Pemerkosaan di Ruang Medis: Remedi Gap Pengawasan & Trauma Korban

Aksi Praguna berkaitan erat dengan relasi kuasa. Pelaku terdorong oleh hasrat mendominasi yang dipicu racun maskulinitas.

By
in Now You Know on
Pemerkosaan di Ruang Medis: Remedi Gap Pengawasan & Trauma Korban
Ilustrasi kekerasan seksual di ruang medis dan trauma yang dialami oleh korban. (sumber: Leonardo.ai)

Jakarta, TheStanceID - Pemerkosaan residen anestesi Universitas Padjadjaran, Priguna Anugerah Pratama (31 tahun), terhadap FH (21 tahun) di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung menjadi potret rapuhnya sistem pengawasan paktik medis di Indonesia.

Alih-alih mendapat perlindungan saat berjuang demi kesembuhan sang ayah, FH justru diperkosa Priguna, yang merupakan peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Unpad.

Untuk memuluskan aksi bejatnya, dia memanipulasi situasi dengan berdalih mengambil sampel darah untuk keperluan transfusi ayah korban. Ia membius FH sebagai bagian dari aksinya.

Kejadian tersebut mencuat ke publik lewat unggahan akun Instagram bernama @ppdsgramm yang mengunggah tangkapan layar dugaan pemerkosaan yang dilakukan oleh residen anestesi terhadap keluarga pasien, menggunakan obat bius.

Peristiwa terjadi pada dini hari 18 Maret 2025, sekitar pukul 00.30 WIB. FH, yang saat itu mendampingi ayahnya di ICU, diminta oleh pelaku untuk ikut dalam prosedur transfusi darah demi mempercepat proses pencocokan.

Pelaku lalu membawa korban ke ruang MCHC di lantai 7 gedung baru rumah sakit, ruangan yang saat itu belum digunakan. Di sana, FH diminta mengenakan pakaian pasien, lalu dibius dengan midazolam.

Pemerkosaan pun terjadi ketika korban dalam kondisi tak sadar. FH baru sadar sekitar pukul 04.00 WIB, dalam keadaan lemah dan merasakan rasa sakit pada tubuhnya, terutama saat buang air kecil.

Baca juga: Dokter Perkosa Pasien, Indonesia Darurat Kekerasan Seksual

Korban kemudian mengadukan kejadian tersebut kepada keluarganya dan menjalani visum. Pemeriksaan medis menunjukkan adanya bukti terjadinya hubungan seksual tanpa persetujuan.

Pihak kepolisian dari Polda Jawa Barat melakukan penyelidikan di lokasi kejadian dan menemukan barang bukti berupa alat kontrasepsi, bekas obat bius, serta jejak sperma.

Keluarga Diperkosa, Pasien Tak Tertolong

Priguna Anugerah PratamaMenurut penuturan kakak ipar korban, ayah FH telah menjalani perawatan pascaoperasi sejak 16 Maret 2025. Insiden pemerkosaan terjadi 2 hari kemudian, sementara operasi sang ayah baru dilaksanakan pada 19 Maret dan berjalan lancar.

Namun tragisnya, kondisi kesehatan sang ayah terus memburuk dan akhirnya meninggal dunia. Hal ini menjadi ironi besar karena fasilitas medis gagal menyelamatkan pasien, dan malah menjadi locus delicti aksi kejahatan terhadap korban pasien.

Meski Priguna mengaku hanya melakukan pemerkosaan terhadap FH, hasil penyelidikan kepolisian menemukan adanya dua korban lain, menjadikan total korban mencapai tiga orang.

Pelaku juga sempat mencoba bunuh diri dengan melukai pergelangan tangannya, namun berhasil diselamatkan ketika penangkapan dilakukan di apartemennya.

Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Jawa Barat, Kombes Surawan, menyebut bahwa Priguna mengidap somnophilia, yakni kelainan seksual di mana pelaku merasa terangsang oleh orang yang sedang tidur atau tidak sadar.

Tak lama setelah kasus ini mencuat, publik kembali dikejutkan dengan beredarnya rekaman CCTV di media sosial yang memperlihatkan seorang dokter kandungan melakukan pelecehan seksual dalam prosedur USG.

Dalam video tersebut, tangan dokter tampak meraba area payudara pasien.

Kejadian beruntun ini menjadi sorotan publik, karena seolah menguak kebobrokan integritas sebagian tenaga kesehatan dan pengawasan dunia medis Indonesia.

Respons Kebijakan Pemerintah

Merespons kasus itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menginstruksikan RSHS untuk menghentikan sementara kegiatan PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Unpad selama 1 bulan.

Kemenkes juga mewajibkan seluruh rumah sakit pendidikan di bawah naungannya melakukan tes kejiwaan berkala bagi peserta PPDS semua angkatan untuk mengidentifikasi kejiwaan peserta sejak dini dan menghindari praktik manipulasi tenaga medis.

Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) juga telah mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) atas nama Priguna. Pencabutan STR ini otomatis membatalkan Surat Izin Praktik (SIP) yang bersangkutan.

“Kami akan terus memantau proses penanganan kasus ini dan mendorong seluruh institusi pendidikan serta fasilitas kesehatan untuk memperketat pengawasan, memperbaiki sistem pelaporan, serta membangun lingkungan yang bebas dari kekerasan dalam bentuk apa pun,” ujar Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik, Aji Muhawarman beberapa waktu lalu.

Dari aspek regulasi, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebenarnya sudah ada untuk menekan pelaku kekerasan seksual. Yang dibutuhkan adalah penguatan implementasinya.

