan AS ke RI yang mencapai belasan miliar dolar.
Berdasar data Kementerian Perdagangan RI, Indonesia mengalami surplus perdagangan US$14,3 miliar pada Januari-Desember 2024. Jumlah itu lebih rendah dari catatan Badan Statistik AS sebesar US$17,9 miliar.
Defisit itu menempatkan Indonesia menjadi negara ke-15 dengan defisit perdagangan terbesar bagi AS.
Tercatat, pada 2024, mesin dan perlengkapan elektronik menjadi produk yang paling banyak diekspor dari Indonesia ke AS dengan nilai US$4,18 miliar.
Sektor tekstil menyusul, dengan produk berupa pakaian dan aksesori rajutan, alas kaki, hingga pakaian dan aksesori non-rajutan. Total ekspor ketiga jenis barang itu mencapai US$7 miliar.
Selain itu, Indonesia juga mengekspor perabotan dan alat penerangan hingga mesin dan peralatan mekanis lainnya ke AS. Disusul produk olahan alam, seperti lemak dan minyak hewan/nabati, karet dan barang dari karet.
Respon Pemerintah
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menyatakan pemerintah Indonesia akan segera menghitung dampak pengenaan tarif AS terhadap sektor-sektor dan ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
Pemerintah Indonesia juga akan mengambil langkah-langkah strategis untuk memitigasi dampak negatif terhadap perekonomian nasional.
"Indonesia juga telah mempersiapkan berbagai strategi dan langkah untuk menghadapi penerapan tarif resiprokal Trump dan melakukan negosiasi dengan pemerintah AS," demikian rilis Kemlu.
Tim lintas kementerian dan lembaga, perwakilan Indonesia di AS serta para pelaku usaha nasional juga telah berkoordinasi secara intensif untuk persiapan menghadapi tarif resiprokal AS.
"Pemerintah Indonesia akan terus melakukan komunikasi dengan Pemerintah AS dalam berbagai tingkatan, termasuk mengirimkan delegasi tingkat tinggi ke Washington DC untuk melakukan negosiasi langsung dengan Pemerintah AS," kata Kemlu.
Selain itu, Indonesia telah berkomunikasi dengan Malaysia selaku pemegang Keketuaan ASEAN untuk mengambil langkah bersama mengingat 10 negara blok Asia Tenggara ini terdampak pengenaan tarif AS.
Respon Dunia Usaha
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W. Kamdani mendorong pemerintah membangun kesepakatan bilateral dengan AS buntut penerapan tarif timbal balik oleh Trump.
"Mendorong kesepakatan bilateral dengan AS untuk memastikan Indonesia mendapatkan akses pasar terbaik atau paling kompetitif dan saling menguntungkan," kata Shinta.
Menurutnya, penciptaan integrasi rantai pasok antara industri Indonesia dan industri di AS, akan membuat ekspor Indonesia dipandang sebagai upaya memperkuat daya saing industri AS, bukan sebagai ancaman.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Hipmi Anggawira melihat kebijakan tarif Trump ini sebagai peluang sekaligus momentum bagi pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada Amerika Serikat
Ia pun mengimbau pemerintah mempercepat perjanjian dagang dengan negara-negara Uni Eropa, Timur Tengah dan Afrika, untuk mendiversifikasi pasar ekspor.
Menurut Anggawira diversifikasi pasar ekspor dengan akselerasi perjanjian dagang adalah kebijakan yang perlu dipertimbangkan untuk jangka menengah.
Sementara, untuk jangka pendek, pemerintah perlu meyakinkan pelaku pasar dengan komitmen untuk menjaga stabilitas dan kepercayaan pasar, di antaranya dengan intervensi di pasar keuangan dan stimulus bagi dunia usaha terdampak.
Dampak Tarif Timbal Balik bagi Indonesia
Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eisha Maghfiruha Rachbini mengungkap dampak tarif timbal balik yang ditetapkan itu bagi perekonomian Indonesia.
Ia menjelaskan secara rata-rata tahunan, pangsa pasar ekspor Indonesia ke AS sebesar 10,3%, menjadi yang terbesar kedua setelah ekspor Indonesia ke China.
