Harun Al-Rasyid Lubis

Oleh Harun Al-Rasyid Lubis. Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL) Institut Teknologi Bandung (ITB), alumni KRA 37 Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), kini menjadi Ketua Rukun Warga (RW) 16 Kelurahan Sekeloa, Bandung, dan aktif di Infrastructure Partnership & Knowledge Center (IPKC).

Penggunaan Dana Kekayaan Sovereign (SWF) Danantara bagi investasi pelayanan publik adalah sebuah strategi yang ambisius.

Pergeseran dari penggunaan APBN murni menawarkan potensi pembangunan tanpa membebani utang negara, namun ini membawa serta kompleksitas dan risiko yang sama sekali berbeda.

Di samping semua pertimbangan strategis dan finansial yang telah dibahas dalam artikel sebelumnya, dua faktor penentu yang paling kritis justru terletak pada unsur manusia dan sistem: Tata Kelola yang Baik (GCG) dan kualitas talenta pengelolanya.

Inilah yang membedakan sebuah SWF yang sukses seperti Temasek (Singapura) dengan yang menjadi bencana seperti 1MDB (Malaysia).

GCG bukanlah sekadar jargon, melainkan benteng pertahanan pertama dan terakhir dari dana milik rakyat ini.

Tanpanya, Danantara berisiko menjadi mesin korupsi yang jauh lebih besar dan lebih tersembunyi dibandingkan skandal anggaran konvensional.

  1. Transparansi vs Kerahasiaan yang Beracun

    SWF sering kali beroperasi dengan tingkat kerahasiaan tertentu untuk melindungi strategi investasinya. Namun, kerahasiaan ini dapat dengan mudah menjadi tudung untuk praktik tidak transparan.

    Caveat terbesarnya adalah menemukan keseimbangan yang tepat. Danantara harus secara proaktif mempublikasikan laporan keuangan auditan independen, kebijakan investasi, keputusan komite investasi (tanpa merinci strategi tertentu), dan kinerja portofolio.

    Setiap Rupiah yang dikelola harus dapat dilacak akuntabilitasnya kepada publik, bukan disembunyikan dengan alasan "rahasia dagang."

  2. Independensi Dewan dari Intervensi Politik

    Dewan Pengarah dan Komite Investasi Danantara harus terdiri atas profesional independen yang diangkat berdasarkan meritokrasi, bukan garis politik atau kedekatan. Ini adalah penangkal utama bagi vested interest.

    Mereka harus memiliki kewenangan penuh untuk menolak proyek yang secara komersial tidak sehat, sekalipun didorong oleh petinggi negara. Struktur ini harus dirancang untuk memfilter keputusan investasi dari intervensi politik jangka pendek.

  3. Manajemen Konflik Kepentingan (Conflict of Interest)

    Ini adalah area yang paling rawan. Peraturan harus secara eksplisit melarang praktik insider trading, penerimaan hadiah, atau investasi ke entitas yang memiliki kaitan dengan pengelola dana, pejabat, atau keluarganya (afiliasi).

  4. Sistem pelaporan dan monitoring yang ketat harus diterapkan, dengan sanksi hukum yang berat bagi pelanggarnya.

Talent Pool: Modal Intelektual di Atas Modal Finansial

Ilustrasi: Layanan jasa penukaran uang tunai jelang Idulfitri

Dana sebesar apapun akan habis dikelola oleh orang yang tidak kompeten. Kompleksitas pengelolaan SWF memerlukan talenta kelas dunia yang memahami tidak hanya keuangan global, tetapi juga konteks pembangunan Indonesia.

  • Rekrutmen Berbasis Meritokrasi Mutlak

    Danantara harus memiliki fleksibilitas untuk merekrut dan memberi kompensasi yang kompetitif secara global kepada para manajer investasi, analis risiko, dan pakar sektoral terbaik.

