PPN Naik 12%, Konsumen Jadi Korban
Harga barang diperkirakan akan naik 5-10%.

Jakarta, TheStanceID - Pemerintah resmi bakal menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari saat ini 11% menjadi 12% pada tahun depan. Biaya pengeluaran bulanan rumah tangga bisa naik 5-10%.
Sebagai informasi, PPN adalah tarif pajak yang dikenakan pada suatu transaksi konsumsi barang dan jasa termasuk Barang Kena Pajak (BKP) dalam negeri. PPN dipungut oleh wajib pajak (WP) badan alias pelaku usaha kepada konsumen atau pembeli.
Kepastian kenaikan PPN ini disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Komisi XI, di kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu (13/11/2024).
Ia mengungkapkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 2025 masih sesuai dengan amanat UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan sebagaimana tertulis di Pasal 7 ayat 2.
Tarif PPN yaitu sebesar 12% yang mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025
Sri Mulyani juga menegaskan belum ada pembahasan soal penundaan pemberlakuan kenaikan pajak.
Meski banyak diprotes karena penaikan pajak dilakukan di tengah pelemahan daya beli, Sri Mulyani mengingatkan APBN sebagai instrumen penyerap kejut (shock absorber) perekonomian harus dijaga kesehatannya.
"APBN memang tetap harus dijaga kesehatannya karena APBN itu harus berfungsi dan mampu merespon dalam episode global financial crisis. Countercyclical tetap harus kita jaga," kata Sri Mulyani.
Waspadai Efek Turunannya
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita mengatakan kenaikan PPN menjadi 12% akan berisiko memukul konsumsi rumah tangga, karena kenaikan ini akan membuat harga barang-barang dan jasa menjadi lebih mahal.
"Karena biasanya perusahaan kurang bersedia menanggung kenaikan PPN sendiri, biasanya jalan tercepat adalah menaikkan harga jual barang atau jasa yang diproduksi oleh perusahaan," katanya dikutip dari CNN Indonesia, Kamis (14/11/2024).
Kondisi naiknya harga barang dan jasa ini tentunya akan menyebabkan daya beli masyarakat tertekan, apalagi jika masyarakat tidak memiliki tambahan penghasilan. Masyarakat cenderung memilih mengurangi konsumsi atas barang dan jasa tersebut, sehingga permintaan akan barang dan jasa pun menurun.
Senada, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ariyo DP Irhamna menilai meski meningkat hanya 1%, dampak kenaikan PPN bisa lebih besar dari itu.
“Walaupun 1% tampak sederhana, dampaknya cukup signifikan ketika dilihat dari berbagai sisi, seperti dunia usaha, kelas menengah, dan potensi efek berantai pada kebijakan pajak lainnya,” kata Ariyo DP Irhamna, Senin (18/11/2024).
Ariyo menilai dengan kenaikan PPN ini, masyarakat kemungkinan akan lebih selektif dalam membeli barang dan jasa, khususnya barang-barang non-esensial.
“Padahal, deflasi yang berturut terjadi dalam beberapa bulan terakhir ini menjadi sinyal bahwa daya beli masyarakat sedang anjlok,” ujarnya.
Di sisi lain, perusahaan bisa melakukan pengurangan biaya melalui pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai bentuk efisiensi di tengah penjualan produknya yang kian tidak kompetitif karena harga akhirnya meningkat.
“Kenaikan harga produk akibat peningkatan PPN akan meningkatkan biaya perusahaan serta menurunkan daya beli masyarakat, sehingga dari sisi penawaran dan permintaan akan berkurang,” ujar Ariyo.
Simulasi Dampak Kenaikan PPN
Masyarakat berpenghasilan rendah akan menjadi pihak yang paling rentan terdampak kenaikan PPN menjadi 12%. Akan ada kenaikan pajak 1% tiap kali mereka membeli barang atau jasa yang berimplikasi pada membengkaknya belanja bulanan.
