Jakarta, TheStanceID - Tunde Baiyewu tampil di panggung BNI Java Jazz Festival 2025 pada Sabtu malam (31/5/2025). Penonton terbuai oleh suara beludrunya: hangat, mengena tetapi lembut. Ada kisah kehilangan di baliknya.
Malam itu, dia membawakan tak kurang 10 lagu, diawali dengan hits 'Lifted.' Lalu, beberapa tembang lain mengalir seperti 'Diamond in a Rock', 'Postcard from Heaven', dan 'I Saw the Light.'
Yang paling istimewa, dia membawakan lagu terbaru berjudul 'Rain Touring', yang pertama kali dinyanyikan di hadapan publik.
Sebelum membawakan lagu 'Awake', Tunde membagikan pandangannya tentang apa itu rasa syukur. Penyanyi yang lahir pada 1968 di London tersebut menceritakan situasi tentang masa pandemi Covid-19 yang mengubah banyak hidup orang,
"Ketika Covid melanda, dunia berubah. Banyak hal yang berakhir dan tak pernah kembali. Beberapa jiwa hilang dan tak pernah kembali lagi," tuturnya.
Untuk itu, dia mengajak penonton menemukan rasa syukur dalam hidup. Menurutnya, “keberkahan tumbuh dari hati yang bersyukur.”
Itulah yang selalu ia lakukan setiap kali bangun pagi. "Saya hanya mengucapkan terima kasih," ujarnya, disambut intro 'Awake.'
Khalayak penikmat musik Indonesia mungkin tidak mengenal sosok Tunde, dan lebih mengenal lagu-lagu yang dia bawakan atau mengenal band yang digawanginya yakni Lighthouse Family.
Melembutkan Jagad Musik yang Keras
Kala itu, pada tahun 1995, di antara hiruk-pikuk industri musik yang berlomba menjadi keras, cepat, dan penuh ego, suara Tunde Baiyewu muncul menenangkan. Lirik yang dia bawakan identik dengan lagu rohani, tetapi relevan untuk semua umat.
Bersama Paul Tucker, Tunde mulai dikenal dengan band bernama Lighthouse Family. Lagu-lagu seperti 'High' atau 'Lifted' tak bikin kita berjingkrak, tapi justru membuat kita ingin beristirahat sejenak, mengikuti buaian perasaan dan memori bawah sadar.
Lahir dari pasangan Nigeria yang merantau di Inggris, hidup Tunde kecil tidaklah selembut suaranya. Ayahnya, seorang insinyur, meninggal karena kanker ketika dia berusia 4 tahun. Usia sang ayah kala itu baru 42 tahun.
Tidak banyak jejak yang ditinggalkan mendiang sang ayah untuk dikenang Tunde kecil, kecuali sebuah pukulan payung. Tak ada pelajaran yang dia dapat dari insiden itu selain perasaan disalahkan. Entah karena apa. Pukulan bukanlah pelajaran yang baik.
Jejak kedua yang dia ingat dari sang ayah--dan kali ini diberikan bahkan tanpa perwujudan fisik--adalah duka mendalam, ketika sang ayah meninggal dunia dan menorehkan luka dalam bagi ibunya.
"Saya masih ingat dengan jelas saat pulang ke rumah suatu sore dengan sepeda, dan mendapati ibu saya di meja dapur, membaca sebuah surat dan menangis histeris, sama sekali tidak bisa ditenangkan," tuturnya kepada Guardian.
Sang ibu menolak memberi tahu apa yang menjadi penyebab kesedihan itu. "Baru kemudian saya menyimpulkan bahwa itu pasti berita dari rumah yang mengatakan bahwa perjuangan ayah saya melawan kanker telah gagal," ujar Tunde.
Masa Kecil di Nigeria
Kematian sang ayah memaksa Tunde dan ibunya kembali ke Nigeria. Ia harus belajar bahasa baru, Yoruba, dan frustrasi dengan sistem pendidikan di negara asal-usulnya. Ia menjadi anak yang pemurung dan suka melamun, lalu makin liar.
Ia akhirnya dikeluarkan dari sekolah dan dikirim ke sekolah asrama berjarak 5 jam perjalanan dari Lagos, di mana ia harus belajar dengan lampu minyak, tanpa listrik atau air bersih yang memadai.