“Undang-undang tidak akan berjalan tanpa edukasi dan motivasi yang dijaga. Satgas-satgas juga harus didukung dengan anggaran yang memadai agar bisa bekerja optimal,” ujar psikolog anak dan keluarga Anna Surti Ariani.

Selain itu, perempuan yang akrab disapa Nina ini, menilai kekerasan seksual yang dilakukan Praguna berkaitan erat dengan relasi kuasa. Pelaku terdorong oleh hasrat mendominasi yang dipicu racun maskulinitas (toxic masculinity) dan budaya patriarki.

Racun Maskulinitas & Budaya Patriarki

Anna Surti Ariani

Maskulinitas yang sehat akan mencerminkan sikap tangguh yang positif. Misalnya berani mengambil keputusan, bertanggung jawab, dan mengakui kesalahan.

Sebaliknya, maskulinitas yang negatif atau beracun akan mencoba untuk mendominasi. Misalnya, ambisi menaklukkan lawan jenis, tampil jantan dengan banyak pasangan, atau menganggap perempuan sebagai objek.

Nina menuturkan bahwa sosok yang berpretensi melakukan kekerasan seksual dapat diidentifikasi secara awal dengan melihat rendahnya empati dan sifat narsistik terkait kebutuhan seksual.

“Seharusnya orang lain memenuhi kebutuhan seks saya. Saya gak peduli orang lain sedang punya kebutuhan atau enggak, tapi pokoknya saya lagi punya. Itu kebutuhan narsistik itu seperti itu,” tuturnya kepada TheStanceID, Selasa (15/4/2025).

Selain itu, kekerasan seksual juga bisa dipicu oleh trauma masa lalu yang belum terselesaikan. Misalnya pengalaman didominasi oleh figur perempuan dalam kehidupan sebelumnya.

Atau, pelaku kekerasan seksual memiliki trauma dengan perempuan di masa lalu. “Jadi kayak ada nih, dia tuh di masa lalunya itu didominasi misalnya oleh perempuan, misalnya oleh ibunya atau oleh siapanya lah. Dan dia gak suka itu,” tutur Nina.

Dari trauma tersebut pelaku menyimpan dendam, salah satunya disalurkan dengan tindakan pemerkosaan. Bagaimanapun bentuknya dan latar belakangnya, Nina menegaskan bahwa kekerasan seksual adalah tindak pidana.

Penyembuhan Trauma

hujanLalu bagaimana dengan trauma pada korban pemerkosaan? Bagaimana menyembuhkannya? Nina menjawab bahwa pada dasarnya seseorang yang mengidap trauma besar perlu penyembuhan yang kompleks, tidak cukup secara mandiri.

Menurutnya, terdapat teknik-teknik yang lebih sulit dan itu dikuasai oleh para psikoterapis, atau psikolog klinis, serta psikiater yang berlisensi yang bisa melakukannya. Praktik tersebut disebut trauma healing.

Praktik ini tak dijalankan sesederhana berkumpul bersama korban lain lalu bernyanyi bersama bertepuk tangan, melainkan melibatkan psikoterapis yang membantu penyembuhan luka batinnya.

“Hal itu itu memang dipelajari secara mendalam, kalau seseorang sudah mengalami pemerkosaan, memang baiknya dia mendapatkan penanganan profesional,” tuturnya.

Namun di samping itu, ada beberapa hal yang dapat meringankan dan bisa dilakukan secara pribadi ataupun lingkungannya. Misalnya, menenangkan diri dengan tarik nafas dalam, duduk dengan tenang, dan memperkuat motivasi batinnya.

“Terus kemudian dia juga perlu mengingatkan dirinya bahwa dia itu punya hal-hal baik. Banyak hal baik yang itu tidak hilang karena terjadinya kasus pelecehan seksual atau kekerasan seksual tersebut,” papar Nina.

Lingkungan atau orang terdekat penyintas juga perlu melakukan pendampingan dan berbagi beban. Namun jika penyintas belum siap untuk bercerita, maka tidak perlu dipaksa untuk berbagi beban batinnya.

Dampingi Kebutuhan Perawatan Fisik

makanan bergiziJika penyintas tidak nafsu makan dan lain sebagainya, maka orang terdekat harus mengingatkannya untuk tetap bisa merawat diri, agar tetap bisa makan, minum, termasuk mandi dan lainnya.

“Karena itu kan kondisi yang bagaimanapun dia perlu cukup sehat fisik supaya dia bisa lebih sehat mental lagi. Karena kesehatan fisik dan kesehatan mental itu memang saling berkaitan,” tutur Nina.

Orang-orang sekitar juga perlu untuk mengingatkan penyintas tentang hal-hal positif yang dia miliki. Dan bahwa kita jangan sampai harus memberikan stigma kepada penyintas. Ingatkan penyintas untuk hal-hal baik yang dia punya.

“Misalnya dia pintar masak, maka beri pujian tentang masakannya, atau keahilian lainnya. Jadi orang-orang sekitar bisa mengingatkan dia untuk hal-hal positif tersebut. Dan orang sekitarnya juga bisa mengingatkan dia untuk dia ditangani secara profesional,” ujarnya.

Nina berharap dari kejadian ini masyarakat semakin teredukasi tentang kesetaraan gender dan kesehatan mental agar kekerasan seksual bisa dicegah sejak akar.

“Kita butuh lebih banyak berita dan edukasi yang sensitif gender. Dan penting juga bagi masyarakat untuk memahami kesehatan mental agar bisa bersama-sama menjaga lingkungan yang aman dan sehat,” pungkas Nina. (par)

Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.