Dokter Perkosa Pasien, Indonesia Darurat Kekerasan Seksual

Pelaku kekerasan seksual makin beragam: polisi, kyai, dokter, hingga guru besar perguruan tinggi.

By
in Headline on
Dokter Perkosa Pasien, Indonesia Darurat Kekerasan Seksual
Ilustrasi Aktivis perempuan membentangkan spanduk dan poster berisi pesan perlawanan terhadap tindak kekerasan seksual (Sumber : BandungBergerak.id)

Jakarta, TheStanceID Kasus pelecehan dan kekerasan seksual makin marak terjadi di Indonesia. Pelakunya pun beragam, dari polisi, pemuka agama, dokter, hingga guru besar perguruan tinggi ternama. Mereka menggunakan kekuasaan dan pengaruh untuk melampiaskan birahi bejatnya.

Menurut riset Komnas Perempuan pada 2023, kekerasan seksual terhadap perempuan berbasis relasi kuasa meningkat terutama di sektor pendidikan dan keagamaan.

Dokter PPDS Unpad Lakukan Pelecehan Seksual

dokter Priguna

Salah satu kasus terbaru adalah pemerkosaan oleh dokter residensi Program Pendidikan Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (Unpad), Priguna Anugerah Pratama (31 tahun), terhadap keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS).

Pemerkosaan ini terjadi pada Maret 2025 lalu, tapi baru terungkap belum lama ini.

Dalam kasus ini, pelaku diketahui melakukan aksinya dengan modus ingin mengambil darah korban dan membawanya ke ruang instalasi rawat darurat (IGD) di lantai 7, RS Hasan Sadikin, pada Selasa, (18/3/2025).

Priguna yang merupakan dokter berdomisili di Pontianak, Kalimantan Barat, dan telah berkeluarga ini, meminta korban untuk mengganti pakaian dengan baju operasi warna hijau, lalu memasukkan jarum ke bagian tangan kiri dan kanan korban sebanyak 15 kali percobaan.

Prigunq kemudian menghubungkan jarum suntik ke selang bius sehingga korban mulai pusing dan akhirnya tidak sadarkan diri. Setelah itu pelaku pun melancarkan aksi bejatnya. Setelah korban tersadar, pelaku mengantar korban ke ke lantai dasar pada pukul 04.00 WIB dini hari.

"Korban bercerita kepada ibunya bahwa tersangka mengambil darah dengan 15 kali percobaan dan memasukkan cairan bening ke dalam selang infus, yang membuat korban tidak sadar. Kemudian saat korban buang air kecil korban merasakan perih di bagian tertentu yang terkena air," kata Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Hendra Rochmawan, dalam konferensi pers di Mapolda Jabar, Rabu (9/4/2025).

Atas tindakan dan perbuatannya, Priguna telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan sejak 23 Maret 2025.

Dia dijerat dengan Pasal 6 C Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dengan ancaman pidana penjara maksimum 12 tahun.

Ditreskrimum Polda Jawa Barat Kombes Surawan menyatakan korban pemerkosaan oleh Priguna lebih dari satu orang.

Ada dua korban lain selain FH yang diperkosa Priguna di RSHS Bandung. Namun, dua korban lain ini belum dapat dimintai keterangan.

"Ada dua lagi (yang jadi korban)," kata Surawan, Kamis (10/4/2025).

Modus Pelecehan Seksual di Dunia Medis

Ilustrasi kekerasan seksual

Pelecehan seksual dapat terjadi di mana saja dan tidak memandang profesi, termasuk di profesi yang berkaitan dengan dunia medis.

Tenaga medis, mulai dari dokter hingga perawat. dapat menjadi pelaku maupun korban pelecehan dan kekerasan seksual.

Berdasarkan catatan TheStanceID, kasus pelecehan seksual di dunia medis juga kerap terjadi.

Pada akhir 2023, seorang dokter rumah sakit swasta di Pelembang Sumatera Selatan berinisial MY, diketahui mencabuli istri pasien yang sedang hamil muda. Modusnya kurang lebih sama dengan Priguna. Pelaku menyuntikkan obat bius ke korban yang diklaim sebagai vitamin kebugaran. Setelah korban tertidur pelaku melancarkan aksi bejatnya.

Insiden tersebut terjadi saat korban sedang menjaga suaminya yang dirawat di rumah sakit pada Desember 2023 lalu.

Sebelumnya, pada tahun 2020, “Never Okay Preject” (NOP), sebuah inisiasi yang mendukung komunitas dan institusi dalam menciptakan dunia kerja yang bebas dari pelecehan seksual di Indonesia, merilis hasil survei terkait “Pelecehan Seksual di Dunia Medis”.

Survei itu menyebut sedikitnya telah terjadi 12 kasus pelecehan seksual di dunia medis yang dipaparkan media dalam kurun waktu 2018-2020, dengan 11 diantaranya merupakan kasus pelecehan seksual tenaga medis terhadap pasien, dan 1 lainnya antar-tenaga medis sendiri.

Eunike Pangaribuan dari “Never Okay Preject” (NOP) mengatakan jumlah ini hanya yang terungkap di media massa. Tapi realitasnya. banyak kasus yang tidak muncul ke permukaan karena korban lebih memilih diam.

Dari survei itu diketahui, modus pelecehan seksual yang dilakukan dokter atau perawat bentuknya antara lain memegang daerah intim, alat kelamin, hingga melakukan pemaksaan secara fisik.

Eunike juga mengungkap fenomena lain yang memprihatikan terkait kekerasan seksual di dunia medis, yaitu kecenderungan para kolega pelaku untuk diam.

