TheStanceID – Chris Martin, vokalis Coldplay adalah sosok canggung di kala remaja. Tak percaya diri dalam urusan lawan jenis, dia tak berhenti menaruh kepercayaan diri kepada kemampuan dan bakat musiknya.

Pada 28 Juli 2000, pria yang bernama asli Christopher Anthony John Martin tersebut terhenyak ketika membaca tulisan Alan McGee.

“Daftar teratas Mercury adalah Coldplay: musik buat anak tukang ngompol. Mereka adalah Jeff Buckley versi ringan, band yang Anda sukai jika Anda seorang pelajar. Inilah yang membuat saya frustrasi tentang kancah musik saat ini,” tulis Alan di The Guardian.

Bagi pemerhati budaya pop di Inggris, Alan adalah semacam Versace-nya industri musik Inggris era milenium. Dia adalah pria di balik rumah rekaman Creation, yang mengentaskan band-band serius papan atas, seperti Oasis.

Saat itu, album pertama Coldplay yakni Parachute sedang naik daun di Inggris, tapi belum mendunia. Bahkan ketika Coldplay tampil secara live di Paredes de Coura, Portugal, pada 2000, audien belum mengenal mereka.

“Apakah kalian berbahasa Inggris?... Di Inggris, ini adalah lagu yang cukup terkenal,..” kata Chris berupaya memecah kebuntuan penonton.

Maka, hinaan yang keluar dari Alan menjadi terasa sangat dalem bagi band indie seperti Coldplay. Pembetot bas Coldplay, Guy Berryman, sampai-sampai membuat catatan khusus mengenai itu, dan menyimpannya.

Trauma Korban Bully

Bagi Chris Martin secara personal, hinaan itu seperti mengundang monster trauma di masa lalunya, ketika dia jadi bahan tertawaan dan hinaan di sekolah.

Padahal, di tahun 2000 dia sedang semangat-semangatnya merintis karir di industri musik.

Ketika Coldplay mulai serius berkarya pada tahun 1998, sebuah video klip merekam Chris yang berkawat gigi berkata penuh percaya diri bahwa band yang dia bangun bersama kawan-kawan kuliahnya itu akan naik daun pada tahun 2002.

Sejak remaja, Chris di-bully karena cara berjalannya yang aneh, dan pola pikirnya yang kolot. Dia bahkan diledek gay gara-gara tak punya pacar—karena memegang teguh prinsip agama untuk tak berzina dan juga karena sifat canggungnya.

Didikan keluarga dalam tradisi Kristen yang taat, membuat Chris berani untuk percaya pada sikap dan pilihannya. Dia tak membiarkan perundungan itu mendefinisikan apa dan siapa dirinya. Apalagi mengubah jati dirinya.

Belakangan, secara khusus Chris menuangkan kisah dan perjuangan melawan perundungan itu dalam lagu berjudul Champion of the World (2019).

Didikan keluarganya yang lekat dengan moral agama membantu Chris tetap bersemangat dan fokus mencurahkan daya ciptanya untuk menulis lagu sepanjang 2000 hingga 2002 meski Alan menghinanya.

Kemampuannya untuk tetap tegar berkarya berbuah album kedua yakni A Rush Blood to the Head, yang pada 2003 membawanya meraih Grammy pertama.

Di ajang yang sama serta tahun yang sama, Coldplay meraih Grammy kedua untuk album Parachute. Menyaksikan itu, Alan hanya bisa “ngompol di pojokan.”

Menjaga Energi Positif

Lagu-lagu Coldpay dikenal sebagai lagu dengan lirik universal, yang nyambung alias relate dengan semua anak milenial, dan menyebarkan energi positif.

Chris mencurahkan semua uneg-uneg terkait perundungan, ketakutan akan masa depan, patah hati, hingga ‘penolakan perempuan’, menjadi lirik yang melankolis tapi penuh energi positif.

Puncaknya, ketika rumah tangga Chris Bersama artis Gwyneth Paltrow di ambang perceraian, Chris menelorkan album Ghost Stories (2016). Lineup lagunya-lagu bertema perpisahan, kesedihan, kerinduan, dan harapan yang melunglai.