Setiap musim panas, mereka pulang ke rumah di Willesden, Inggris, yang masih dipertahankan ibunya. Tapi kembali ke Afrika selalu terasa berat bagi Tunde.
Tiga tahun kemudian, ibunya menikah lagi. Kali ini dengan pria yang dikenal sebagai "orang besar"—Olusegun Obasanjo, yang saat itu adalah jenderal Nigeria.
Sang ayah angkat ini kelak menjadi Presiden Nigeria. Tunde, yang sudah terbiasa hidup hanya dengan sosok ibu, sempat menjaga jarak dengan ayah tirinya.
Tunde lalu menetap di Inggris dan kuliah akuntansi pada akhir 1980-an. Mimpi awal Tunde memang bukan menjadi penyanyi. Ia belajar ekonomi dan bercita-cita menjadi akuntan.
Tapi hidup selalu penuh kejutan. Di kampus, ia bertemu Paul—musisi asal Newcastle yang menjadi mitra musikalnya. Dari pertemuan ini, mereka mulai meramu musik.
Menjadi Suar Spiritualitas
Nama 'Lighthouse Family' dipilih karena band ini lahir di Newcastle, kota muara di Inggris yang memiliki mercusuar ikonik di sepanjang Sungai Tyne. Karenanya, mereka selalu diundang tampil di festival Mouth of The Tyne, sebelum bubar pada 2022.
Penuh metafora, lagu-lagu mereka terasa seperti mercusuar—kokoh tak bergeming, mencuri perhatian, memberi arah bagi siapa saja yang terombang-ambing dalam kabut.
Lighthouse Family menjelma menjadi suara yang hadir menemani ketika kita butuh ditenangkan—dalam perjalanan pulang, kesendirian, malam panjang karena sulit tidur, atau kesedihan yang tak bisa dijelaskan.
Musik Tunde memang lekat dengan nuansa spiritual. Banyak lagu Lighthouse Family terdengar seperti kidung atau lagu rohani gereja. 'Lifted,' misalnya, mirip seperti pujian di gereja. Kata 'lifted' sendiri bisa dimaknai sebagai kebangkitan usai penyaliban.
“We could be lifted, we could be lifted, we could be (lifted). You and I forever, we could be (lifted), we could be (lifted),” Lagu ini tak harus dimaknai dalam konteks Kenaikan Isa Al-Masih melainkan juga upaya anak manusia yang ingin melampaui kepahitan.
Tunde bukanlah pemeluk agama Kristen, tetapi dia meramu spiritualitas dalam lagu Lighthouse Family menjadi inklusif, bersama Paul Tucker yang merupakan seorang nasrani. Lagu itu sukses mereka besut dalam waktu sepekan.
"Saat itu kami berdua memiliki pandangan yang sangat spiritual terhadap hidup-–bukan dalam hal pergi ke gereja, karena saya sebenarnya bukan seorang Kristen. Tetapi dalam cara kami memandang berbagai hal. Dan saya pikir banyak hal itu tercermin dalam lagu-lagu kami, seperti 'Lifted.'"
Kematian di Tengah Puncak Karir
Pada tahun 2000, hidup Tunde Baiyewu jungkir balik. Sebagai anggota band yang memuncaki album terlaris selama 154 pekan di Inggris, ia bisa dibilang memiliki segalanya: karir yang cemerlang, uang, dan hubungan yang bahagia dengan kekasihnya.
Namun, di atas puncak itulah dia terbanting hingga jatuh ke titik terbawah dalam hidupnya. Sang ibu, bagian yang sangat besar dalam hidupnya, meninggal karena kanker pada April tahun itu. Tunde pun limbung.
“Aku sangat kehilangan arah. Aku ingat, untuk beberapa waktu setelah kepergiannya, aku sangat terpuruk dan merasa tak ada yang layak untuk dikerjakan,” ujar Tunde dalam wawancara dengan Birmingham Live.
Lirik penuh harapan dari lagu-lagu hits-nya seperti "Lifted" dan "High", terasa seperti klise di tengah situasi kebatinannya. Pelan-pelan ia menata kembali segala aspek yang menjadi prioritas dalam hidupnya—termasuk hubungannya dengan sang kekasih.
“Kami sudah bersama selama tiga tahun dan aku pikir dia akan jadi pasangan hidupku,” kata Tunde yang saat itu berusia 38 tahun. “Tapi setelah ibuku meninggal, aku menilai ulang apa yang paling aku hargai dalam hidup—dan kami pun berpisah."
