Diskusi Mahasiswa Disatroni TNI, Seperti Era Orde Baru

Rentetan peristiwa tentara masuk kampus terus terjadi. Terbaru menimpa Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Semarang. Anggota TNI mendatangi panitia, meminta data peserta diskusi.

By
in Big Shift on
Diskusi Mahasiswa Disatroni TNI, Seperti Era Orde Baru
Ilustrasi Penolakan RUU TNI

Jakarta, TheStanceID Kebebasan akademik di kampus kini semakin terancam. Pasalnya anggota TNI makin sering masuk kampus untuk mengawasi forum diskusi mahasiswa.

Kejadian terbaru menimpa Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) dan Forum Teori dan Praktik Sosial (FTPS). Mereka menggelar diskusi berjudul "Fasisme Mengancam Kampus: Bayang-Bayang Militer Bagi Kebebasan Akademik" di samping Auditorium 2 Kampus III UIN Walisongo Semarang, Jawa Tengah, pada Senin (14/04/2025) lalu.

Belakangan acara diskusi itu disusupi orang tak dikenal yang diduga intel TNI.

Salah satu panitia diskusi, Ryan Wisnal, menjelaskan kejanggalan sudah terasa saat diskusi baru ketika ada pria bertubuh agak gempal yang tampak asing di mata peserta diskusi lainnya. Pria tersebut enggan memperkenalkan identitasnya sebagaimana peserta lain. Merasa canggung dan asing, pria itu kemudian pergi meninggalkan ruang diskusi.

"Pas dia diajak kenalan, enggak mau," kata Ryan Wisnal, Selasa (15/4/2025).

TNI UIN Semarang

Tapi tidak lama kemudian, satpam kampus datang dan memberitahu mahasiswa untuk menemui seseorang berseragam TNI. Pria berseragam yang belakangan diketahui bernama Sertu Rokiman itu kemudian berbicara dengan perwakilan panitia diskusi. Mereka mengobrol di dalam kampus, hanya berjarak beberapa meter dari lokasi diskusi.

"Dia sempat bertanya sambil menekan, menanyakan siapa saja yang ikut diskusi, dari mana saja (peserta diskusinya)," kata Wisnal.

Dia menjelaskan selama ini kelompok studinya sering menggelar diskusi dengan berbagai topik dan isu. Namun baru kali mereka didatangi anggota TNI.

Meski tidak ada pembubaran, Wisnal menyatakan, kedatangan anggota TNI dalam diskusi akademik tetap merupakan bentuk intervensi dan membuat kemerdekaan diskusi di kampus terancam.

Tanggapan TNI

Kadispenad

Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat (Kadispenad), Brigjen TNI Wahyu Yudhayana, mengakui bahwa terdapat personelnya yang mendatangi kegiatan diskusi Kampus III UIN Walisongo Semarang.

Personel tersebut adalah Sertu Rokiman, Babinsa Koramil Ngaliyan, Kelurahan Tambak Aji.

Wahyu mengeklaim, Sertu Rokiman datang semata-mata dalam rangka menjalankan tugas rutin sebagai aparat kewilayahan. Menurutnya, kehadiran Sertu Rokiman pun terbatas di area depan kampus dan tidak masuk ke dalam lokasi acara diskusi.

"Babinsa hadir di sekitar kampus hanya untuk monitoring wilayah, karena sebelumnya beredar pamflet undangan diskusi yang bersifat terbuka untuk umum. Itu bagian dari tugas Babinsa dalam menjaga keamanan dan ketertiban wilayah binaannya,” kata Wahyu dalam keterangannya, Rabu (16/4/2025).

Wahyu menekankan, tidak ada intervensi atau upaya apapun untuk menghentikan kegiatan diskusi di Kampus III UIN Walisongo Semarang. Sertu Rokiman, tambahnya, juga sama sekali tidak masuk ke area forum diskusi, melainkan tetap berada di luar kampus.

TNI, kata Wahyu, menghormati sepenuhnya kebebasan akademik di lingkungan perguruan tinggi dan tidak memiliki kepentingan untuk mencampuri urusan internal kampus.

"TNI juga berkomitmen menjaga sinergi dengan seluruh elemen masyarakat, termasuk civitas akademika, demi menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif," klaim Wahyu.

Militer Mulai Aktif Masuk Kampus

Pasca-revisi Undang-Undang Nomor 34/2004 tentang TNI, militer memang mulai giat memasuki kampus. Modusnya beraagam. Mulai dari sosialisasi UU TNI di Universitas Jenderal Soedirman di Banyumas, kerja sama antara TNI dan Universitas Udayana, hingga Kodim 1707 yang diduga mengumpulkan data mahasiswa di Merauke.

Kegiatan TNI masuk ke kampus itu dilakukan dengan dalih "pembinaan teritorial" dan bela negara.

Ironisnya, beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Udayana, Bali, dan Universitas Jenderal Soedirman, Jawa Tengah, membuka pintu lebar-lebar untuk TNI.

Universitas Udayana, misalnya, menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Kodam IX/Udayana, pada Rabu (5/3/2023).

udayana

Perjanjian Kerja Sama itu memuat enam ruang lingkup. Mulai dari peningkatan sumber daya manusia, pertukaran data dan informasi, hingga pelatihan bela negara.

Melalui kerjasama itu, nantinya Kodam IX/Udayana dapat mengirim prajurit aktif untuk mengikuti kuliah di Universitas Udayana, dari strata satu (S-1) hingga strata tiga (S-3).

Klausul ini dikhawatirkan dapat membuka "jalur khusus" bagi anggota TNI untuk kuliah di Udayana, yang akhirnya bisa mengurangi kesempatan bagi mahasiswa sipil.

