Memahami Teori Refleksivitas, yang Bikin George Soros Tidak Kagetan

Dengan teori refleksivitas, dia membaca perilaku investor di pasar keuangan, dan meraup keuntungan.

By
in Soul Nutrient on
Memahami Teori Refleksivitas, yang Bikin George Soros Tidak Kagetan
George Soros dalam sebuah kegiatan di lembaga yang didanainya, yakni Open Society Foundation. (Sumber: https://www.opensocietyfoundations.org/)

Didi Sugandi

Oleh Didi Sugandi, jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB), pernah mengajar di program Training for Trainer (TOT) SIDEKA (Sistem Informasi Desa dan Kawasan) Badan Prakarsa Pemberdayaan Desa dan Kawasan (BP2DK) dan turut mendirikan lembaga nirlaba Combine Resource Institution (CRI) pada tahun 2000.

Reaksi rakyat, respon masyarakat--atau bahkan 'reaksi pasar' alias 'sentimen pasar'yaitu istilah-istilah yang sering kita dengar dalam pembicaraan tentang financial market alias pasar keuangan--semuanya itu adalah symptom (gejala).

Kita boleh saja suka atau tidak suka, itu hak anda, kepada George Soros sang pialang pemain dunia saham, seorang hedge fund manager--yang famous or infamous bergantung sisi pandang Anda dari sisi mana.

Namun yang pasti dia adalah seorang yang mampu membaca emosi, mampu membaca tanda-tanda (signs) dan gejala (symptoms): memahami tentang 'refleksivitas.'

George Soros mulai menyusun sebuah teori yang ia namai teori refleksivitas (reflexivity theory) bahkan sejak ia masih kuliah di London School of Economics di penghujung tahun 1950-an dibimbing oleh seorang filsuf bernama Karl Popper.

"Popper berpendapat bahwa kebenaran empiris tidak dapat diketahui dengan kepastian yang absolut, bahkan hukum ilmiah (scientific law) tidak dapat diverifikasi kebenarannya melampaui bayang-bayang keraguan (beyond the shadow of a doubt), semua hanya dapat ditemukan kekeliruannya (difalsifikasikan, falsified) melalui pengujian," tutur Soros.

Sebuah pengujian yang adil, lanjut dia. sudah cukup untuk menemukan kekeliruannya akan tetapi tidak ada jumlah contoh konfirmasi yang cukup untuk memverifikasi (kebenarannya).

"Hukum ilmiah selalu bersifat hipotetis dan kebenarannya masih harus diuji, Ideologi yang mengklaim bahwa ia memiliki kebenaran tertinggi membuat klaim yang salah, oleh karena itu mereka dapat diterapkan kepada masyarakat hanya melalui paksaan," ujar Soros.

Diterapkan di Pasar Keuangan

Black Wednesday

Teori refleksivitas kemudian ia terapkan dalam membaca sesuatu yang berlangsung dalam perasaan, atau emosi--sentimen-sentimen--pasar, dunia ekonomi-politik (political-economy world) di pasar-pasar keuangan dan politik dunia.

Dengan kemampuannya dalam membaca tanda-tanda dan gejala-gejala seperti itu ia pernah meraup keuntungan besar yang--terlepas dari perkara etis atau moral--tidak tanggung-tanggung besarnya.

Teori refleksivitas sendiri bukan hanya berkenaan dengan perkara uang atau keuangan, ia adalah sebuah kerangka konseptual yang mencoba menjelaskan hubungan antara berpikir dengan realitas:

The framework itself is not about money it's about the relationship between thinking and reality

Setiap symptom (gejala) perlu dibaca, dimengerti, dipahami. Apa yang menyebabkan symptom pada diri seseorang atau pada orang-orang yang jumlahnya banyak adalah tanda (sign) yang "terbaca" oleh seseorang atau orang-orang.

Reaksi, atau respon manusia tidak bisa lepas dari 'keadaan apa' (state), atau lebih tepatnya 'eigenstate' (keadaan/suasana dirinya sendiri), yang "sedang berlangsung", ketika dia menemukan, menemui, bertemu, atau dihadapkan dengan tanda itu.

