Omnibus Law, Kunci agar Industri Syariah Bisa Picu Ekonomi Tumbuh 8%

Ada sekitar 70 undang-undang yang perlu ditata ulang agar industri ekonomi syariah bisa tumbuh di Indonesia.

By
in Big Shift on
Omnibus Law, Kunci agar Industri Syariah Bisa Picu Ekonomi Tumbuh 8%
Ilustrasi eksposur cahaya di bangunan dengan gaya peradaban Islam. Sumber: leonardo.ai

Jakarta, TheStanceID - Industri syariah bisa menjadi penopang target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8% yang ditargetkan Presiden Prabowo Subianto dicapai pada 2028. Syarat utamanya: pemberantasan aturan-aturan yang menghambat.

Indonesia adalah negara dengan produk domestik bruto (PDB) tertinggi di antara 57 negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI), yakni sebesar US$1,371 triliun, disusul Turki (US$1,108 triliun), dan Saudi Arabia (US$1,068 triliun).

Menurut Ekonom Center of Sharia Economic Development Institute for Development of Economics and Finance (CSED Indef) Abdul Hakam Naja, Indonesia sebagai negara berpopulasi muslim besar berpeluang menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui akselerasi industri syariah.

“Mestinya dengan penduduk muslim yang 245 juta, atau 87% dari total penduduk, ekonomi syariah adalah masa depan Indonesia untuk mencapai 8% pada 2028,” katanya dalam diskusi bertajuk ‘Outlook Ekonomi Syariah 2025: Kontribusi Ekonomi Syariah untuk Pertumbuhan Ekonomi 8%’, Jumat (27/12/2024).

Namun, Indonesia masih kalah dari Malaysia yang sukses menggerakkan industri ekonomi syariahnya, bahkan melakukan ekspansi produk perbankan syariah ke luar negeri, salah satunya ke pasar Indonesia. Padahal, Malaysia hanya di ranking ke-6 dengan PDB sebesar US$416 triliun.

"Angka total aset perbankan syariah Indonesia tersebut masih jauh dibandingkan dengan Malaysia yang sebesar Rp4.226 triliun, atau empat kali lipat, dengan pangsa pasar mencapai 37% pada 2024," jelasnya.

Saat ini total aset perbankan syariah di Indonesia mencapai Rp918 triliun. Diperkirakan, pada tahun 2025 angkanya menembus Rp1.000 triliun. Meski asetnya besar, porsi pembiayaan syariah di industri perbankan nasional baru di kisaran 7%.

Pembiayaan UMKM Perbankan Syariah Minim

Untuk mengejar ketertinggalan dari Malaysia, Naja menilai industri keuangan syariah perlu berkonsentrasi pada sektor paling dominan, yakni usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Mantan anggota DPR (2009-2014) dari Partai Amanat Nasional (PAN) ini mendorong pemerintah mencapai porsi pembiayaan perbankan syariah terhadap UMKM ke angka 30% dari total pembiayaannya. Saat ini, mengutip data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), porsi pembiayaan perbankan syariah di UMKM per September 2024 baru sebesar 17,7%.

UMKM adalah tulang punggung ekonomi Indonesia dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 60,5%. Tercatat sebanyak 99% usaha di Indonesia adalah UMKM, yang mampu menyerap tenaga kerja hingga 97%.

“Jadi kalau data jumlah tenaga kerja BPS [Badan Pusat Statistik] adalah 144 juta dari penduduk kita, maka tenaga kerja UMKM 140 juta orang. Jadi memang ini kalau diperhatikan ya ekonomi akan tumbuh, maka daya beli masyarakat akan naik,” jelasnya.

Kebijakan Makro Harus Mendukung

Di tengah kecilnya porsi pembiayaan bank syariah ke UMKM, yakni hanya 17,7%, penyaluran pembiayan bank syariah ke UMKM justru terus menurun 4 tahun terakhir, terutama pasca merger bank syariah milik BUMN menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI).

"Sementara, pembiayaan selain UMKM terus meningkat terutama untuk sektor-sektor menengah dan besar," ungkap Wakil Kepala CSED INDEF, Handi Risza, yang juga Wakil Rektor Universitas Paramadina.