Menurutnya, penerapan tarif 32% pada produk ekspor Indonesia akan berdampak pada penurunan ekspor Indonesia ke AS secara signifikan seperti tekstil, alas kaki, elektronik, furnitur, serta produk pertanian dan perkebunan.
Secara teori, dengan adanya penerapan tarif, maka akan terjadi trade diversion dari pasar yang berbiaya rendah ke pasar yang berbiaya tinggi.
"Sehingga akan berdampak pada biaya yang tinggi bagi pelaku ekspor untuk komoditas unggulan, seperti tekstil, alas kaki, elektronik, furniture, dan produk pertanian, dampaknya adalah melambatnya produksi, dan lapangan pekerjaan," kata Eisha dalam keterangan tertulis.
Baca Juga: Indonesia Bisa Diuntungkan dari Perang Dagang Jilid II AS-Cina
Oleh karenanya, dia mengusulkan alternatif solusi untuk menyikapi kebijakan tarif Trump. Pertama, pemerintah perlu segera bernegosiasi dengan AS agar dapat meminimalkan (mengurangi) dampak tarif bagi produk ekspor Indonesia ke AS.
"Kekuatan negosiasi diplomatik menjadi sangat krusial, dalam memitigasi dampak dari perang dagang dengan AS," ujar Eisha.
Kedua, perjanjian dagang bilateral dan multilateral serta inisiasi perjanjian kerjasama dengan negara non-tradisional perlu digalakkan.
Tujuannya, untuk memberikan pasar baru bari ekspor produk terdampak seperti tekstil, alas kaki, elektronik, furnitur, serta produk pertanian dan perkebunan, seperti minyak kelapa sawit, karet, perikanan.
"Sehingga, pelaku ekspor dan industri terdampak dapat mengalihkan pasar ekspor," jelasnya.
Ketiga, perlu ada insentif keuangan, subsidi, dan keringanan pajak dapat membantu bisnis mengatasi peningkatan biaya dan pengurangan permintaan akibat dampak tarif dan perang dagang AS.
Keempat, perlu investasi dalam kemajuan teknologi dan inovasi dalm bentuk peningkatan keterampilan tenaga kerja untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global, sebagai upaya dalam jangka panjang.
Bisa Memicu Resesi Ekonomi
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyatakan perang tarif Trump akan berdampak signifikan ke ekonomi Indonesia. .
"Bisa picu resesi ekonomi Indonesia di kuartal IV 2025," kata Bhima dalam keterangannya, Kamis (3/4/2025)
Bukan hanya akan berdampak pada kuantitas ekspor Indonesia ke AS, tapi juga bisa memberikan dampak negatif berkelanjutan ke volume ekspor ke negara lain.
Sektor otomotif dan elektronik Indonesia diperkirakan bakal di ujung tanduk karena konsumen AS menanggung tarif dengan harga pembelian kendaraan lebih mahal, yang menyebabkan penjualan kendaraan bermotor turun di AS.
"Produsen otomotif Indonesia tidak semudah itu shifting ke pasar domestik, karena spesifikasi kendaraan dengan yang diekspor berbeda. Imbasnya layoff dan penurunan kapasitas produksi semua industri otomotif di dalam negeri," ujarnya.
Selain sektor otomotif dan elektronik, kata Bhima, industri padat karya seperti pakaian jadi dan tekstil diperkirakan bakal mengalami penurunan, mengingat banyak brand global asal AS memiliki pangsa pasar besar di Indonesia.
"Begitu kena tarif yang lebih tinggi, brand itu akan turunkan jumlah order atau pemesanan ke pabrik Indonesia. Sementara di dalam negeri, kita bakal dibanjiri produk Vietnam, Kamboja dan China karena mereka incar pasar alternatif," tuturnya.
Bhima merekomendasikan pemerintah mengejar peluang relokasi pabrik dengan memberikan regulasi yang konsisten, efisiensi perizinan, kesiapan infrastruktur pendukung kawasan industri, sumber energi terbarukan yang memadai untuk memasok listrik ke industri, dan kesiapan sumber daya manusia. (est)
Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.