Dalam dokumen perjanjian kerja sama juga diatur soal pertukaran data informasi. Klausul ini memungkinkan Kodam IX/Udayana meminta data penerimaan mahasiswa baru.

“Pertukaran data dan informasi yang dapat dilakukan adalah rekruitmen PAPK (perwira prajurit karier TNI) dan penerimaan mahasiswa baru,” demikian bunyi isi perjanjian tersebut.

Selain akses data, Kodam IX/Udayana juga akan memberikan pelatihan bela negara dan pembinaan teritorial kepada para mahasiswa.

Seperti Era Orde Baru

Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat, Brigjen Wahyu Yudhayana, mengatakan bahwa TNI memang biasa masuk ke universitas untuk menjalankan fungsi "pembinaan teritorial".

Dalam catatan The Stance, Fungsi teritorial ini cenderung lekat dengan konsep dwifungsi ABRI pada era Orde Baru. Pascareformasi 1998, sempat muncul perdebatan tentang perlu tidaknya fungsi teritorial dalam UU TNI karena risikonya yang besar terhadap kehidupan sipil.

Khusus untuk Papua, Wahyu mengklaim bahwa TNI biasa melakukan pendataan kelompok-kelompok masyarakat. Namun, banyak pengamat menilai bahwa pendataan seperti itu merupakan tugas dan ranah dinas pencatatan sipil, bukan TNI.

Muncul kecurigaan, Komando Distrik Militer 1707/Merauke meminta data mahasiswa tersebut untuk membungkam mahasiswa yang selama ini vokal memprotes Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah di Merauke.

Wamendiktisaintek : Tidak Boleh Suudzon

Wamendiktisaintek

Terpisah, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Wamendiktisaintek), Fauzan meminta publik untuk tidak berburuk sangka dengan kehadiran TNI di perguruan tinggi.

"Menurut saya tidak boleh suudzon," kata Fauzan, Kamis (17/4/2025).

Fauzan mengatakan perguruan tinggi perlu berkolaborasi dan bersinergi dengan berbagai pihak. Ia menilai kehadiran TNI tidak perlu dipermasalahkan selama memberikan dampak positif bagi kampus.

Fauzan mengeklaim pemerintah tidak bermaksud melakukan pembungkaman kepada mahasiswa terkait isu TNI masuk kampus. Ia berharap agar hal itu tidak dipahami dengan negatif.

"Segala sesuatu itu sangat tergantung bagaimana cara kita menafsirkan," kata dia.

"Jadi, pendidikan di mana saja harus inklusif. Karena kalau eksklusif, sulit untuk berkembang," lanjutnya.

Ancaman terhadap Kebebasan Akademik

M Isnur - YLBHI

Pendapat berbeda disampaikan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBH), Muhamad Isnur,

Menurutnya, masuknya TNI ke kampus tidak bisa dibaca sebagai sekadar kunjungan biasa. Itu sudah menyalahi prinsip Undang-Undang Pendidikan Tinggi dan Sisdiknas yang menjamin kebebasan akademik.

Menurut Isnur, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi serta UU Sisdiknas telah menjamin kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.

Ketiga prinsip ini tidak akan bisa tumbuh jika ada kehadiran institusi bersenjata yang membawa simbol-simbol kekuasaan dan represi.

Secara historis, bahkan kampus adalah ruang otonom bagi pengembangan ilmu pengetahuan, kebebasan berpikir, dan kritik terhadap kekuasaan. Masuknya institusi militer, yang secara struktur bersifat hierarkis dan koersif, jelas bertentangan dengan semangat ini.

“Kedatangan tentara ke kampus bagi mahasiswa adalah tindakan teror dan tindakan mengganggu. Ini tindakan yang melanggar kebebasan akademik, kebebasan kampus,” kata Isnur dalam keterangannya, Kamis (17/4/2025).

Militerisasi Ruang Sipil

Pengamat Pendidikan, Ubaid Matraji, mengingatkan masyarakat perlu kritis terhadap normalisasi militerisasi ruang sipil.

Kehadiran TNI di kampus tanpa alasan yang jelas, misalnya investigasi kriminal, ancaman terorisme, atau permintaan rektorat, berpotensi melanggar prinsip ini dan menciptakan preseden berbahaya.

"Jika alasan kedatangannya tidak transparan, ini bisa dianggap sebagai bentuk intervensi politik yang mengikis independensi kampus sebagai ruang kritik dan pengetahuan," katanya.

Ubaid menambahkan kehadiran seragam militer di kampus, apalagi tanpa dialog terbuka, berpotensi menciptakan chilling effect dimana mahasiswa/dosen merasa diawasi, sehingga mengurangi keberanian untuk berekspresi atau mengkritik kebijakan publik.

“Kampus harus menjadi ruang aman untuk berpikir kritis, termasuk mengkaji isu sensitif seperti HAM, kebijakan pemerintah, atau peran militer,” katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid menilai, tindakan anggota TNI tersebut mengkonfirmasi kekhawatiran publik terkait militerisasi ruang publik seiring kuatnya penolakan masyarakat terhadap revisi UU TNI yang disahkan pada 20 Maret 2025 lalu.

Di menegaskan, kampus harus menjadi ruang aman untuk berpikir kritis, berdiskusi, dan membangun kesadaran masyarakat.

“Kampus bukanlah wilayah operasi militer yang mengharuskan kehadiran anggota TNI untuk berjaga-jaga dengan dalih monitoring wilayah. Kejadian ini juga mengkonfirmasi kegagalan pihak kampus untuk melindungi segala aksi-aksi damai yang dilakukan oleh mahasiswa,” katanya. (est)

Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.