Oleh Muhammad Syarkawi Rauf, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Hasanuddin, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) 2015-2018, pernah menjadi Direktur Utama BERDIKARI dan Komisaris Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI/IX dan kini aktif sebagai Chairman of Asian Competition Institute (ACI).
Saya ingin memulai tulisan ini dengan menyimak kembali peringatan dua ekonom, yaitu Acemoglu dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan Robinson dari Universitas Harvard.
Dalam bukunya berjudul: Why Nations Fail: The Origin of Power, Prosperity and Poverty, permasalahan negara miskin bukanlah karena faktor geografi atau budaya, tetapi karena sistem ekonominya bersifat ekstraktif, menghisap dan eksploitatif.
Hal ini sejalan dengan peringatan Presiden Prabowo Subianto pada penutupan kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Solo, Jawa Tengah, 20 Juli 2025.
Beliau mengintrodusir istilah serakahnomics, yaitu praktik bisnis yang eksploitatif dan menghisap pelaku usaha kecil serta masyarakat secara keseluruhan.
Praktik serakahnomics merupakan pelanggaran berat dalam antitrust atau anti-monopoly law.
Serakahnomics dikategorikan sebagai abused of market power, abused of bargaining power, unfair business practices, merger and acquisition yang bertujuan memonopoli perekonomian untuk mengeksploitasi konsumen dengan harga tidak wajar.
Praktik ini bertentangan dengan sistem ekonomi pasar yang pertama kali diperkenalkan oleh Adam Smith, di mana sistem ekonomi pasar didesain untuk mengalokasikan sumber daya ekonomi secara efisien dan berkeadilan kepada setiap orang.
Efisiensi ekonomi dicapai melalui peran invisible hand yang didukung penegakan hukum yang adil. Sementara itu, aspek keadilan dicapai melalui instrumen perpajakan untuk mentransfer sumber daya ekonomi dari kelompok kaya ke miskin.
Praktik Serakahnomics
Impian Adam Smith jauh dari kenyataan. Ekonomi pasar dan invisible hand tidak bekerja dengan baik.
Perekonomian terpusat pada oligopolis (segelintir pelaku usaha) yang menggunakan market power secara salah (abused of market power), menetapkan harga pembelian sangat rendah dari produsen kecil (petani) dan harga jual barang sangat tinggi kepada konsumen.
Tidak hanya itu, para monopolis dan oligopolis yang menguasai perekonomian ketika berhubungan dengan pelaku usaha kecil dalam konteks kemitraan usaha juga menyalahgunakan kekuatannya (abused of bargaining power).
Kemitraan eksploitatif dan menghisap dalam bentuk bagi hasil yang tidak adil dan pembelian produk mitra usaha kecil pada harga yang tidak wajar.
Bahkan, banyak pelaku usaha melakukan kecurangan dalam produksi dan melawan hukum (unfair business practices) yang menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
Salah satu contohnya, beras oplosan, kecurangan menetapkan timbangan, pelanggaran aturan Standar Nasional Indoensia (SNI), pelanggaran aturan pengangkutan barang, dan bahkan secara sengaja melanggar aturan mutu produk.
Praktik yang banyak terjadi dalam perekonomian nasional adalah pengambilalihan saham dan penggabungan (merger and acquisition) yang bertujuan untuk mematikan pesaing sehingga menjadi perusahaan monopoli di pasar.
Perusahaan yang dominan, baik sendiri-sendiri maupun berkelompok, dapat mengeksploitasi konsumen dengan harga jual yang sangat eksesif.
Baca Juga: Jilat-Jilat Perusahaan Raksasa Amerika Jelang Pelantikan Trump
Yang dianggap lumrah tetapi melanggar hukum adalah cross ownership (kepemilikan silang) dan jabatan rangkap sebagai direksi atau komisaris dalam beberapa perusahaan dalam usaha sejenis.
Praktik ini menyebabkan dominasi dalam perekonomian yang dapat mengarah pada eksploitasi konsumen dengan harga tinggi.
Praktik serakahnomics dalam perekonomian nasional sangat akut karena banyak kasus persekongkolan yang melibatkan pengambil kebijakan (public cartel).
Unsur persekongkolan ditemukan dalam kebijakan yang secara sengaja memfasilitasi pelaku usaha tertentu (persekongkolan vertikal). Modusnya, menetapkan spesifikasi proyek yang diarahkan pada produk atau pelaku usaha tertentu.
Penguatan KPPU
Lalu, apa yang dapat dilakukan oleh Presiden Prabowo untuk mengatasi praktik serakahnomics?
Solusinya, langkah pertama, melakukan regulatory review agar sejalan dengan prinsip demokrasi ekonomi dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 terhadap seluruh undang-undang, peraturan, dan kebijakan, mulai dari pemerintah pusat hingga ke pemerintah daerah.
Proses regulatory review dapat dilakukan oleh badan khusus yang langsung bertanggungjawab kepada presiden, seperti Australia Regulatory Commission.
Atau dalam kasus Indonesia, tugas ini dapat diberikan kepada Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang langsung bertanggung jawab kepada presiden.
Langkah kedua yang dapat dilakukan oleh Presiden Prabowo adalah memperkuat peran Indonesia Competition Commission (ICC) atau Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Salah satu negara yang dapat menjadi contoh sukses adalah Korea Selatan (Korsel).
Sejak krisis ekonomi 1997/1998, mereka mengubah haluan ekonominya dari kontrol negara yang ditopang segelintir Chaebol (sebutan untuk konglomerasi Korsel) ke mekanisme pasar dengan pengawasan dan pengaturan ketat.
Otoritas persaingan Korea, yaitu Korea Fair Trade Commission (KFTC) diberdayakan dengan kewenangan besar untuk mengawasi dan melakukan penegakan hukum persaingan terhadap perilaku serakahnomics.
Perlu Kewenangan Ekstra
Agenda penguatan KPPU difokuskan pada penguatan kewenangan dalam pengumpulan alat bukti terhadap pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang persaingan usaha tidak sehat.
Dalam hal ini, kewenangan penggeladahan dan penyadapan.
Kewenangan ini diperlukan mengingat praktik serakahnomics dalam bentuk persekongkolan antar pelaku usaha dilakukan tidak secara konvensional (perjanjian tertulis). Saat ini, persekongkolan menggunakan platform digital.
Kewenangan penegakan hukum secara cross-border.
Hal ini berkaitan dengan kegiatan bisnis bersifat extraterritorial, seperti digital economy atau bisnis di daerah perbatasan Indonesia (pulau Batam) dengan Singapura yang banyak merugikan Indonesia.
Saat ini, extraterritorial enforcement dilakukan baru pada tahap koordinasi dan pertukaran data antar otoritas persaingan.
Mengubah rezim merger dan akusisi dari post-merger notification, notifikasi ke KPPU setelah merger dan akusisi dinyatakan efektif secara yuridis, menjadi pre-merger notification, yaitu konsultasi dan notifikasi ke KPPU sebelum merger dan akuisisi.
Akhirnya, ini momentum yang baik bagi Presiden Prabowo menggabungkan kelembagaan KPPU dengan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), seperti pengalaman Australia dengan Australia Competition and Consumer Commission (ACCC).
Mengingat, dampak dari serakahnomics adalah kerugian pada konsumen.***
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.