Harun Al-Rasyid Lubis

Oleh Harun Al-Rasyid Lubis. Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL) Institut Teknologi Bandung (ITB), alumni KRA 37 Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), kini menjadi Ketua Rukun Warga (RW) 16 Kelurahan Sekeloa, Bandung, dan aktif di Infrastructure Partnership & Knowledge Center (IPKC).

Reformasi 1998 menjadi titik balik fundamental bagi tata kelola sektor keamanan Indonesia. Pasca-keruntuhan rezim Orde Baru, agenda demiliterisasi ditempatkan sebagai prasyarat konsolidasi demokrasi.

Namun, lebih dari dua dekade kemudian, pendulum antara militerisme dan demiliterisasi masih bergerak dinamis, tidak hanya melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) tetapi juga Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Pemahaman yang komprehensif diperlukan untuk mencermati tantangan ganda ini: menarik TNI dari ruang sipil sekaligus membangun akuntabilitas Polri yang efektif.

Pasca-reformasi, TNI mengalami transformasi struktural yang dramatis. Dwi fungsi ABRI yang menjadi pilar kekuasaan Orde Baru secara resmi dibubarkan. Langkah-langkah reformasi monumental diambil:

  1. Pemisahan Polri dari ABRI (2000): Pemisahan ini memfungsikan ulang TNI murni pada peran pertahanan (national defence) dan Polri pada peran keamanan dalam negeri (internal security)

  2. Pencabutan Fraksi TNI/Polri di DPR (2004): Langkah ini mengakhiri representasi formal militer di lembaga legislatif, memutus akses langsung mereka dalam proses politik formal

  3. Reformasi Bisnis Militer: Meskipun berjalan lambat dan belum tuntas, upaya untuk melepaskan TNI dari bisnisnya yang legal maupun ilegal telah dimulai melalui pembentukan Badan Usaha Milik TNI (BUMTNI).

Namun, reformasi TNI menghadapi jalan yang berliku. Warisan budaya dan jaringan ekonomi-politik dari era Orde Baru terbukti sangat resisten.

Keterlibatan TNI dalam urusan sipil sering kali muncul kembali, seringkali atas undangan elit politik sipil sendiri yang memanfaatkan popularitas dan struktur komando TNI untuk kepentingan elektoral atau stabilitas politik jangka pendek.

Penggunaan TNI dalam tugas-tugas seperti pengamanan pemilu atau bahkan dalam proyek-proyek pembangunan menunjukkan betapa mudahnya garis antara peran militer dan sipil menjadi kabur.

Polri: Dilema Dwifungsi dalam Wujud Baru

Sementara sorotan utama tertuju pada TNI, Polri justru berkembang menjadi institusi dengan otoritas luas yang menghadapi masalah akuntabilitasnya sendiri.

Pemisahan dari TNI membebaskan Polri untuk membangun identitas profesionalnya, tetapi juga memberikannya otonomi yang sangat besar di bawah kendali langsung Presiden.

Status inilah yang melahirkan debat intensif: apakah Polri harus tetap di bawah presiden atau dialihkan di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)?

Argumen agar Polri dibawahi Kemendagri berpusat pada pertimbangan terkait koordinasi dan akuntabilitas. Keamanan dan ketertiban (kamtibmas) adalah urusan pemerintahan dalam negeri.

Penempatan Polri di bawah Kemendagri akan menyelaraskan kebijakan dari tingkat nasional hingga daerah, memastikan Kapolda dan Gubernur/Bupati bekerja dalam satu komando yang kohesif.

Secara struktural, Menteri Dalam Negeri bertanggung jawab kepada presiden dan dapat dimintai pertanggungjawaban oleh DPR, menciptakan rantai komando yang lebih jelas.

Yang tak kalah penting, model ini diharapkan dapat meminimalkan politisasi langsung oleh Istana terhadap institusi kepolisian.

Sebaliknya, penentang usulan ini mengedepankan kekhawatiran akan politisasi di tingkat lokal. Jika berada di bawah Kemendagri, Polri dikhawatirkan akan menjadi alat politik kepala daerah.

