Keanekaragaman Hayati Harga Mati

Siapkah kita menghadapi pandemi baru karena keanekaragaman hayati hilang demi ekonomi pembangunan, kesejahteraan, dan rasa iba?

By
in Social Podium on
Keanekaragaman Hayati Harga Mati
Badak bercula satu di taman nasional Ujung Kulon (Sumber: https://ksdae.menlhk.go.id/)

Manusia modern dengan karakteristik rasionalitas egosentriknya dalam mengeksploitasi alam bukanlah sesuatu yang baru teridentifikasi pada era modern.

Karya puisi epos Yunani sudah menggambarkan karakter ini dalam lakon Odyssey yang dikarang oleh Homer, pujangga Yunani yang hidup 800 tahun sebelum Yesus Kristus atau Isa Almasih turun ke muka bumi.

Puisi wiracarita ini menggambarkan perjalanan Odysseus, raja Ithaca, sepulang perang Troya. Dalam 10 tahun perjalanan itu, mahluk selain manusia digambarkan sebagai entitas liyan yang sah-sah saja dijahati, dan dieksploitasi.

Dikisahkan, dia bertemu dengan berbagai mahluk aneh, seperti raksasa bermata satu (cyclop) dan raksasa kanibal Laestrygonian. Odysseus digambarkan mencuri makanan cyclop dan dianggap sah-sah saja. Bahkan cenderung dianggap heroik.

Para raksasa, dalam karya itu, merepresentasikan mahluk di alam liar yang keberadaannya bersifat komplementer di mata manusia. Mereka bisa dimusnahkan kapanpun, dengan cara apapun, demi kepentingan Odysseus merangkai kisah “kepahlawanannya” di dunia.

Odysseus modern kini menjelma menjadi “sang pemilik alam.” Tidak lagi sekadar “khalifah yang menjaga alam sebagai titipan Tuhan” sebagaimana doktrin Islam, atau “pemelihara alam” seperti pesan ajaran Kristen, atau “bagian dari alam” sebagaimana doktrin Hindu melalui Tri Hita Karana.

Modernisasi yang diidentifikasi dengan kemajuan teknologi berujung pada eksploitasi alam, baik sebagai materi maupun ruang. Semuanya boleh diambil dan digunakan demi mendukung kisah tentang peningkatan kesejahteraan manusia.

Odysseus-Odysseus modern kini menjelma dalam bentuk penambang, pengusaha perkebunan, pengembang properti, dll. Binatang liar seperti gajah, harimau, rusa, adalah para cyclop yang rumah, makanan dan minuman mereka sah-sah saja dijarah tanpa ganti rugi.

Para mahluk hidup liyan tersebut tergusur, dan bahkan hilang dari muka bumi. Data International Union for Conservation on Nature (IUCN) per 2021 menyebutkan ada 221 spesies hewan yang sangat terancam punah (critically endangered) di Indonesia.

Untuk mengatasi itu, berbagai pemerintah di dunia membuat peraturan untuk mendorong konservasi keanekaragaman hayati. Di Indonesia, kita mengenalnya sebagai Undang-Undang (UU) tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Namun, intervensi politik kasus I Nyoman Sukena, yang dijerat pasal pidana karena memelihara Landak Jawa, membuat posisi UU tersebut berubah. Bukan sebagai instrumen pencegah kerusakan alam, melainkan pemanis bibir untuk mengurangi rasa bersalah Odysseus modern.

Bunuh Diri Pelan-Pelan

Merusak keseimbangan alam yang diciptakan oleh Sang Maha Adil pasti akan berimbas ke kita. Meski fauna tersebut ada di hutan, atau jauh dari kamar kita di perumahan yang nyaman, ada efek domino yang akan kita rasakan ketika keanekaragaman hayati hilang.

Contoh paling sederhana adalah membludaknya hama ketika predator alaminya kita musnahkan. Dampaknya, panen terganggu, penggunaan pestisida (untuk mengganti predator alami mereka) justru memicu resin kimia yang berbahaya ketika masuk ke tubuh, memicu kanker.

Hukum keadilan pasti berjalan. Pada skala yang lebih mikro, kerusakan keseimbangan ekosistem bisa memicu merebaknya bakteri merugikan, percepatan mutasi virus, yang memicu wabah dan pandemi.

Ini yang mulai terungkap dari beberapa jurnal penelitian, salah satunya berjudul “The Effect of Ecosystem Biodiversity on Virus Genetic Diversity Depends on Virus Species: a Study of Chiltepin-Infecting Begomoviruses in Mexico” (2015).

Dalam penelitian tersebut, Manuel dan dua rekannya membandingkan tingkat keterjangkitan dan pertumbuhan virus PHYVV dan PepGMV di tanaman cabai jenis Chiltepin alam liar dan di tanaman Chiltepin yang dibudidayakan di kebun.

“Kerja kelompok kami menunjukkan bahwa kenaikan antropisasi [alih fungsi ruang alam oleh manusia] untuk populasi tanaman Chiltepin terkait dengan keanekaragaman hayati yang lebih rendah dan naiknya kepadatan populasi tanaman,” tutur Manuel Rodelo-Urrego.

Diketahui, sebanyak 80% tanaman Chiltepin di kebun terinfeksi PHYVV dan PepGMV, sementara di hutan liar hanya mencatat tingkat keterjangkitan 56-62%. Hal ini juga berlaku untuk hewan, di mana diversifikasi virus di tubuh hewan yang hidup di peternakan lebih cepat terjadi ketimbang di hutan.

Riset Manuel makin mengonfirmasi berbagai temuan ilmiah sebelumnya yang menyebutkan bahwa pengurangan risiko penyakit dicapai dengan dua mekanisme. Pertama, mengurangi prevalensi dan transmisi parasit; dan kedua, mengurangi diversifikasi gen parasit.

Belajar dari Covid-19

Tentunya belum hilang dari ingatan kita ketika dilarang bepergian karena pandemi Covid-19. Sebanyak 709 juta kasus pasien yang terjangkit virus ini terdokumentasi di seluruh dunia. Tingkat kematian (fatality rate) mencapai 10%, dalam arti 7 juta kasus tersebut berujung pada kematian.

Bayangkan, satu pulau Singapura tiba-tiba kosong. Sebesar itulah makna ‘kematian 7 juta orang’ akibat pandemi Covid-19.

Yang bertahan hidup pun tidak sepenuhnya bebas dari dampaknya. Sampai sekarang, perekonomian masyarakat dan dunia masih belum sepenuhnya pulih.

Gallup World Poll, sebagaimana dikutip Nature, mengacu pada hasil jajak pendapat tahun 2021, membuat estimasi bahwa nyaris separuh dari penduduk usia dewasa di seluruh dunia mengalami penurunan pendapatan, akibat kebijakan karantina dan pembatasan sosial.

Di atas kertas, nilai perekonomian dunia terenggut hingga 10,35%, sebagaimana dipaparkan dalam riset berjudul “The Global Economic Burden of COVID-19 Disease: a Comprehensive Systematic Review and Meta-Analysis (2024).

Angkanya setara dengan Rp 153.726 triliun, atau 7 kali lipat dari nilai perekonomian negara kita. Saat ini saja, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tercatat Rp 20.892,4 triliun.

Jadi, siapkah kita menghadapi pandemi selanjutnya karena keseimbangan hayati sudah kita musnahkan atas nama pembangunan, kesejahteraan, dan rasa kasihan terhadap para pemelihara hewan langka? (ags)

\