Senin, 04 Agustus 2025
Term of Use Media Guidelines

Buruk di Era Jokowi, Kebebasan Akademik Kian Suram di Era Prabowo

Jika intimidasi memburuk, Prabowo mengukuhkan stigma sebagai sosok yang anti gerakan pro-demokrasi.

By
in Pop Culture on
Buruk di Era Jokowi, Kebebasan Akademik Kian Suram di Era Prabowo
Mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa menolak pemberlakuan surat edaran kampus UIN Alauddin Makassar yang dinilai membatasi kebebasan ekspresi mahasiswa. (Sumber: LBH Makassar)

Semarang, TheStanceID – Kebebasan akademik yang mengalasdasari gerakan reformasi 1998 kian sirna di kampus-kampus. Dipersulit di era Joko Widodo (Jokowi), kebebasan akademik kian memburuk di era Presiden Prabowo Subianto.

Beberapa waktu yang lalu, Universitas Islam Negeri Alaudin Makassar (UINAM) menjadi sorotan setelah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Rektor Nomor 2591 Tahun 2024 tentang pengaturan penyampaian aspirasi mahasiswa.

Surat Edaran (SE) 2591 ini memicu kontroversi karena mengatur soal penyampaian aspirasi di lingkungan kampus, yang lebih mirip sebagai aturan fasis yang membatasi hak mahasiswa mengemukakan pendapat.

Protes pun mengemuka, sehingga SE 2591 diperbarui oleh SE 3562, yang secara esensial tetap membatasi kebebasan berpendapat di lingkungan kampus.

Namun, Kepala Biro Administrasi Akademik, Kemahasiswaan, dan Kerjasama (AAKK) UIN Alauddin Kaswad Sartono mengklaim penerbitan surat edaran bertujuan untuk menjaga marwah kampus dan menciptakan ketertiban penyampaian aspirasi.

"Surat edaran ini tidak dibuat secara tiba-tiba, melainkan melalui diskusi edukatif dan panjang di bidang kemahasiswaan, serta diputuskan dalam rapat pimpinan di tingkat fakultas, universitas, hingga Dewan Kehormatan Universitas," jelasnya.

Mahasiswa yang tetap menolak berujung pada skorsing, salah satunya menimpa Alhaidi yang kini menempuh jalur hukum dengan menggugat keputusan skorsingnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Makassar.

Dituding Palsukan Tanda Tangan

Ini bukanlah satu-satunya represi rektorat terhadap Alhaidi. Dalam sidang Dewan Kehormatan Universitas (DKU) pada Senin (10/3/2025), dia ditekan untuk mencabut gugatannya.

Tekanan serupa telah diberikan pada mahasiswa lain, sehingga mereka memilih mencabut gugatan di PTUN, dengan imbalan bisa menjalani kegiatan akademik lagi, termasuk Kuliah Kerja Nyata (KKN).

Namun, Alhaidi yang bersikukuh memperjuangkan keadilan di jalur hukum mendapat perlakuan berbeda. Dugaan kriminalisasi oleh rektorat kampus menerpa mahasiswa tersebut.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mencatat Alhaidi dipanggil Dewan Kehormatan Universitas (DKU) UIN Alauddin lewat surat bernomor B-854/Un.06/DKU-UINAM/03/2025 yang dikeluarkan oleh Wakil Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan.

Pemanggilan dilakukan terkait tuduhan bahwa Alhaidi telah menyalahgunakan surat berkelakuan baik sebagai syarat mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN).

DKU menekan Alhaidi agar mengaku telah memalsukan tanda tangan Dekan Fakultas Tarbiyah. Padahal, faktanya, dia memperoleh surat tersebut secara resmi melalui situs web kampus.

“Saya mengambil surat tersebut melalui website, di mana tanda tangan dekan sudah tercantum. Cara yang sama juga dilakukan mahasiswa seangkatan saya untuk memenuhi syarat KKN,” ungkap Alhaidi dalam persidangan.

Rentetan Fenomena Serupa

Kasus pelarangan dan pembatasan demonstrasi dan ekspresi politik mahasiswa, melalui tangan rektorat kampus, jamak ditemui di era pemerintahan Jokowi.

Menurut catatan TheStanceID, setidaknya dalam kurun waktu 5 tahun terakhir muncul berbagai pelarangan atau pengekangan ekspresi ilmiah di kampus yang mengritik kebijakan pemerintah.

Pada Oktober tahun lalu Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Airlangga sempat dibekukan oleh rektorat setelah memasang karangan bunga berisi kritikan satir mengenai pelantikan Prabowo-Gibran.

Pembekuan ini dinilai sebagai kegagalan kampus dalam menjaga hak rakyat dalam menyampaikan pendapat, khususnya dalam bingkai kebebasan akademik.

Selain memberangus kritik sosial politik, lembaga kampus pun memberangus kebebasan berkumpul dan berorganisasi. Pada Februari lalu, Universitas Lampung membubarkan paksa acara konsolidasi mahasiswa dengan bantuan kepolisian dan militer.

Kasus yang tak kalah memprihatinkan menimpa mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta, pada September 2023.

Dilansir dari Himmah, Majelis Mahasiswa Universitas (MMU) menggelar diskusi bertema "Anti Korupsi" bekerja sama dengan Social Movement Institute pada Selasa (19/09).

Awalnya, kegiatan ini dijadwalkan berlangsung di Fakultas Ekonomi. Namun, rektorat secara mendadak membatalkan izin, sehingga diskusi dialihkan ke Asrama Balai Sriwijaya Sumatera Selatan Yogyakarta.