Seorang Gubernur atau Bupati yang korup berpotensi memanfaatkan Kapolda untuk membungkus kasus korupsi, memenangkan pilkada, atau menekan oposisi.

Kekhawatiran lainnya adalah potensi fragmentasi komando nasional Polri dan trauma sejarah terhadap model integrasi di bawah ABRI.

Melampaui Debat Struktural: Reformasi Kultur & Pengawasan

Perdebatan struktural Polri vs. Kemendagri, meski penting, seringkali mengaburkan masalah yang lebih mendasar: kultur institusi Polri yang masih militeristik dan lemahnya pengawasan eksternal.

Meski telah terpisah dari TNI, Polri masih mempertahankan budaya, simbol, dan hierarki yang sangat militer. Nilai-nilai ini tercermin dalam cara menangani unjuk rasa, operasi pengamanan, dan hubungan internal yang kaku.

Proses rekruitmen dan pendidikan terus mereproduksi kultur ini, menghambat transisi menuju model community policing yang lebih sipil dan melayani.

Yang lebih krusial, mekanisme pengawasan eksternal terhadap Polri masih sangat lemah. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) tidak memiliki kewenangan investigatif atau yudikatif yang memadai.

Sementara pengawasan oleh Komisi III DPR sering kali bersifat politis dan reaktif, lebih banyak bereaksi pada skandal daripada mencegahnya.

Tanpa pengawasan independen yang kuat, perubahan struktur ke Kemendagri hanya akan memindahkan masalah dari satu politisi ke politisi lainnya tanpa menyentuh akar masalahnya.

Kritik dan Jalan ke Depan: Reformasi yang Terintegrasi

Tantangan tata kelola keamanan Indonesia adalah tantangan yang simetris antara TNI dan Polri.

Di satu sisi, TNI, yang secara formal telah direformasi dan ditarik dari politik, masih terus digoda untuk masuk kembali ke arena sipil, sering kali atas permintaan aktor-aktor sipil itu sendiri.

Di sisi lain, Polri, yang secara formal berada di bawah kontrol sipil (Presiden), justru beroperasi dengan otonomi besar dan minim checks and balances yang efektif.

Oleh karena itu, agenda ke depan harus bersifat integratif:

  • Untuk TNI: Konsistensi dalam menjalankan reformasi yang sudah dimandatkan secara hukum, terutama percepatan penyelesaian bisnis militer dan penguatan peran Kementerian Pertahanan dalam pengawasan anggaran dan perencanaan strategis.

  • Untuk Polri: Fokus harus pada pembenahan kultur dan penguatan pengawasan sebelum sekadar memindahkan struktur. Memperkuat Kompolnas dengan kewenangan investigatif dan yudikatif adalah langkah yang lebih mendesak. Netralitas politik absolut harus dijunjung tinggi.

  • Untuk kedua institusi: Transparansi anggaran dan proses promosi jabatan adalah kunci untuk mencegah korupsi dan politik praktis. Pendidikan kebangsaan dan hak asasi manusia harus menjadi kurikulum inti untuk mengubah mindset dari "penguasa" menjadi "pelayan publik".

Kesimpulannya, pendulum militerisme dan demiliterisasi di Indonesia tidak hanya berayun pada poros TNI, tetapi juga pada Polri.

Baca Juga: Komnas HAM: Kekerasan Aparat Jadi Penyebab Utama Tewasnya Peserta Demo

Konsolidasi demokrasi Indonesia tidak akan pernah lengkap tanpa menata ulang hubungan sipil-militer dalam arti yang luas, yang mencakup kontrol sipil yang efektif, transparan, dan accountable atas kedua institusi bersenjata negara tersebut.

Perdebatan struktural Polri penting, tetapi ia harus dilihat sebagai bagian dari perjuangan yang lebih besar untuk menciptakan sektor keamanan yang profesional, tunduk pada hukum, dan benar-benar melayani rakyat.***

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.