Menalar Semangat Patriotik Food Estate Presiden Prabowo Subianto
Pencetakan sawah, selain secara drastis mengubah lingkungan, bisa merusak lingkungan.

Oleh Prof. Dr. Ir. Hermanu Widodo, MSc, Kepala Tani dan Nelayan Center IPB (Institut Pertanian Bogor) University
Minggu, 20 Oktober lalu, Pak Prabowo Subianto resmi dilantik sebagai Presiden. Ada adegan menarik dalam penutupan pidatonya. Dengan lantang, ia meneriakkan kata merdeka tiga kali yang disambut gemuruh para hadirin.
Pak Prabowo kemudian menyeletuk: “Yang tidak teriak merdeka, tidak patriotik!”
Sebelumnya, Pak Prabowo juga sempat menyinggung pengusaha-pengusaha yang tidak patriotik dalam pidatonya. Kata-kata demi rakyat, juga banyak menghiasi isi pidatonya.
Intinya, pemimpin bekerja untuk kepentingan rakyat, bukan untuk pribadi ataupun kerabat. Kekayaan negara adalah untuk sebesar-besarnya kepentingan dan kemakmuran rakyat. Ini sebenarnya perwujudan dari nilai-nilai patriot.
Kata ‘patriotik’ atau ‘patriot’ memiliki makna yang mendalam sebagai pengejawantahan cinta tanah air. Seorang patriot yang negarawan pasti tidak akan menggadaikan jiwa dan raganya untuk kepentingan pribadi, pedagang, ataupun pengusaha.
Jiwa raganya dibaktikan sebesar-besarnya untuk kebahagiaan dan kemakmuran rakyatnya. Jiwa patriot-negarawan menelurkan gagasan dan cita-cita mulia untuk kejayaan bangsa dan negara Indonesia yang kuat dan mandiri.
Salah satu telur emas yang muncul adalah tekad mandiri pangan. Pak Prabowo menyampaikan dengan lugas bahwa Indonesia harus segera swasembada pangan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Ia yakin Indonesia akan swasembada pangan paling lambat 4-5 tahun. Kemudian menjadi lumbung pangan dunia.
Baca Juga: Pemangkasan Anggaran, Kebijakan Publik yang Mengkhianati Publik
Pernyataan lugas tersebut, mau tidak mau membawa semua mata akan tertuju ke megaproyek food estate di Merauke, Papua Selatan. Proyek ini sudah berjalan sejak 2020 ketika food estate di Merauke menjadi proyek strategis nasional.
Tetapi jika dipikirkan lebih dalam, sepertinya tidak mungkin Pak Prabowo menggadaikan telur emas cita-citanya dengan menjalankan proyek yang terbukti tidak berhasil.
Telur Busuk Gus Dur
Bisa-bisa telur emas tersebut tidak jadi menetas dan menjadi kenangan buruk sepanjang masa. Berbicara tentang telur ayam dengan mantan Presiden Indonesia Abdurrahman Wahid (Gus Dur), selalu mengasyikan.
Ketika kami menggugat kenapa ada kader yang mbalelo dan tidak sejalan dengan beliau, dengan logat Jawa Timuran, beliau menjawab:
“Dari induk ayam, yang keluar dari lubang belakangnya bisa telur, tapi bisa juga kotoran. Biarin saja, itu alami, tidak perlu diperdebatkan. Santai, gitu saja kok repot!”
Nah, ada cerita yang serius terkait proses telur ayam menetas untuk menelisik peluang apakah telur emas Pak Prabowo akan menetas untuk kejayaan nusantara atau justru membusuk gagal menetas.
Ada beberapa syarat agar telur ayam menetas sesuai harapan.
Pertama, telur itu harus fertil dan dihasilkan oleh induk yang jelas. Kedua, telur ditetaskan di petarangan yang bersih dan sehat, terbebas dari gurem.
Ketiga, telur dierami oleh induk yang sehat dengan suhu antara 35-39 derajat Celcius dan akan menetas dalam 21 hari. Ketiga syarat tersebut harus terpenuhi agar telur menetas menghasilkan anak ayam yang sehat serta mampu tumbuh berkembang.
Telur yang tidak fertil pasti tidak akan menetas. Telur fertil juga seringkali tidak menetas jika ditetaskan di petarangan bekas yang sudah lama terpakai dan dihuni oleh banyak gurem.
Jangan Pakai Petarangan Lama
Keberadaan gurem, selain berpengaruh terhadap kesehatan induk ayam, juga membuatnya tidak nyaman sehingga sering turun meninggalkan petarangan. Walhasil, induk gagal mengeram dengan baik.
Suhu badan induk yang melebihi 39 derajat Celcius bisa mematikan embrio dalam telur, sementara ketidaknyamanannya menyebabkan proses pertumbuhan embrio terganggu. Akhirnya, telur batal menetas meskipun sudah dierami lebih dari 21 hari.
Jika proyek food estate versi sejuta hektar diibaratkan sebagai telur, rasanya gamang untuk optimis bahwa itu akan menetas. Terasa bahwa telur tersebut bukan sepenuhnya lahir dari induk yang ditumbuhkan oleh Pak Prabowo.
Juga terasa bahwa, petarangan yang digunakan juga petarangan lama. Tidak terlihat ada upaya untuk menyediakan petarangan dengan jerami-jerami baru yang terjamin kebersihannya.
Pak Prabowo seperti dititipi telur, mesin penetas, sekaligus operatornya dan harus memikul tanggung jawab jika telur tersebut tidak menetas.