Dia mengingatkan tentang besarnya kontribusi usaha syariah dan pembiayaan syariah terharap perekonomian nasional, yang menopang 46,72% PDB nasional pada tahun 2024, atau sekitar Rp9.761 triliun.

Berbagai sektor yang ditopang industri keuangan syariah meliputi pertanian dan makanan halal, pariwisata ramah muslim (PRM) serta fesyen muslim di mana pelaku usaha sektor industri halal sebagian besar berasal dari sektor UMKM.

"Mudah-mudahan pemerintah memperhatikan ini, jangan sampai ada kebijakan yang tidak menopang, seperti pelonggaran kebijakan impor. Jangan sampai pelonggaran impor berdampak terhadap produktifitas daripada sektor industri halal kita," ujar Handi.

 

Tantangan Ekonomi Syariah Indonesia

Handi menambahkan dalam beberapa tahun terakhir, industri halal di Indonesia menunjukkan perkembangan yang signifikan dan telah memberikan kontribusi positif terhadap PDB nasional.

Meski begitu, proyeksi perlambatan ekonomi global akan sangat mempengaruhi, termasuk ancaman perang dagang Amerika Serikat-China, ketegangan Ukraina-Rusia, dan eskalasi geopolitik di Timur Tengah.

Di sisi lain, pemerintah masih harus menyelesaikan sejumlah tantangan struktural di dalam negeri, agar ekonomi syariah dapat bersaing dengan ekonomi global.

"Mulai dari terbatasnya permodalan, kurangnya kebijakan dan insentif pemerintah, lemahnya infrastruktur pendukung, belum terbangunnya ekosistem untuk mendukung pertumbuhan sektor ini, hingga regulasi yang ada masih belum mampu mengatur dan mendorong perkembangan ekonomi syariah secara menyeluruh," ungkap Handi.

 

Perlu Omnibus Law Perbankan Syariah

Hakam mendorong pemerintah lebih mengoptimalkan ekonomi syariah, mengingat potensinya yang besar. Sama seperti yang sudah dilakukan perbankan syariah Malaysia yang mampu tumbuh hingga 700%.

“Orang CIMB Niaga pernah menyampaikan bisa lompat 700% dalam 10 tahun. Luar biasa, maka saya kira ke depan spin-off, proses merger, antar bank syariah atau unit usaha syariah harus kita dorong,” tuturnya. 

Salah satu caranya dengan membuat Omnibus Law RUU Ekonomi Syariah di mana ada sekitar 70 undang-undang yang perlu ditata ulang sehingga industri ekonomi syariah Indonesia bisa menjadi ujung tombak dan penopang ekonomi nasional.

"Artinya kalau pemerintah serius dengan pemangku kepentingan menggerakkan semua stakeholder dan kemudian ekosistem ekonomi syariah ini dioptimalkan didayagunakan, saya kira akan tercapai target pertumbuhan 8%," ujar Hakam.

 

Peluang dari Industri Halal

Handi menambahkan, meskipun tren ekspor produk halal secara nominal menunjukkan peningkatan, tetapi secara nilai justru terus menurun akibat ketergantungan terhadap bahan baku impor.

"Indonesia mencatatkan ekspor produk halal senilai US$41,42 miliar sampai dengan Oktober 2024. Angka ini mengalami penurunan dibandingkan periode yang sama di tahun 2023 yang mencapai US$42,32 miliar," jelasnya.

Untuk itu, Ia menekankan perlunya proteksi untuk mengurangi ketergantungan impor dan mendorong peningkatan produksi dalam negeri.

"Di sisi lain, yang juga belum bikin kita happy adalah jumlah sertifikasi halal mencapai 5,7 juta, dengan pelaku usaha 1,5 juta hingga desember 2024. Namun belum mencapai target 10 juta sertifikasi halal," kata Handi.

Jumlah sertifikasi halal yang masih rendah menjadi tantangan lain yang harus diatasi untuk meningkatkan daya saing produk halal Indonesia di pasar internasional.

Keberadaan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dalam kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran diharapkan mempercepat akselerasi sertifikasi halal yang lebih baik.

Namun sejauh ini, BPJPH belum terlihat sepak-terjangnya dan masih kalah tenar dari sepak-terjang Kepala BPJPH Haikal Hassam. (est)

\