Hal ini dia akui dalam sebuah wawancara dengan Daily Express.

Namun hebatnya, semua lirik penuh kesedihan itu diramu dalam aransemen yang rancak penuh energi positif dan optimisme: untuk terus menjalani kehidupan, merayakan yang tersisa, menyiapkan diri untuk tetap positif menyambut hari esok.

“Salah satu alasan kenapa saya memiliki positivitas adalah karena saya memiliki banyak pikiran negatif dan stres. Tapi saya bekerja sangat keras untuk mencari orang dan perangkat yang bisa membantu saya memproses itu semua,” tutur Chris dalam wawancara dengan Radio Iheart.

Perangkat yang dimaksud salah satunya adalah panduan agama. Sejak kecil Chris percaya akan Tuhan dan anugerahnya. Inilah yang membuatnya yakin bahwa semua hal di dunia ini terjadi dengan alasan, bukan karena kebetulan layaknya perputaran dadu.

Sikap ini membantunya menghadapi situasi negatif dengan tetap percaya diri akan dirinya dan masa depannya, sehingga dia bisa mengolahnya menjadi lagu yang penuh energi positif.

Makan Cornflake Sisa

Lahir pada 2 Maret 1977 di Exeter, Devon, Inggris, Chris merupakan anak sulung dari empat bersaudara, yang menanggung semua negativitas anak dalam keluarga yang besar.

Mencari jati diri dan menghadapi perundungan, Chris harus menjaga dan sekaligus menjadi suri tauladan bagi adik-adiknya, serta membantu orang tuanya mencari uang.

Dia pernah bekerja di bagian cleaning service apartemen dan makan cornflake sisa untuk makan malam ketika masih berkuliah, seperti diakuinya dalam sebuah wawancara.

Dibesarkan seorang akuntan partikelir bernama Chris Anthony, bakat musik Chris Martin mengalir dari ibunya Alison, seorang kulit putih yang lahir, besar dan mengajar musik di Zimbabwe (bekas koloni Inggris).

Di Inggris, Chris Martin bergabung di paduan suara di mana kecintaannya pada musik berkembang, dan kemudian belajar di Sherborne School di mana dia seasrama dengan Phil Harvey—yang kemudian menjadi manajer Coldplay.

Phil adalah sosok yang percaya dengan impian dan optimisme Chris, bahkan ketika dunia masih mengabaikannya. Dengan uang tabungan pribadinya, dia mendanai proses rekaman album sampel Coldplay pada tahun 1998.

Saat itu dia rugi bandar. Album sampel Coldplay hanya terjual 50 biji, sehingga sisanya dibagikan kepada keluarga dan teman.

Ketika akhirnya menandatangani kontrak dengan Parlophone pada tahun 2000, album debut mereka yakni Parachute segera mendapat sambutan dengan single 'Yellow’ dan 'Don’t Panic.'

Keduanya berisikan pesan-pesan mengenai cinta, yang dibalut dengan parabel tentang kehidupan yang indah dan penuh optimisme. Tidak ada lirik-lirik serius penuh misteri layaknya labirin, ala Radiohead atau Travis, di konsep musik mereka.

Seorang Alltheist

Meski demikian, Chris ingin memastikan bahwa pesan dalam lagunya bersifat universal. Dia menyebut dirinya sebagai alltheis, orang yang memeluk ajaran moral di semua agama karena meyakini kuasa dan kebesaran Tuhan ada di semua orang.

Sampai sekarang, Coldplay bikin peraturan bahwa siapapun anggota band mereka yang menggunakan narkoba akan otomatis dikeluarkan, mengikuti contoh band favorit Chris yakni R.E.M. dan U2.

Kepercayaan akan anugerah Tuhan membuat Chris bertahan, hingga pada 4 Oktober 2024 Coldplay menerbitkan album ke-10, Moon Music. Hal ini membawa Coldplay makin mendekati rekor Beatles yang telah merilis 12 album sepanjang karir mereka.

Bagi Chris Martin, badai cobaan dan hinaan yang menderu di kehidupannya tak cukup untuk mematikan nyala kepercayaan dirinya terhadap impiannya: bermain musik dan menampilkan keindahan warna-warni dunia. (ags)