    Ini berarti harus mampu membayar gaji yang setara dengan pasar global untuk mencegah brain drain dan menarik talenta terbaik. Merekrut berdasarkan patronase atau koneksi politik adalah jalur langsung menuju bencana.

  • Budaya Kinerja dan Akuntabilitas (Performance-Driven Culture)

    Kultur kerja harus berfokus pada kinerja dan kepatuhan terhadap aturan (compliance), bukan pada melayani kepentingan atasan.

    Sistem insentif harus jelas dan dikaitkan dengan pencapaian target kinerja finansial dan kepatuhan terhadap GCG. Seorang fund manager harus lebih takut melanggar prinsip GCG daripada tidak mencapai target return.

Bayang-Bayang 1MDB dan Vested Interest: Sebuah Peringatan yang Nyata

1MDB

Kasus 1MDB di Malaysia adalah textbook example bagaimana sebuah dana sovereign dapat dibajak oleh vested interest.

Dana yang seharusnya untuk pembangunan nasional dialirkan melalui jaringan rumit ke kantong pribadi, perusahaan fiktif, dan untuk membiayai gaya hidup pejabat korup.

Teori di atas kertas selalu terpuji, tetapi eksekusinya—yang beririsan dengan kepentingan para pemilik modal, penguasa, dan pengelola—adalah medan pertempuran yang sebenarnya.

Caveat terakhir dan paling menakutkan adalah bahwa tanpa GCG dan talenta yang kuat, Danantara tidak akan menjadi mesin pembangunan, melainkan sebuah "APBN Bayangan" yang jauh lebih tidak transparan dan jauh lebih rentan disalahgunakan.

Dana yang seharusnya menjadi penyangga fiskal justru bisa menjadi liabilitas terbesar negara, menciptakan skandal keuangan yang berdampak sistemik dan merusak kepercayaan internasional terhadap Indonesia selama puluhan tahun.

Oleh karena itu, diskusi tentang Danantara harus bergeser dari sekadar "apa yang akan diinvestasikan" kepada "bagaimana dan oleh siapa dana ini dikelola."

Sebelum memutuskan untuk membangun kereta cepat atau mengelola sampah dengan dana Danantara, pertanyaan mendesaknya adalah:

  • Apakah undang-undang dan struktur GCG-nya sudah cukup kuat untuk menangkal intervensi politik dan vested interest?

  • Apakah mekanisme rekrutmennya sudah benar-benar meritokratis?

  • Apakah sistem transparansi dan auditnya sudah dirancang untuk mencegah skandal seperti 1MDB?

Tanpa jawaban memuaskan atas pertanyaan-pertanyaan ini, niat terpuji menggunakan dana sovereign untuk pelayanan publik justru berisiko menciptakan monster korupsi baru yang akan menggerogoti perekonomian Indonesia dari dalam, dengan konsekuensi yang bisa lebih parah daripada sekadar pemborosan APBN.

Keberhasilan Danantara tidak akan diukur oleh megahnya proyek yang dibiayai, tetapi oleh integritas dan akuntabilitas setiap proses yang dilaluinya.

Baca Juga: Risiko di Balik Gebrakan Menkeu Purbaya Mendorong Kebijakan Ekonomi Ekspansif

Kesimpulannya, Indonesia bisa punya SWF, bahkan sudah memulai mendirikan INA (Indonesia Investment Authority) pada 2021. Namun untuk SWF benar-benar berhasil seperti SWF Norwegia atau Singapura, Indonesia harus:

  1. Meningkatkan tax ratio agar punya ruang fiskal lebih besar, bukan menaikkan tarif!

  2. Memperkuat governance & transparansi, untuk menghindari bancakan.

  3. Mengelola BUMN khususnya yang berbasis sumber daya alam secara berkelanjutan dan professional, agar kekayaan SWF terus bertumbuh dan dapat menopang BUMN sektor layanan publik.

Dengan kata lain: secara teknis BPI Danantara bisa berjaya, tetapi secara institusional dan tata kelola masih perlu banyak pembenahan.***

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.