Senin, 21 Juli 2025
Term of Use Media Guidelines

Fachidiot; Orang Pintar Tiada Empati

Mereka memimpin dengan kepala, tapi lupa bahwa masyarakat merasa dengan dada. Pada titik ini, ingatan saya kembali pada Fachidiot.

By
in Now You Know on
Fachidiot; Orang Pintar Tiada Empati
Ilustrasi pemimpin yang dingin dan berjarak dari realitas. (Sumber: leonardo.ai)

Taufiq Fredrik Pasiak

Oleh Taufiq Fredrik Pasiak, ilmuwan Otak Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta.

Sekitar tahun 2004—kalau ingatan saya tidak keliru—Buya Syafii Ma’arif pernah menulis di Republika tentang kondisi intelektual bangsa. Saya tak bisa lagi menemukan artikelnya, bahkan sudah mencoba mencarinya lewat mesin pencari.

Tapi ada satu istilah yang menancap kuat dalam benak saya hingga hari ini: Fachidiot.

Istilah itu kami perbincangkan pada suatu sore yang hangat di ruang kerja beliau di Kantor Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Cik Di Tiro, Yogyakarta. Beliau sejatinya sedang mendidik saya. Saat itu, Buya adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah.

Saya sendiri masih mahasiswa pascasarjana di UGM dan, di saat bersamaan, menjabat sebagai Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Manado. Saya sering datang ke kantor itu—berguru informal, berdiskusi banyak hal.

Ketika tulisan itu akhirnya terbit, saya ingat betul beliau menyebut, “Saya punya kawan dari Indonesia Timur…….” dan saya merasa sangat terhormat disebut sebagai “kawan.”

Tulisan ini adalah semacam jejak balik, pengingat akan percakapan yang terus hidup di kepala saya; tentang Fachidiot, seseorang yang cerdas dalam satu bidang, tapi kehilangan kemampuan untuk melihat kehidupan secara utuh—ahli yang tahu segalanya tentang satu titik, tapi buta terhadap garis besar.

Kini, dua dekade setelah percakapan itu, saya merasa istilah itu bukan saja relevan kembali—tapi menjadi sangat mendesak untuk dibahas.

Terjebak Lorong Sempit Keilmuan

buya syafii maarif

Istilah Fachidiot mulai dikenal di Jerman sejak 1960-an, sebagai kritik terhadap kaum intelektual yang terjebak dalam lorong sempit keilmuan.

Mereka sangat piawai dalam bidangnya, tetapi tumpul dalam empati dan relasi sosial. Mampu mengurai rumus kompleks, tapi kaku menghadapi tangis orang miskin. Bisa menyusun kebijakan penuh angka, tapi tak mengenali penderitaan di balik grafik.

Inilah wajah pengetahuan yang kehilangan makna, ketika ilmu hanya jadi alat produksi, bukan alat pemahaman.

Dalam konteks Indonesia, Fachidiot bisa menjelma dalam rupa teknokrat, pejabat, atau akademisi—yang tahu sistem tapi asing dengan rasa.

Kritik Buya Syafii saat itu, ternyata adalah peringatan yang melampaui zaman. Dari perspektif ilmu otak, Fachidiot bukan semata-mata karakter, tapi hasil dari plastisitas saraf yang timpang.

Ketika seseorang terus-menerus terpapar hanya pada satu jenis informasi—misalnya regulasi, prosedur, atau data teknis—maka jalur sinaptik yang berulang di area tersebut akan menguat (ingat Doktrin Neuron dari Hebb: 'fire togheter, wire togheter').

Sementara, area lain yang berkaitan dengan empati, intuisi, dan nalar sosial, menyusut. Ini dikenal sebagai use-dependent synaptic plasticity. Apa yang sering digunakan akan dikuatkan. Apa yang jarang disentuh, akan menghilang.

Seorang yang brilian dalam bidangnya bisa menjadi sangat tumpul dalam membaca kompleksitas kemanusiaan. Otaknya bukan rusak, tapi terkunci dalam satu mode berpikir.

Kekeringan Batin Pemimpin

Ketika orang semacam ini memimpin, bukan korupsi yang jadi ancaman, tapi kekeringan batin dalam pengambilan keputusan. Dan itu lebih berbahaya.

Banyak dari kita mengenal orang-orang yang hebat di bidangnya—penuh prestasi, rapi secara akademik, dan berbicara seperti ensiklopedia hidup.

Namun saat mereka diamanahkan memimpin, muncul kegamangan yang menyesakkan. Bukan karena tak pintar, tapi karena kecemerlangan itu terpenjara dalam ruang spesialisasi.

Mereka tak pernah benar-benar belajar mengelola kompleksitas manusia, mendengar keresahan, atau menyatukan perbedaan. Otak mereka efisien di lorong logika, tapi gagap di belokan rasa.

Lahirlah keputusan-keputusan yang secara administratif presisi, tapi menyisakan luka sosial, tiada empati. Terlihat rapi di atas kertas, tapi terasa dingin di lapangan.

Di situlah letak paradoks kita hari ini: ketika kepintaran berjalan tanpa kearifan, maka kepemimpinan kehilangan nyawa.

