Orang yang Baik atau Sistem yang Baik?
Kepemimpinan tidak berposisi di atas sistem, karena kepemimpinan politik adalah bagian dari sistem politik yang berlaku.

Oleh Zainal Arifin Ryha, pemerhati sosial, mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Makassar, kini aktif sebagai fungsionaris Korps Alumni HMI (KAHMI).
Catatan singkat ini tidak dimaksudkan sebagai sanggahan vis a vis dengan opini TF Pasiak bertitel: "Fachidiot; Orang Pintar Tiada Empati."
Sebagai awam, saya sekadar menyampaikan perspektif berbeda sekaligus mencegah mispersepsi yang mungkin timbul bila dikaitkan dengan diskusi kecil-kecilan soal teori sistem beberapa hari lalu.
Satu hipotesis yang ingin ditekankan di sini, kepemimpinan politik yang baik hanya mungkin lahir dari sistem rekrutmen kepemimpinan politik yang juga baik.
Dalam sebuah diskusi, cendekiawan Cak Nur (Nurcholis Majid) ditanya mana yang lebih penting orang baik atau sistem yang baik? Cak Nur menjawab, "Keduanya penting, tapi kalau harus memilih, saya memilih sistem yang baik, karena sistem itu lebih awet ketimbang orang."
Di kesempatan berbeda, Yusril Ihza Mahendra memberi contoh faktual kenapa ia lebih mengarusutamakan sistem ketimbang orang.
Kata Yusril, di Singapura yang sistemnya tertata baik, orang Indonesia yang masuk ke Singapura tidak berani membuang sampah sembarangan, karena perilakunya dibatasi oleh sistem yang berlaku.
Sebaliknya orang Singapura yang berlibur ke Batam, jadi ikut-ikutan buang sampah sembarangan seperti kebiasaan warga setempat.
Perdebatan Klasik
Diskusi yang sedikit polemikal terjadi di whatsap group (WAG) Kahmi Fakultas Hukum (FH) Universitas Hasanuddin (Unhas) yang beranggotakan para dosen dan guru besar, advokat, jaksa, hakim, dll.
Mereka menyoal efektivitas sistem pemberantasan korupsi di tanah air dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai "leading sector" yang sudah berjalan lebih satu dasa warsa, menyusul terjadinya Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah (NA) beberapa tahun lalu.
Diskusi yang cukup panjang itu akhirnya bermuara pada perdebatan klasik, soal mana yang lebih utama, orang yang baik atau sistem yang baik.
Seorang kawan pengusaha dan mantan Ketua Senat Mahasiswa (sekarang Badan Eksekutif Mahasiswa/BEM) yang stay di Surabaya menulis:
"Saya cukup dekat dengan NA dan ikut membantu membesarkan usahanya. Selama ini saya mengenal NA sebagai sosok berintegritas, taat ibadah dan berjiwa sosial. Saya mulai jarang berinteraksi sejak beliau terjun ke politik dan jadi Bupati, sampai kemudian saya baca berita penangkapannya oleh KPK. Ini kenyataan yg sungguh-sungguh pahit bagi saya."
Cukup lama saya hanya membaca saling-silang yang terjadi sampai seorang Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) menulis: "Kak Enal mungkin bisa berinfak untuk pencerahan bagi kita semua?"
Merespon permintaan tersebut, saya kutipkan testimoni seorang kawan, mantan bupati dua periode yang baru saja gagal dalam kontestasi Pilgub, karena tidak cukup modal, seperti diakuinya dalam percakapan di WAG berbeda.
Perubahan Integritas
Menurut sang mantan bupati, jika hanya bermodalkan dua periode sebagai bupati, dengan "memainkan" tender belanja barang dan jasa, hasilnya tidak akan cukup untuk membiayai pencalonan menjadi Gubernur.
Agar bisa terpilih, para calon harus mengajak investor dalam pembiayaan yang nantinya akan dikompensasi dengan proyek-proyek dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) atau dalam bentuk komersialisasi jabatan lainnya jika terpilih.
Bagi kawan ini, maraknya OTT KPK yang menimpa para kepala daerah merupakan konsekuensi logis dari mahalnya biaya politik dalam rekrutmen kepemimpinan politik saat ini.
Maka tidak heran jika seorang NA yg dikenal sebagai sosok religius dan berintegritas, serta anti korupsi sehingga memperoleh penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA), akhirnya harus "rela" melakukan "ritual" yang sama dengan para kepala daerah lainnya hingga terjaring OTT.
Saya tegaskan juga bahwa saya tidak menolak pendekatan-pendekatan individual yang tersaji dalam polemik itu. Saya percaya faktor integritas pribadi itu penting. Tapi kita tidak sedang bicara tentang pribadi orang perorang, melainkan kehidupan sosial yang berstruktur.
Bagaimana harus mengukur kadar integritas seseorang? Siapa yang bisa menjamin seseorang akan tetap teguh pada "keimanannya" ketika godaan materi datang bertubi-tubi?
Faktor keimanan yang personal menjadi penting. Tetapi melembagakan nilai² keimanan itu secara terstruktur dalam mekanisme sistem agar senantiasa aktual dalam ranah kehidupan sosial, menjadi jauh lebih penting.
Pentingnya Sistem di Atas Persona
Dari berbagai riset oleh lembaga-lembaga anti korupsi dalam dan luar negeri, ditemukan fakta bahwa tingkat korupsi tertinggi justru terjadi di negara-negara muslim yang lebih menekankan faktor kadar ketakwaan dalam rekrutmen kepemimpinannya.
Sebaliknya, negara-negara Eropa dan sebagian Asia yang tidak familiar dengan idiom keagamaan, justru berhasil menekan laju korupsinya dengan menerapkan sistem pengawasan yang mengimplementasikan prinsip good governance secara sistemik.
Saya kira tidak ada yang bisa memungkiri bahwa etos kepemimpinan yang bijak, berempati, dan peka sosial akan berpengaruh positif bagi kerja sistem yang lebih baik. Pertanyaannya adalah harus dimulai dari mana?
Bisakah kita berharap karakter kepemimpinan politik yang bijak, berempati, dan lebih mementingkan kepentingan rakyat ketimbang pribadi atau kelompok, akan lahir dari sistem rekrutmen politik yang hyperliberal dan sarat money politics saat ini?
Pandangan yang memposisikan kepemimpinan politik berada di atas sistem politik adalah bentuk kealpaan sebagian intelektual bangsa saat ini. Karena sejatinya kepemimpinan politik adalah bagian (infrastruktur) dari sistem politik yang berlaku.
Dalam etos sistem kapitalisme, kepemimpinan politiknya adalah kepemimpinan yang juga kapitalistik.
Baca juga: Pemerkosaan di Ruang Medis: Remedi Gap Pengawasan & Trauma Korban
Pernyataan dalam diskusi beberapa hari lalu bahwa sistem tidak penting, karena yang terpenting adalah kepemimpinan yang mengoperasikan sistem tersebut, adalah pernyataan yang tidak memiliki kadar keilmuan paling minimalis sekalipun.
Sebab, setiap sistem dibangun dari asumsi dasar yang berbeda dengan sistem lainnya sehingga penerapan sistem yang berbeda akan menghasilkan output yang juga berbeda.
Atas dasar itu pula, menjadi aneh membaca usul kawan politisi senior yang pernah memimpin dua lembaga tinggi negara berbeda, yang menghendaki agar pemilihan presiden dilakukan lewat parlemen.
Sebab, bagaimana kita harus mengubah teorinya tanpa terlebih dahulu mengubah asumsi dasar yg membangun sistem presidensial?***
Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.