Aparat Masuk Kampus

Sehari setelah itu, Ketua MMU dan anggota Divisi Eksternal dan Internal diberhentikan melalui Surat Keputusan (SK). Hal ini memicu reaksi keras mahasiswa yang kemudian membentuk aliansi Keluarga Besar Mahasiswa UST dan menggelar aksi protes.

Ironisnya, pihak rektorat melakukan tindakan represif dengan memanggil aparat untuk menangkap mahasiswa. Padahal di era Orde Baru sekalipun, polisi dan tentara menghargai kampus dengan tidak mengirim pasukannya ke dalam kampus.

Salah satu korban, Aji Tri Atmojo, mahasiswa Teknik Sipil 2023, dihantam bagian ubun-ubun kepalanya hingga sempat kehilangan kesadaran. Dia juga mendapatkan intimidasi saat interogasi, termasuk penyitaan ponsel dan permintaan data pribadi.

Yoga Putra Pratama, mahasiswa Teknik Sipil 2023, turut mengalami tekanan meskipun tidak mendapat kekerasan fisik. Peristiwa ini menjadi gambaran nyata upaya pembungkaman kebebasan akademik dan demokrasi di lingkungan kampus.

Menanggapi fenomena ini, Ketua BEM Universitas Diponegoro (Undip) Aufa Atha Ariq Aoraqi mengakui upaya untuk membungkam suara kritis mahasiswa sudah terjadi di berbagai kampus di Indonesia.

“Dari masa Jokowi sudah banyak upaya pembungkaman. Gerakan mahasiswa yang melakukan propaganda kritis terhadap pemerintah di media sosial justru direspon dengan serangan buzzer,” ujarnya.

Misalnya, sewaktu BEM Universitas Indonesia (UI) memuat unggahan “Jokowi: The King of Lip Service,” mereka menerima intimidasi dan diserang di sosial media maupun di aplikasi chatnya.

Prabowo Alergi Demo Mahasiswa

Ariq menilai rezim saat ini semakin anti dengan demonstrasi mahasiswa. Dia dan kawan-kawannya sempat mengalami intimidasi dan pengawasan tidak hanya dari pihak kepolisian tetapi juga oleh militer.

Pada aksi peringatan Indonesia darurat, Ariq mengaku dihubungi oleh intelijen militer dan beberapa orang Kodim yang memberikan ancaman-ancaman tertentu.

Bahkan setelah aksi usai pun, selama beberapa hari dilaporkan adanya orang-orang militer yang berseragam sipil melakukan sweeping dan interogasi acak di lingkungan beberapa kampus besar di Semarang.

Setuju dengan itu, Rafi Yusnia Salim yang memimpin BEM Fakultas Hukum Universitas Sultan Agung Semarang pada 2024 menyerukan civitas academica untuk menjaga ruang kebebasan akademik.

“Sudah seyogyanya civitas akademik memiliki posisi yang jelas sebagai kontrol atas kebijakan pemerintah,” ujarnya. "Upaya-upaya represif untuk membatasi ruang-ruang itu adalah tindakan yang mencederai kebebasan akademik."

Pembatasan kebebasan akademik di lingkungan kampus bukan hanya merampas hak mahasiswa untuk berekspresi, tetapi juga mengancam nilai dasar perguruan tinggi sebagai tempat inkubasi pemikiran yang bebas tanpa campur tangan pihak luar.

Menurut Ariq, represi pihak kampus mencerminkan ketakutan terhadap pemikiran kritis. Jika ruang diskusi dan penyampaian aspirasi terus dibatasi, perguruan tinggi hanya akan menghasilkan generasi pasif yang tidak mampu merespons keadaan sosial.

Bukan Insiden yang Terisolasi

Kasus yang dialami Alhaidi di UIN Alauddin dan berbagai peristiwa di kampus-kampus Tanah Air, menunjukkan bahwa pembatasan kebebasan akademik dan kebebasan berekspresi bukanlah insiden yang terisolasi.

Ada pola sistematis di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, menandakan bahwa kebijakan represif dan cenderung fasis ini terkoordinir dan berada di bawah sepengetahun atau kendali pemerintah.

Hal ini terungkap setelah Menteri Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi (Mendiktisaintek) Satryo Brodjonegoro mengundurkan diri, dan membongkar alasan yang dipakai Presiden Prabowo untuk menghentikannya.

Dilansir dari Fajar, Satryo mengungkapkan karakter Prabowo yang 'alergi demo', berdasarkan perkataan Sekretaris Kabinet Teddy. Pernyataan Satryo ini viral di berbagai platform media sosial seperti X dan Instagram.

“Presiden alergi dengan demo kata Mayor Teddy. Jadi kalau demo itu membuat beliau anggap kegaduhan, membuat gaduh suasana,” beber Satryo.

Pernyataan tersebut memperkuat kekhawatiran bahwa pemerintahan Prabowo semakin membelenggu kebebasan berekspresi, terutama yang dilakukan oleh mahasiswa.

Artinya, kritik dan protes publik dianggap sebagai gangguan ketertiban seperti halnya di era Orde Baru, dan bukan sebagai bagian dari dinamika demokrasi yang sehat menyusul kuatnya peran dan kontrol masyarakat sipil.

Pengunduran diri Satryo ini menunjukkan realita bahwa tekanan politik terhadap teknokrat pendidikan untuk mengekang mahasiswa memang terjadi.

Jika hal ini terus memburuk, Indonesia bisa dibilang kembali ke era Orde Baru dan memperteguh stigma yang sempat menempel kepada sosok Prabowo yang dulu dikenal atas perannya menculik aktivis mahasiswa di era reformasi. (mfp)

Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.

\