Mereka tampak jenius dalam kalkulasi, tapi kaku dalam komunikasi. Mampu menghafal teori, tapi gagap saat harus mendengarkan keluhan rakyat.

Ketika tantangan berubah dari sekadar sistem menjadi persoalan batin manusia—tentang harapan, ketakutan, dan perjuangan bertahan—mereka kehilangan arah. Bahasa yang digunakan tak lagi untuk menyapa atau merangkul, tapi untuk memberi instruksi dan membungkam.

Krisis Emotional Intelligence

Daniel Goleman

Daniel Goleman menyebut ini sebagai krisis emotional intelligence: kepemimpinan yang kering dari empati, tapi penuh dengan superioritas kognitif.

Namun hari ini, tantangannya jauh lebih kompleks. Kita bukan hanya butuh empati, tapi juga kepekaan eksistensial—kemampuan untuk membaca makna hidup dalam penderitaan dan kegembiraan masyarakat.

Di sinilah pentingnya Fungsi Eksekutif Transendental, yakni fungsi eksekutif otak yang mengelola spiritualitas: bagaimana otak mengintegrasikan nilai, harapan, dan makna hidup ke dalam proses pengambilan keputusan.

Manakala fungsi ini tumpul, maka yang lahir adalah pemimpin yang efisien tapi hampa—tajam dalam logika, tapi tumpul dalam makna.

Filsuf Martin Buber (1921) pernah menulis, “All real living is meeting.” Hidup yang sejati terjadi dalam perjumpaan antarmanusia, bukan dalam isolasi ide.

Namun, manusia Fachidiot lebih sering hidup dalam ruang sempit pikirannya sendiri—dalam ruang sunyi tanpa pertemuan, tanpa sentuhan. Dalam institusi yang ia pimpin, lahir keputusan-keputusan yang logis tapi menyakitkan.

Ia bukan jahat. Ia hanya lupa menjadi manusia yang mendengar. Kalau dia beragama, mungkin saja ia rajin semua ritual, tapi ritual itu tak membumi menjadi perilaku. Ia beriman, tapi kering dalam berempati pada manusia.

Kebijakan Berjarak dari Realitas

Kita melihatnya di sekitar kita. Mereka yang dibentuk oleh sistem pendidikan yang menyanjung logika tapi melupakan empati. Yang terbiasa menjadi nomor satu dalam ranking, tapi gagal saat diminta mendengarkan keluhan staf kecil.

Gemilang dalam konferensi, tapi tak punya waktu menengok sudut kampus yang sepi dan murung. Lalu ketika mereka duduk di kursi penting, kebijakan yang mereka ambil terasa asing—dingin dan penuh jarak.

Padahal, negeri ini tak bisa dipimpin hanya dengan sistem dan tabel. Ia butuh pemimpin yang juga paham isyarat lemah dalam diam. Yang mengerti makna lirih di balik kata “baik-baik saja.”

Ambil contoh penataan ulang sistem kesehatan, reformasi pendidikan dan kesehatan, kebijakan ketenagakerjaan, atau program penggusuran permukiman. Di atas kertas: efisien, rapi, hemat anggaran.

Namun, di lapangan: nakes seperti kehilangan arah, guru dan dosen limbung hadapi reformasi pendidikan, buruh panik karena skema kerja diubah sepihak, warga kehilangan rumah tanpa cukup komunikasi.

Bukan karena niat jahat. Tapi karena keyakinan bahwa “tepat” pasti “beres.” Inilah wajah Fachidiotentum hari ini: teknokratik, efektif, tapi kehilangan kehangatan.

Mereka memimpin dengan kepala, tapi lupa bahwa masyarakat merasa dengan dada. Pada titik ini, ingatan saya kembali pada istilah yang Buya tanamkan dua dekade lalu.

Bukan untuk menuding siapa pun, tapi sebagai cermin. Bahwa secerdas apa pun kita dalam sistem dan regulasi, kalau kita gagal mendengar denyut di balik wajah-wajah yang mencoba bertahan, maka ilmu itu berubah menjadi alat penindas yang sunyi.

Baca juga: Memelihara Kebencian; Kisah Abu Jendes dkk

Kita bisa saja bicara tentang efisiensi dan audit di ruang rapat, tapi di pojok kampus, ada mahasiswa yang diam-diam menahan tangis karena ibunya harus menjual barang2 terakhir yang dimiliki demi membayar kuliah.

Kebijakan yang tidak menyentuh batin, hanya akan menjadi alat tekanan.

Tuan-tuan, barangkali memang sudah saatnya kita meninjau ulang paradigma kepemimpinan—bukan hanya dari seberapa dalam ia menguasai satu disiplin, tapi sejauh mana ia mampu membaca kehidupan di luar dirinya.

Kita tidak sedang kekurangan orang cerdas. Yang langka hari ini adalah mereka yang mau berhenti sejenak, menatap, dan benar-benar mendengar.

Sebab sistem yang hebat memang lahir dari kecerdasan. Tapi hanya kebijaksanaan yang sanggup membuatnya tetap manusiawi.***

Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.

\