Misalnya, jika total belanjaan bulanan di minimarket nilainya Rp3 juta sewaktu PPN masih 11%, maka PPN yang harus dibayar adalah Rp3 juta x 11% = Rp330 ribu. Total belanjaan yang harus dibayarkan konsumen itu pun menjadi Rp3.330.000 setelah dikenai PPN.
Sementara jika PPN naik menjadi 12%. Maka PPN yang harus dibayar adalah Rp3 juta x 12% = Rp360 ribu. Sehingga total belanjaan yang harus dibayarkan konsumen itu pun menjadi Rp3.360.000 setelah dikenai PPN.
Ilustrasi selisih kenaikan PPN tersebut mengasumsikan bahwa harga barang dan jasa tersebut flat.
Sayangnya, banyak ekonom memperkirakan harga barang dan jasa bakal ikutan naik seiring kebijakan kenaikan PPN. Alasannya, harga bahan baku juga pasti akan naik mengingat semua barang tersebut PPN-nya juga naik.
Jika produk sabun diproduksi dengan lima bahan baku utama, yang mana setiap bahan baku terkena kenaikan PPN menjadi 12%, maka ada tambahan biaya dari beban pajak adalah sebesar 1% x 5 (bahan baku).
Produsen sabun akan membebankan kenaikan ongkos itu ke konsumen dengan menaikkan harga sabunnya. Di warung kelontong, sabun yang harganya sudah naik tersebut, bakal terkena PPN lagi yang naik menjadi 12%.
Harga Barang Naik 5-10%
Ketua Umum terpilih Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) periode 2024-2028, Solihin memastikan harga produk di pasar ritel akan terkerek naik 5-10% meskipun kenaikan PPN hanya 1%.
“Sekarang kan 11% kan? Naik 1% jadi berapa persen tuh dari 11? 1 per 12, kan? Jadi naiknya bukan 1%, 1 per 12, itu naiknya, berat enggak? Ya, beratlah,” kata Solihin saat konferensi pers Musyawarah Nasional Aprindo ke-VIII, Minggu (17/11/2024).
Sebagai contoh, misalnya barang elektronik yang tadinya dibanderol Rp2 juta mengalami kenaikan harga maksimal di level 10%, maka uang yang harus dikeluarkan pembeli bertambah menjadi Rp2.200.000.
Kondisi ini tentunya akan menjadi pertimbangan konsumen, apalagi jumlah ini masih belum termasuk PPN 12%. Akibatnya, daya beli masyarakat akan menjadi turun.
Solihin menilai kenaikan PPN menjadi 12% di awal 2025 bakal memberatkan pembeli, terutama di tengah pertumbuhan ekonomi yang masih stagnan. Konsumen menjadi aspek utama yang menanggung dampak dari kenaikan 1% PPN menjadi 12%.
“Nah, kalau ditanya siapa yang berat? Ya tadi saya bilang, yang mau beli barang itu lah [konsumen],” ujar Solihin, yang juga memprediksi bakal terjadi pergeseran belanja masyarakat.
Menurutnya, konsumen Indonesia memiliki karakteristik setia terhadap merek tertentu, tapi mereka juga sensitif terhadap harga. Untuk itu, ia memprediksi beberapa merek barang bakal kehilangan pelanggan.
“Karena ada kenaikan yang signifikan, mungkin nanti kita lihat dia pasti mengubah loyalitasnya kepada merek tersebut dan menyesuaikan dengan kebutuhannya,” kata Solihin.
Aprindo, kata Solihin, saat ini masih mempelajari dampak kenaikan tarif PPN, sebelum menentukan strategi apa yang akan ditempuh untuk mengatasi dampak penurunan daya beli.
Apalagi, meski sebagian barang dan jasa ada yang tidak dikenai PPN 12%, mereka masih tetap menjadi obyek pajak daerah, dan retribusi daerah.
Nantinya, setelah melihat dampak penerapan tarif baru PPN tahun depan, barulah asosiasi akan mengajukan beberapa rekomendasi ke pemerintah. (est)