Kurva Laffer, Jawaban atas Dropnya Penerimaan Pajak Setelah PPN Naik

Untuk negara dengan sektor informal besar, tarif PPN tinggi takkan optimal mendongkrak pendapatan.

By
in Now You Know on
Kurva Laffer, Jawaban atas Dropnya Penerimaan Pajak Setelah PPN Naik
Ekonomi Amerika Serikat (AS) Arthur Laffer berpose di depan kurva Laffer yang disusunnya untuk menerangkan hubungan antara penaikan/penurunan tarif pajak dan dampaknya bagi pendapatan negara. (Sumber: https://laffercenter.org/)

Jakarta, TheStanceID - Pemerintah telah mengumumkan penaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% yang berlaku per 1 Januari 2025. Namun selama 2 bulan pertama, penerimaan pajak justru turun sebesar 30%. Apa pasal?

Publik tentu ingat kado awal tahun dari pemerintah, yang disampaikan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, serta beberapa menteri kabinet Merah Putih lainnya dalam konferensi pers Paket Stimulus Ekonomi.

"Sesuai amanat undang-undang tentang harmonisasi peraturan perpajakan, ini sesuai jadwal yang ditentukan. Tarif PPN tahun depan akan naik sebesar 12% per 1 Januari," kata Airlangga pada Rabu (16/12/2024).

Selain barang mewah, PPN 12% juga berlaku untuk sembako atau jasa lain yang bersifat premium.

  1. Daftar barang dan jasa premium itu antara lain:

  2. Rumah sakit kelas VIP dan pelayanan kesehatan premium.

  3. Pendidikan standar internasional berbayar mahal atau pelayanan pendidikan premium

  4. Listrik pelanggan rumah tangga dengan daya 3600-6600 VA

  5. Beras premium

  6. Buah-buahan premium

  7. Ikan premium (contoh:, salmon dan tuna)

  8. Udang dan crustasea premium (contoh: king crab)

  9. Daging premium, seperti wagyu atau kobe (harga berkisar Rp3 juta per kg)

Dalam konferensi pers itu juga diumumkan tiga barang yang PPN-nya tetap 11%, alias tidak mengalami kenaikan, yaitu:

  1. Gula industri

  2. Tepung terigu

  3. Minyak goreng (khusus Minyakita, bukan merk lain)

Habis Naik Tarif, Penerimaan Drop

Meski tarif PPN dinaikkan demi mendapatkan pendapatan tambahan di tengah besarnya kebutuhan APBN demi mengakomodir program prestisius Presiden Prabowo Subianto, penerimaan pajak malah anjlok.

Kementerian Keuangan melaporkan penerimaan pajak per Februari 2025 anjlok hingga 30% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, dari Rp269 triliun menjadi Rp187,8 triliun.

Akibatnya, sampai dengan 28 Februari 2025, pendapatan negara tercatat hanya Rp316,9 triliun, turun 20,8% dibandingkan dengan Februari 2024 yang mencapai Rp400,36 triliun.

Padahal belanja negara naiknya ugal-ugalan, yakni mencapai Rp348,1 triliun, sehingga memicu defisit sebesar Rp31,3 triliun atau 0,13% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Airlangga HartartoMenanggapi situasi itu, Sri Mulyani dalam konferensi pers pada Kamis (13/3/2025) mengklaim semuanya masih dalam kendali. “APBN 2025 didesain dengan defisit Rp616,2 triliun, jadi defisit ini masih di dalam target yang didesain dari APBN.”

Namun, pasar tidak lantas mempercayainya. Apalagi setelah rilis penerimaan pajak tersebut beredar rumor bahwa Sri Mulyani dan Airlangga bakal mundur usai Lebaran nanti.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun terbanting hingga 7% pada Selasa (18/3/2025), sebelum kemudian terdampar di level 6.076,08 setara dengan koreksi sebesar 6,12%.

Fenomena Kurva Laffer

Penurunan penerimaan pajak yang terjadi usai penaikan tarif pajak seperti yang dialami Indonesia ini dalam khasanah perekonomian dikenal sebagai fenomena Kurva Laffer.

Dicetuskan oleh ekonom Amerika Serikat (AS) Arthur Laffer, Kurva Laffer menggambarkan relasi antara tarif pajak dan penerimaan negara yang justru bertolak belakang.

Laffer berpendapat bahwa menarik penerimaan dengan mendongkrak pajak sama artinya memangkas uang yang semestinya memutar ekonomi. Sebaliknya menekan penerimaan negara dengan menurunkan tarif pajak justru bisa menggulirkan ekonomi.

Pada tahun 1974, Laffer memaparkan idenya di depan tim ekonomi Presiden AS Gerald Ford, yang sedang menghadapi warisan resesi ekonomi dari Presiden Richard Nixon--yang mundur akibat skandal Watergate.

Mirip seperti Presiden Prabowo saat ini, Ford yang baru saja naik ke tampuk kekuasan menggantikan Nixon pun ngebet menaikkan tarif pajak demi menambal pendapatan negara.

Baca juga: Prabowo Pede Bisa Hemat Rp750 Triliun, Bagaimana Negara Lain?

Saran Laffer untuk mengurangi tarif pajak ditampik tim ekonomi Ford, dan akhirnya mereka gagal. Kekuasaan Presiden Ford berakhir pada tahun 1977 di tengah resesi yang tak kunjung teratasi.

