Jakarta, TheStanceID - John R. Stockwell adalah sosok langka di antara ribuan karyawan Central Intelligence Agency (CIA). Mengikuti kata hati, dia mengundurkan diri pada tahun 1977, lalu menyerukan transparansi.

Rupanya seruan John terdengar begitu mengganggu bagi dinas telik sandi Amerika Serikat (AS). Mereka mengajukan gugatan ketika buku John berjudul In Search of Enemies: A CIA Story diterbitkan pada tahun 1978.

Buku yang membongkar aksi klandestin CIA selama 1965-1977 tersebut hingga kini menjadi satu-satunya buku yang ditulis oleh orang dalam CIA, tangan pertama.

John adalah anak panah dari busur situasi. Dia pernah menduduki posisi strategis sebagai Kepala Satuan Tugas Angola pada tahun 1975.

CIA di era perang dingin adalah dinas dengan skala kerahasiaan paling tinggi dan paling bebas restriksi, yang bahkan anggota Kongres dan Presiden pun tidak tahu detil operasi yang dijalankan.

Mantan Direktur CIA James R. Schlesinger blak-blakan mengakui itu.

Dalam artikel “The CIA and the Question of Accountability” yang terbit di jurnal Intelligence and National Security (2008), James mengenang pertemuannya pada tahun 1973 dengan John Stennis, Ketua Sub Komite Intelijen Komite Angkatan Bersenjata Senat AS.

“Saya berjalan ke Capitol Hill dan berkata, ‘Pak Ketua, saya ingin memberi tahu Anda tentang beberapa rencana kami.’”

Senator itu segera menjawab, “Tidak, tidak, anakku. Jangan beri tahu aku. Terus, lanjutkan saja—tapi aku tidak ingin tahu!” tutur James yang menjadi Direktur CIA tersingkat (Februari-Juli 1973).

CIA Tak Dikontrol

Di tengah situasi demikianlah John bekerja di CIA. Dia melihat bagaimana kekuasan besar CIA yang tak dikontrol berujung pada berbagai pelanggaran, pembunuhan dan kejahatan yang beroperasi lewat propaganda di lapangan dan dipoles dengan kebohongan di AS.

John yang awalnya berusaha beradaptasi, lama-lama tidak nyaman juga. Dia menghadapi dilema moral demi melihat perintah yang dijalankannya seringkali bertentangan dengan apa yang diyakini terkait benar-salah, adil-lalim, dan baik-buruk.

"Di titik itu saya sepenuhnya tertipu. Saya merasa jiwa saya tersiksa. Secara harfiah, semua yang diajarkan dan kemudian saya yakini tentang pemerintah saya, saya sadari tidak benar," tuturnya dalam wawancara dengan Neil Hoffman, yang dimuat di Burton Michigan Voice (1985).

Pria yang lahir di San Antonio, Texas pada tanggal 14 Desember 1939 ini rupanya masih memegang teguh prinsip moral yang diajarkan ayahnya, seorang kontraktor penganut Presbyterian taat. John kecil diboyong ayahnya yang ikut dalam program misionaris di Kongo, Afrika.

Sekembalinya dari Benua Hitam, John mengambil kuliah di jurusan Plan II Honor yang merupakan program unggulan di University of Texas. Jurusan ini menggabungkan ilmu sosial dan eksakta, serta seni. John menjadi satu dari sedikit calon mahasiswa yang berhasil masuk.

Propaganda dan Kebohongan

Setelah lulus kuliah, pekerjaan pertama John adalah tentara marinir. Tiga tahun kemudian, pada tahun 1964, John direkrut menjadi agen CIA, sebuah tawaran yang di matanya kala itu adalah implementasi dari pesan presiden John F. Kennedy sebelum ditembak:

Jangan tanya apa yang diberikan negara kepadamu, tapi tanyalah apa yang telah kamu berikan kepada negaramu.

“Saya pikir bergabung dengan CIA adalah yang terbaik yang bisa saya lakukan dalam hidup, idealita paling terhormat di masyarakat di mana kita berpikir membantu manusia membuat dunia yang lebih bebas untuk demokrasi,” tuturnya dalam wawancara.

Perlu 13 tahun dan tiga perang kotor (Angola, Nikaragua, dan Vietnam) untuk membuat nuraninya terbuka.

Selama bergabung di CIA, semua agen di dalamnya meyakini bahwa kebohongan dan kejahatan yang dijalankan adalah harga yang harus dibayar untuk mencegah menyebarnya paham komunisme.

John blak-blakan mengakui bahwa propaganda menjadi bagian penting dari tugas CIA. Mereka biasa rapat membahas kebohongan apa yang akan disajikan ke warga AS, Kongres, dan Presiden. Sebanyak 600 jurnalis AS berhasil dimanipulasi, sehingga tak sadar menjadi agen propaganda CIA.

"Propaganda yang paling berhasil adalah ketika mereka berhasil masuk ke New York Times dan Washington Post dengan cerita soal pembantaian suku Indian Miskito oleh pendukung Sandinista. Padahal pembantaian itu tak pernah terjadi,” ujarnya kepada Burton Michigan Voice.

Sebelum mengundurkan diri, John menerima tawaran untuk masuk di Dewan Keamanan Nasional (National Security Council/NSA), menjadi Kepala Satgas Angola.

"Saya menerima tugas itu murni dan sesederhana biar saya berkesempatan melihat dari dalam, apa yang sebenarnya menjadi akar dari semua horor ini.”

Dia pun mendapatkan akses ke semua dokumen, rekaman pembicaraan dan semua hal yang terkait dengan aksi senyap CIA. Dari situ, dia tahu bahwa aksi CIA memicu korban tewas di Asia Tenggara hingga 5 juta orang di era 1965.

Indonesia termasuk di antaranya, dengan persekusi kader Partai Komunis Indonesia (PKI).

CIA Mulai Berbenah

Dua tahun setelah bukunya dirilis, barulah seruan John ditindaklanjuti. Pada tahun 1980, UU Pengawasan Intelijen dirilis di AS. Meski tebalnya kurang dari 3 halaman, tapi lumayan untuk meningkatkan akuntabilitas dengan ketentuan bahwa:

setiap operasi rahasia yang penting (bukan hanya tindakan rahasia), harus melalui persetujuan Kongres.

John terus aktif menyerukan pentingnya reformasi dan transparansi di tubuh CIA.

Terakhir dia menuangkan pemikirannya di buku ketiga, berjudul The Praetorian Guard: The US Role in the New World Order (1991). Buku ini menjadi acuan dalam pembahasan soal penyalahgunaan intelijen untuk tujuan politik yang tak sesuai dengan kepentingan publik.

Kabarnya John tak mendapatkan royalti sepeser pun dari buku yang diterbitkan sebagai imbas dari gugatan CIA. Namun bagi dia, yang terpenting adalah panggilan nuraninya telah dia ikuti. Jiwanya bebas. (ags)