Padahal patut diprasangkai bahwa telur ini bukanlah telur emas yang dimaksud. Mengacu pada retorika Pak Prabowo dalam pidato pelantikannya, harusnya telur emas itu tidak menihilkan peran rakyat Papua dan petani.
Seyogianya proyek food estate tidak merusak lingkungan serta mengesampingkan potensi sagu yang merupakan warisan dunia untuk pangan masa depan.
Go Ban Hong, Sang Patriot Pangan
Berbicara tentang patriot dan ketahanan pangan, mengingatkan kita kepada sosok almarhum Profesor Go Ban Hong.
Warga Negara Indonesia asli kelahiran Gorontalo, pengagum Bung Karno dan merupakan ilmuwan organis ahli kesuburan tanah IPB, beliau secara konsisten menunjukan cintanya kepada tanah air Indonesia.
Pak Go Ban Hong selalu kritis dalam meluruskan ‘sesat pikir’ urusan penyediaan pangan untuk rakyat Indonesia. Beliau termasuk penentang keras program lahan sejuta hektar untuk penanaman padi di lahan gambut.
Beliau juga secara teguh mengampanyekan diversifikasi pangan; tidak hanya secara retorik dengan kata-kata, tetapi utamanya dalam perbuatan. Beliau selalu mengkonsumsi umbi-umbian untuk asupan karbohidratnya.
Dari Pak Go, kita belajar bahwa pangan tidak hanya beras dan beras tidak harus diperoleh dari padi sawah.
Lahan kering masih sangat luas bisa dimanfaatkan sebagai lahan pertanian padi. Itupun kalau masih memaksakan diri ke tanaman padi sebagai bahan pangan utama.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, luas lahan kering di Indonesia mencapai 63,4 juta heltare (Ha). Dari total lahan kering tersebut, 8,8 juta Ha telah terpakai untuk pertanian, 26,3 juta Ha untuk pertanian lahan kering campur semak, dan 18 juta Ha untuk perkebunan.
Sisanya, sekitar 10,3 juta Ha, belum diusahakan. Sekarang ini ada sekitar 5 juta Ha ditanami padi gogo dengan produktivitas yang masih rendah, baru sekitar 3 ton per Ha.
Bahaya Mencetak Sawah Baru
Proyek pencetakan sawah sejuta Ha bisa dikatakan sebagai buah pikiran reduksionis yang memandang bahwa pangan adalah beras dan beras hanya dari padi sawah.
Sehingga, program yang dilahirkan adalah bagaimana merekayasa agar suatu lingkungan bisa diubah menjadi sawah untuk menanam padi. Ini adalah pendekatan usang yang jauh dari konsep pertanian berkelanjutan.
Pencetakan sawah, selain secara drastis mengubah lingkungan dan berpotensi merusak lingkungan, pasti juga memusnahkah sumber pangan lain yang sebenarnya siap dimanfaatkan. Ini yang mungkin disebut sebagai ‘sesat pikir’ oleh Pak Go.
Cara pikir pertanian regeneratif, jika ingin mengembangkan food estate, seharusnya dimulai dari pertanyaan “tanaman pangan apa yang sesuai dengan potensi lingkungan serta budaya dan partisipasi masyarakat setempat?”
Jawabannya tentu bukan dengan pencetakan sawah, tetapi pengembangan hulu-hilir pertanian sagu seperti yang dikampanyekan Prof Bintoro IPB dan koleganya di Papua.
Kembali ke cara pikir reduksionis, jangan-jangan produksi pangan di lahan kering juga didekati dengan membuat lahannya menjadi seperti sawah.
Padahal dengan kemajuan teknologi yang ada saat ini, rasanya tidak sulit meningkatkan produktivitas padi gogo dari 3 ton menjadi 4 ton per Ha. Dengan ini saja, jika serius akan didapat penambahan produksi padi 5 juta ton.
Apalagi jika diikuti dengan program pengembangan sumber pangan lain seperti pohon gayam yang juga berfungsi sebagai tanaman konservasi air, pohon sukun, serta umbi-umbian.
Diversifikasi Pangan Bantu Swasembada
Menilik anjuran diversifikasi pangan, beberapa ahli berpendapat bahwa perubahan pola konsumsi pangan menyumbang secara signifikan upaya swasembada beras, sekaligus menumbuhkan ekonomi rakyat dalam penyediaan sumber pangan non beras.
Geliat ekonomi rakyat tidak hanya di sektor produksi pertaniannya, tetapi juga mencakup industri kreatif dalam penyajiannya.
Substitusi 10% beras dengan sumber pangan non beras, akan mengurangi kebutuhan beras konsumsi sekitar 3 juta ton beras per tahun atau setara dengan sekitar 5,5 juta ton gabah kering panen.
Mungkinkah? Sangat mungkin, jika program bantuan beras bagi rakyat miskin dan aparat sipil negara (ASN) diganti dengan makanan lokal masyarakat.
Apalagi, jika program makan bergizi gratis (MBG) untuk balita, siswa Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) didesain untuk menggeser pola makan sehat generasi yang akan datang dengan mengkonsumsi makanan lokal non beras paling sedikit seminggu sekali.
Jadi, tanpa Food Estate Merauke pun, telur emas swasembada pangan bisa diharapkan bakal menetas dalam waktu 4 tahun selama penalaran dua orang patriot, Pak Prabowo dan Pak Go Ban Hong, dipertemukan.
Semoga!***
Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.