Revolusi Senyap Jurnalisme
Jurnalis investigatif bekerja keras, mendalami dokumen, mengikuti jejak uang, mengumpulkan fakta hingga terungkap siapa yang salah. Setelah berita meledak, apa yang terjadi? Masyarakat marah, lalu lupa. Skandal meledak, lalu tenggelam. Kita membongkar lubang, tapi tak membangun jembatan

Oleh Ismail Fahmi, pendiri Drone Emprit dan PT Media Kernels Indonesia, yang kini aktif menuangkan gagasan dan pemikirannya di Facebook.
“Setelah kita tahu siapa yang salah, pertanyaannya adalah, lalu apa yang bisa kita lakukan agar ini tak terjadi lagi?” -- Ellen Heinrichs, Founder & CEO, Bonn Institute
Selama lebih dari satu abad, jurnalisme investigasi menjadi mahkota tertinggi dari profesi ini. Ia mengungkap korupsi, membongkar kebohongan, dan menjungkirbalikkan rezim.
Dari Watergate hingga Panama Papers, jurnalis ada untuk bertanya: siapa yang salah?
Tapi hari ini, dunia sedang berubah. Dan jurnalisme, jika ingin tetap relevan, perlu bertanya hal yang lebih sulit: bagaimana agar kesalahan tidak terulang?
Inilah titik di mana jurnalisme solusi (solution journalism atau constructive journalism) mulai mengambil peran. Bukan untuk menyingkirkan investigasi, tetapi melengkapinya. Karena membongkar masalah saja tidak cukup. Kita juga perlu memberi arah.
Jurnalis investigatif bekerja keras, mendalami dokumen, mengikuti jejak uang, menyusun fakta demi fakta hingga terungkap siapa yang salah.
Namun setelah berita meledak, apa yang terjadi? Masyarakat marah, lalu lupa. Skandal meledak, lalu tenggelam. Kita membongkar lubang, tapi tidak membangun jembatan.
“Setelah titik klimaks sebuah laporan investigatif, publik sering ditinggalkan dengan rasa frustrasi, bukan kejelasan.”
Kita menjadi jurnalis yang ahli dalam menjelaskan bagaimana semuanya rusak, tapi tak pernah bertanya bagaimana memperbaikinya.
Awal Lahirnya Narasi Solusi
Di ruang redaksi The New York Times, lahirlah eksperimen kecil: bagaimana jika kita tidak berhenti pada siapa yang salah? Bagaimana jika kita lanjut satu langkah lagi, mencari siapa yang memperbaiki?
Hasilnya luar biasa. Pembaca tetap tertarik. Bahkan lebih dari itu. Mereka merasa tercerahkan. Mereka tidak hanya marah, tapi punya arah. Dalam kata lain, informasi berubah menjadi makna.
Lisa Urlbauer dari Bonn Institute menyebut ini sebagai nilai tambah paling esensial dari jurnalisme hari ini:
“Constructive journalism bukan tentang menutup-nutupi. Tapi tentang melengkapi. Dari kritik ke kontribusi.”
Mengapa ini sebuah revolusi? Karena ini bukan soal gaya penulisan. Ini soal cara pandang. Cara kita memosisikan peran jurnalis dalam masyarakat.
Jika investigasi adalah watchdog, maka solusi adalah guidedog. Satu menjaga. Satu menuntun. Kita butuh keduanya.
Dan ini radikal, karena jurnalis diajak melepaskan ego ingin terlihat benar, dan mulai membangun narasi yang membuat pembaca ingin ikut terlibat.
Banyak yang salah sangka. Jurnalisme solusi bukan tentang menyebarkan kabar baik. Bukan mengganti masalah dengan senyum.
Tapi membingkai ulang, menunjukkan bahwa di tengah krisis, ada yang bergerak. Bahwa di balik data yang gelap, ada cahaya kecil yang bekerja keras, sering tak terlihat. Dan tugas kita, membuat cahaya itu terlihat.
Baca Juga: Mengapa Slow Journalism Menjadi Senjata Alternatif Melawan Disinformasi?
Mari perjelas. Jurnalisme solusi bukan pengganti investigasi. Ia adalah evolusi.
Setelah kita tahu siapa yang merusak, kita juga perlu tahu siapa yang memperbaiki. Setelah kita tahu sistem mana yang gagal, kita butuh tahu sistem mana yang berhasil, meski kecil, meski lokal.
Karena jika jurnalisme hanya bicara tentang dunia yang rusak, maka publik hanya akan belajar untuk kecewa. Tapi jika jurnalisme juga bicara tentang bagaimana memperbaikinya, maka publik belajar untuk berdaya.
Dan bukankah itu tujuan mulia jurnalisme. Bukan hanya membuat publik tahu, tapi membuat publik bergerak?***
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.