“Mereka memilih bungkam daripada menjatuhkan rekan sejawat," katanya.

Korban Kerap Tidak Berani Melapor

Mike verawati

Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati, melihat kasus pelecehan seksual di sektor medis ini makin memperjelas bahwa kekerasan seksual bersifat multi-aspek.

Pelecehan seksual tidak hanya terjadi di tempat private atau tertutup seperti hotel. Tetapi juga di lokasi publik tempat kerja, dan kali ini, rumah sakit.

Selama ini, kata Mike, pelaku pelecehan seksual biasanya erat diasosiasikan dengan mereka yang memiliki simbol keras seperti penjahat.

Namun realitasdi lapanga berbeda. Pelaku juga bisa merupakan sosok yang jauh dari citra jahat, misalnya guru, dosen, kyai, manajer, bos, bahkan dokter yang dipersepsikan sebagai figur penolong.

Mike juga meyoroti bahwa korban pelecehan seksual di dunia media kerap ida tida berani melapor. Penyebabnya dua hal.

Pertama, relasi kuasa yang timpang antara dokter dan pasien. Kedua, kondisi korban (pasien) yang sedang sakit yang menjadi penghalang untuk bersuara. Ditambah lagi respons rumah sakit yang cenderung menutupi pengaduan.

Menurut Mike, pihak rumah sering sakit lebih memilih menjaga citra daripada meneruskan ke proses hukum. Ini karena bila kasus pelecehan itu tersebar, masyarakat tidak akan lagi mau berobat ke sana.

“Secara langsung berdampak pada kerugian secara ekonomi (bagi rumah sakit),” katamya.

Faktor sikap institusi yang meredam kasus pelecehan hingga akhirnya menguntungkan pelaku, juga salah satu penyebab mengapa korban memilih tidak melapor.

Berdasarkan laporan Komnas Perempuan tahun 2022. misalnya, ditemukan sebanyak 60% korban kekerasan seksual tidak berani melapor karena takut terhadap institusi pelaku.

Alasannya pelaku merupakan tokoh penting di insitusi tersebut; korban takut mendapat stigma dan intimidasi dari institusi yang lebih sibuk menjaga nama baik daripada melindungi korban.

Akibatnya, korban pelecehan seksual pun diam, kehilangan suara, sementara pelaku merasa aman, dan kembali berkeliaran mencari mangsa.

Pelanggaran Berat terhadap Etika dan Kepercayaan Publik

Iqbal Mochtar

Ketua Departemen Luar Negeri di Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Iqbal Mochtar, menyebut kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh dokter PPDS Unpad terhadap keluarga pasien merupakan pelanggaran berat

“Ini pelanggaran berat terhadap etika profesi dan kepercayaan publik terhadap tenaga medis,” jelas Iqbal dalam keterangannya, Kamis (10/4/2025).

Profesi dokter, kata dia, semestinya dibangun atas dasar kepercayaan, empati, dan tanggung jawab moral. Ketika keahlian medis disalahgunakan untuk melakukan kekerasan, maka itu bukan hanya mencoreng nama institusi, tapi juga melukai rasa aman masyarakat terhadap layanan medis.

Menurut Iqbal, ada beberapa langkah penting yang perlu diambil agar kejadian serupa tidakak berulang. Pertama, penguatan pendidikan etika dan gender di dunia kedokteran.

"Institusi pendidikan kedokteran harus menanamkan pemahaman mendalam tentang kode etik profesi serta wawasan terkait kekerasan seksual, relasi kuasa, dan batas profesional antara tenaga medis dan pasien atau keluarganya," katanya.

Kedua, perlunya sistem pengawasan dan penanganan aduan yang transparan. Rumah sakit pendidikan atau institusi medis harus memiliki sistem pelaporan dan pengawasan yang tegas, aman, dan berpihak pada korban.

“Pelaku harus ditindak secara profesional dan hukum, tanpa perlindungan institusional,” imbuhnya.

Ketiga, selain budaya nol toleransi terhadap kekerasan seksual, perlu dilakukan pendampingan psikososial kepada korban dan edukasi publik agar masyarakat menyadari hak mereka dalam layanan kesehatan, termasuk hak atas rasa aman dan bermartabat.

“Kejadian ini menjadi pengingat penting bahwa, keahlian tanpa integritas justru bisa menjadi alat penindasan. Maka, sudah saatnya dunia medis tidak hanya mencetak dokter pintar, tapi juga yang beretika dan berempati,” katanya.

Pelaku Kekerasan Seksual Harus Dihukum Berat

Anis Hidayah, Komisioner Komnas HAM

Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan pelaku kekerasan seksual daripolisi, dokter, hingga guru besar universitas, harus dihukum berat.

Bahkan menurutnya harus ada pemberatan hukuman bagi pelaku bila berasal dari profesi-profesi tersebut.

“Ini karena status pelaku yang seharusnya memberikan pelayanan dan perlindungan bagi masyarakat,” kata Anis dalam keterangannya, Kamis (10/4/2025).

Menurut Anis, polisi, dokter, hingga tenaga pendidik seharusnya melayani dan melindungi masyarakat. .

"Posisi mereka itu kalau di dalam undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), itu disebut sebagai pihak yang seharusnya memberikan perlindungan dan pelayanan,” jelasnya.

Ketika pihak yang dalam UU TPKS diposisikan sebagai "melindungi dan melayani" itu justru menjadi pelaku, maka sangat wajar bila hukuman mereka diperberat.

“Kita semua berkepentingan untuk mengawal agar nantinya aparat penegak hukum menjatuhkan sanksi yang seberat-beratnya,” jelas Anis. (est)

Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.