Kematian ibunya juga menjadi pemicu vakumnya Lighthouse Family. Tunde tenggelam dalam frustrasi. Meski bekerja sama dengan Paul, proyek ini pada dasarnya lebih milik Paul. Tunde cuma penyanyi yang hanya dibutuhkan suara beludrunya.
“Begitulah keadaannya sejak awal,” jelas Tunde. “Aku rasa penting bagi setiap anggota band untuk bisa mengekspresikan diri sepenuhnya. Setelah ibuku meninggal, ada banyak hal yang ingin aku sampaikan.”
Namun karena terikat kontrak dengan Paul, Tunde harus membuat satu album lagi yakni Whatever Gets You through the Day yang akhirnya rilis pada 2001. Ia menyerahkan sebagian besar prosesnya kepada Paul dan datang hanya untuk merekam vokal.
Karena hatinya tak lagi di sana, hubungan profesional mereka retak—dan persahabatan mereka ikut hancur. “Aku tak diberi ruang untuk ikut andil. Semuanya sudah dibakukan, hampir seperti merek dagang."
Perjalanan Menuju Karir Solo
Tunde memutuskan bermusik kembali setelah seorang anak di mall mendatanginya ketika berbelanja, dan meminta tanda tangannya. Saat itu dia sedang berantakan sekali: berambut panjang, berjenggot. Tapi kok anak itu bisa mengenalinya?
"Jangan hentikan apa yang sedang kamu lakukan; itu sangat berarti bagi orang lain," kata ibu dari sang anak, seolah menjawab pertanyaan di benak Tunde.
Saat itulah dia merasa mendiang ibunya berkata kepada dirinya melalui wanita tersebut. "Dan saya berpikir: baiklah, saya akan mencoba bermusik lagi," katanya seperti dikutip The Times.
Tunde pun mulai menulis lagu, menggarap album solo, berusaha menyembuhkan luka kehilangannya. Album self-titled itu dirilis pada 2004. Di titik itu, musik bukan lagi tentang karir. Musik menjadi cara baginya untuk berbicara dengan jiwanya.
“Aku lebih memilih menciptakan sesuatu yang punya hati dan jiwa, daripada sekadar ikut roda industri demi menjual jutaan rekaman. Itu tak cukup bagiku,” tuturnya.
Album solo-nya memang tidak sesukses Lighthouse Family. Namun Tunde bersikap bijak terhadap kegagalan albumnya: “Bagiku, yang terpenting adalah albumnya indah dan jujur secara emosional,” ujar Tunde.
Selepas penampilan singkat di Comic Relief's Strictly African Dancing tahun 2005, Tunde nyaris lenyap dari sorotan dunia hiburan. Ia kembali ke Nigeria, tanah asal keluarganya.
Baca Juga: Kunci Kesuksesan Coldplay: Menjaga Impian Tetap Menyala
Dalam wawancara-wawancaranya yang terbaru, Tunde mengaku bahwa ia telah menilai ulang apa yang paling penting dalam hidup. Kini, ia memilih menjalani hari dengan lebih lambat. Lebih hadir bersama keluarga. Lebih banyak mendengar.
Tidak lagi mengejar penonton, tapi membiarkan musiknya menemukan siapa saja yang benar-benar butuh. "Aku sebenarnya bukan tipe pemberontak. Aku lebih condong ke hal-hal spiritual," tuturnya kepada Guardian.
Kini, dua dekade kemudian, Tunde kembali naik di atas panggung Indonesia. Di Java Jazz Festival 2025, ia tampil sederhana. Tidak ada gimmick. Hanya suara beludru itu, dan lagu-lagu yang terasa seperti pelukan hangat.
"Lemon dan jahe. No alcohol!" kata Tunde ketika jeda menyeruput minuman di atas panggung.
Malam itu, Tunde menemukan bahwa khalayak menyambutnya. Lincah tanpa harus menjerit, tidak menuntut, tidak mendramatisasi.
Ia hanya menyanyi dengan lembut dengan suara beludrunya. Darinya publik menemukan ketenangan, dan kekuatan Tunde dalam menjalani hidup bersama luka kehilangan yang sulit untuk dipulihkan. (mfp)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.