Ketika Ronald Reagan menjadi presiden AS, dia mengambil teorema Laffer sebagai dasar kebijakan pemangkasan pajak, yang akhirnya membawa AS pulih dari krisis tahun 1980 dan bahkan memicu ledakan pertumbuhan ekonomi pada tahun 1990.

Kurva Laffer di Kasus PPN 12%

Anggito Abimanyu

Sampai sekarang tidak ada ekonom di Indonesia yang menggunakan analisis Laffer untuk menjelaskan penurunan penerimaan pajak dalam 2 bulan pertama tahun ini. Padahal, indikasi itu kuat terjadi.

Lihat saja fakta realisasi penerimaan PPN di dalam negeri yang hingga Februari 2025 hanya mencapai Rp102,5 triliun, atau turun 9,69% jika dibandingkan dengan realisasi Februari 2024 yang sebesar Rp113,5 triliun.

Menurut laporan Kontan, penerimaan PPN di bulan Februari saja tercatat sebesar Rp48,1 triliun. Jumlah ini lebih rendah jika dibandingkan dengan capaian Januari yang sebesar Rp54,4 triliun.

Apabila dibandingkan dengan bulan Desember 2024 yang sebesar Rp95,4 triliun, capaian pada dua bulan pertama tahun 2025 itu terhitung anjlok tajam, mencapai 49,6%.

Wakil Menteri Keuangan Anggota Abimanyu berdalih bahwa penurunan itu hanya faktor musiman dan imbas dari relaksasi PPN selama 10 hari.

Namun, jika mengacu pada studi penaikan PPN dan dampaknya terhadap basis pembayar pajak, fenomena penurunan ini bisa dijelaskan dengan Kurva Laffer.

Riset: Tarif PPN Pengaruhi Basis Pajak

Riset Universitas Indonesia (UI) berjudul "The Relationship of VAT Rate and Revenues in the Case of Informality" menegaskan bahwa penaikan PPN bisa memukul ekonomi jika mempengaruhi basisnya, yakni transaksi barang yang jadi obyek pajak.

Kurva LafferJika diasumsikan kebijakan A adalah menaikkan tarif PPN sementara kebijakan B adalah menurunkan tarif PPN, maka dampaknya bagi nilai penerimaan seimbang karena basis pajaknya terdampak secara proporsional.

"Poin A dengan tarif pajak relatif rendah berujung pada pendapatan yang ditopang basis pasar besar sedangkan poin B dengan tarif pajak yang relatif tinggi berujung pada pendapatan dengan basis pajak yang rendah," ungkap peneliti Riatu M. Qibthiyyah.

Sederhananya, PPN tinggi bisa mengurangi jumlah transaksi barang obyek pajaknya karena masyarakat mengurangi belanja dan sebaliknya PPN rendah bisa meningkatkan jumlah transaksi karena menjadi insentif bagi mereka untuk berbelanja.

Namun, Riatu mengingatkan ada faktor lain yang tak kalah penting mempengaruhi efektivitas penaikan/penurunan tarif PPN, yakni efisiensi sistem perpajakan dan skala informalitas sebuah perekonomian.

Untuk negara dengan sektor informal yang besar, penaikan tarif PPN bakalan tidak optimal mendongkrak pendapatan. "Jumlah beban kerugian akibat pengenaan PPN akan meningkat.., basis pajak akan tergerus dan pada akhirnya penerimaan bisa turun."

Jika bicara efisiensi sistem pajak, celakanya, Kemenkeu sedang mempermalukan diri dengan ambrolnya sistem Coretax yang dibangun dengan anggaran Rp1,2 triliun lebih.

Wajib Pajak jadi Kambing Hitam

Anehnya, Kemenkeu merasa tidak ada yang salah dari kebijakan tersebut. Yang terjadi, jika melihat esensi pernyataan Sri Mulyani adalah wajib pajak, khususnya pengusaha, yang menjadi pangkal melesetnya penerimaan pajak.

Menurut Board of Expert TheStanceID Anthony Budiawan penurunan penerimaan pajak awal tahun ini sudah diperkirakan. Ada dua alasan untuk itu.

Pertama, realitanya, aktivitas ekonomi tahun ini terus melanjutkan tren menurun. Daya beli masyarakat masih lemah. Permintaan merosot. Hal ini tercermin dari angka deflasi Februari 2025. Dampaknya, tentu saja penerimaan pajak turun.

Kedua, coretax. Sistem pajak digital yang sudah menghabiskan biaya Rp1,3 triliun ternyata bermasalah besar. Macet. Banyak wajib pajak tidak bisa lapor pajak, tidak bisa bayar pajak. Maka, sistem pajak pun tidak efisien sehingga penerimaan pajak turun.

"Bukannya minta maaf kepada masyarakat luas atas kegagalan ini, Kemenkeu malah mencari kambing hitam, menyalahkan rakyat yang sudah susah-payah bayar pajak, dengan memberi label wajib pajak nakal," tuturnya.

Sebagai pembenaran, Kemenkeu memeriksa “2.000 wajib pajak nakal” versi Kemenkeu. Kemungkinan besar banyak wajib pajak yang akan kena “intimidasi”, penetapan kurang bayar pajak secara sepihak, alias “sewenang-wenang” atau seenaknya.

Tidak heran, kata Anthony, investasi semakin sulit. Investor semakin takut dicap “nakal” dan memilih menahan diri. Prospek ekonomi Indonesia pun semakin redup dan anjlok lah IHSG. (ags)

Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.

\