Manusia akan mengalami rasa kepanasan (gerah) ketika suhu tubuhnya lebih rendah dibanding suhu sekitaran (ambient temperature). Sebaliknya manusia akan merasa kedinginan jika suhu tubuhnya lebih tinggi dibanding suhu sekitarannya.

Ini adalah sekedar ilustrasi bahwa apa yang akan kita rasakan tidak terlepas dari apa yang ada--eigenstate--di dalam diri kita saat itu. Kepanasan dan kedinginan kedua-duanya adalah symptoms (gejala-gejala).

Merasa marah atau merasa biasa-biasa saja atau merasa senang, ketika terpapar oleh sesuatu bergantung pada eigenstate pada diri si manusianya itu sendiri.

Kunci Agar Tak Kagetan

nyala lilinManusia tidak pernah berada pada kondisi blank state (keadaan atau suasana hati yang kosong seperti kertas tanpa tulisan). Di sisi lainnya nanti, "mengosongkan suasana diri" justru diperlukan.

Berbagai latihan untuk berupaya berada pada blank eigenstate--seperti misalnya berlatih meditasi, berlatih khusyuk--justru akan melatih manusia agar menjadi manusia yang "tidak kagetan."

Kaget yang membahagiakan dirinya atau kaget yang menyedihkan dirinya, kedua-duanya adalah kondisi kaget-kagetan. Orang yang tidak menyadari ini akan merasa terombang-ambing perasaannya sendiri, bisa menimbulkan perasaan yang berlebihan.

Yang menarik dari perkara tanda dan gejala ini adalah perbedaan sebutannya: perbedaan utama antara tanda dan gejala bergantung pada siapa yang mengamati efeknya.

Misalnya, ruam di kulit bisa menjadi tanda, gejala, atau keduanya. Jika pasien melihat ruam (tanda), itu bisa juga adalah gejala manakala ia misalnya mengalami rasa gatal-gatal.

Jika dokter, perawat, atau siapapun selain pasien melihat ruam pada seseorang, itu adalah tanda dari sesuatu yang membutuhkan diagnosa, misalnya.

Bagi saya yang mengamati si A marah (sebuah efek yang timbul karena sesuatu telah membuat si A marah), maka bagi saya sebagai pengamat--an observer-- hal itu secara obyektif adalah tanda (sign).

Namun bagi si A sendiri hal itu adalah gejala (symptom), ia secara subyektif mengalami hal kemarahan itu.

Dan tentu saja dia bisa mengatakan: "Gimana nggak marah coba kalau saya digitu-gituin sama mereka. Coba pikirkan deh, kamu juga pasti marah, kan?"

(Hmmm... belum tentu juga sih.)

Mengendalikan Eigenstate

tetap tenang dalam kerisauanAlasan-alasan untuk marah--reasons to be angry--seringkali bukan karena intensitas energi (dan dianggap sebagai energi buruk) yang datang dari luar, karena bisa saja itu disebabkan oleh magnitude, sesuatu yang terasa oleh diri sangat intens.

Seorang penumpang perahu bisa mabuk laut misalnya karena goyangan perahu bagi dia terasa terlalu intens. Energi yang dilimpahkan ke dirinya terlalu tinggi intensitasnya--magnitude-nya bagi dia--sehingga membuatnya ingin muntah.

Seseorang bisa saja tersinggung tidak karena hal-hal yang berlebihan datang dari luar menimpa dirinya, tetapi memang karena pada dasarnya orangnya mudah tersinggung, sangat rapuh, (fragile, mudah pecah) dlsb.

Kita tidak pernah akan bisa mengendalikan, mengontrol, apa-apa yang akan datang ke diri kita dalam hidup kita sehari-hari ini.

Akan tetapi kita setidaknya dalam prinsipnya, in principle, jika kita mengerti suasana hati eigenstate kita saat itu, kita akan bisa mengontrol bagaimana reaksi kita, respon kita, terhadap hal yang datang kepada kita itu..

Tidak selamanya laut akan tenang namun setidaknya jika badai datang kita tidak usah buru-buru panik sebelum waktunya yang pantas untuk itu.

Belajar mengenal diri sendiri adalah belajar mengenali suasana hati pada suatu waktu, dari waktu ke waktu, dan sepanjang waktu, karena hal itu tidak pernah konstan.***

Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.