Ironi Puan Maharani; Sahkan Revisi UU TNI Abaikan Suara Perempuan

Puan pilih prioritaskan tentara di UU TNI, ketimbang perempuan di RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.

By
in Human of Change on
Ironi Puan Maharani; Sahkan Revisi UU TNI Abaikan Suara Perempuan
Presiden Prabowo Subianto dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani berpose di sela Parade Senja di Akademi Militer Magelang, Jawa Tengah, pada Kamis (27/2/2025). (Sumber: https://www.instagram.com/puanmaharaniri/)

Semarang, TheStanceID - Kritik publik terkait mudarat revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) tak didengar. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani mengesahkannya, para perempuan melawan.

Rancangan Undang-Undang TNI (RUU TNI) yang dibahas secara senyap itu digolkan menjadi Undang-Undang saat rapat paripurna Kamis (20/3/2025). Putri pendiri bangsa Soekarno secara simbolis meneken aturan tersebut, yang dinilai mengembalikan dwi-fungsi tentara ala Orde Baru.

Menurut pengamatan TheStanceID, gelombang aksi untuk memprotes pengesahan UU TNI terjadi di berbagai kota di Indonesia, salah satunya di Kota Semarang.

Para demonstran menanggalkan atribut identitas mereka seperti jas almamater atau bendera organisasi, dan memilih melebur menjadi satu mengenakan pakaian warna gelap sebagai simbol mewakili suara masyarakat sipil.

Sekitar pukul 14.00 WIB, mereka berkumpul di depan kantor PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) Jawa Tengah, dimotori oleh mobil komando, berpawai melalui Jalan Pahlawan menuju titik aksi yaitu di depan Gedung Gubernur-DPRD Jawa Tengah.

Koordinator lapangan (Korlap) membakar semangat para demonstran dengan nyanyian “Buruh Tani”, tembang khas demonstrasi.

Sebelum ke titik aksi, para demonstran “mampir” sebentar di depan kantor Polda Jawa Tengah, menyerukan seruan atas kondisi institusi tersebut. Rasa geram dan kesal terlihat dari mimik muka para demonstran.

Sesampainya di titik aksi, korlap berorasi mengecam pelolosan RUU TNI menjadi UU. Korlap juga mempersilahkan massa untuk berorasi menyuarakan keresahan hingga ketakutan atas disahkannya UU ini.

Para Perempuan di Tengah Demo

demonstrasiAksi bertajuk “Persiapan Revolusi: Tolak Revisi Undang-Undang TNI, Lenyapkan Dwifungsi TNI-Polri” itu diikuti barisan para perempuan. Beberapa demonstran perempuan juga berorasi di atas mobil komando.

Annisa Paramitha, mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) turut berpartisipasi menjadi orator. Dalam orasinya dengan lantang dia menolak UU TNI karena UU tersebut sarat akan kepentingan patriarkis.

Ia khawatir dengan disahkannya UU TNI, kesempatan perempuan dalam ranah pemerintahan akan semakin sempit karena kuatnya militerisme.

“Kita bisa melihat para perempuan akan ditekan oleh sistem. Di bawah komando mereka nantinya para perempuan akhirnya nggak punya kesempatan yang sama untuk bisa berkembang,” tuturmya.

Tata, panggilan akrabnya, juga mengkhawatirkan UU TNI akan membangkitkan militerisme yang akarnya berasal dari fasisme.

“Fasisme ini juga melahirkan patriarki,... yang kita harapkan di sini adalah tidak adanya dominasi di antara manusia karena satu manusia dengan lainnya sama antara laki-laki dengan perempuan memiliki hak yang setara,” imbuhnya.

Sekitar pukul 15.45 WIB, Tata dan para demonstran memasuki halaman Gedung Gubernur-DPRD yang disambut barisan aparat kepolisian lengkap dengan pentungan dan tameng.

Baca juga: Bawa Seniman, Aksi Kamisan Muncul di Semarang Kawal Kasus Gamma

Ketegangan tak terhindar antara aparat dengan demonstran selama aksi berlangsung. Beberapa kali tertangkap momen adu mulut antara aparat dan demonstran.

Para massa ingin masuk ke gedung DPRD atau setidaknya berada di depan gedung Gubernur-DPRD untuk membacakan tuntutan, tetapi upaya itu digagalkan oleh pihak kepolisian.

Proses Kilat Tak Transparan

Amadela LBH SemarangKekhawatiran atas pengesahan UU TNI juga disampaikan oleh Amadela Andra Dyanalaida dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang. Ia menilai partisipasi publik khususnya kelompok perempuan tak terlihat dalam proses revisi Undang-Undang tersebut.

“Kita memang melihat maskulinitas dalam pembentukan UU TNI ini karena tidak partisipatif. Harusnya UU dibuat dengan meaningful participation, mendengar pertimbangan dari masyarakat,” ungkap Amadela.

Pengesahan RUU ini terkesan buru-buru. Sebagai perbandingan, RUU Masyarakat Adat tak segera disahkan, tetapi RUU TNI yang awalnya tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prioritas) 2025 secara kilat disetujui dalam rapat paripurna.

“ Kalau tidak salah panitianya dibentuk Februari 2025, rapat pertama Maret dan disahkan bulan April. Mungkin kita harap itu (proses persetujuan, -penulis) terjadi juga di UU Masyarakat Adat,” katanya.

Disahkannya UU TNI juga memicu kekhawatiran Zusnia, masyarakat yang ikut turun menyuarakan protes. Ia menganggap posisi perempuan akan semakin rentan karena makin kuatnya pengaruh militerisasi. Zusnia merasa perempuan menjadi kelompok yang rawan akan kekerasan akibat dari disahkannya UU TNI.

“Kekuasaan militer itu bakal berpotensi abuse of power, kita sebagai perempuan akan lebih rentan [terkena kekerasan],” katanya.

Puan Khianati Perempuan

demonstrasi SemarangOleh karenanya, menjadi ironi besar ketika para perempuan di Semarang--dan seluruh Indonesia--turun ke jalan menolak revisi terburu-buru dan tak transparan UU TNI, Puan Maharani justru mudah saja mengesahkan UU tersebut di sidang paripurna.

Alih-alih membela hak perempuan dengan membahas RUU pro-perempuan seperti Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), Puan justru mengesahkan UU yang dinilai menggilas gerakan perempuan ke depan.

Ketika mengesahkan Puan bilang UU TNI tetap menjunjung supremasi sipil. “Tetap mengedepankan supremasi sipil, kemudian hak-hak demokrasi, kemudian hak asasi manusia (HAM), sesuai dengan perundangan di Indonesia dan juga Internasional.”

Namun, masyarakat tak begitu saja percayai karena bahkan ketika revisi UU Polri belum disahkan pun, saat ini sudah ada 45 posisi sipil yang diduduki polisi aktif.

Kalangan aktivis perempuan menilai dominasi militer di ranah sipil bakal berkonsekuensi pada makin masifnya pengekangan terhadap perempuan sehingga bakal mengerdilkan pergerakan perempuan.

“Jadi ketika kita bicara soal militerisme, secara ideologi yang selalu mengutamakan pendekatan kekerasan sebagai pendekatan utama untuk menyelesaikan situasi persoalan sosial, atau juga persoalan konflik atau dalam situasi konflik,” tutur Mutiara Ika Pratiwi, aktivis Perempuan Mahardhika seperti dikutip Konde.

Baca juga: Amnesty: RUU TNI Bawa Indonesia Menjauh dari Demokrasi Menuju Otokrasi

Dari perspektif perempuan, lanjut dia, dominasi militer sama artinya penguatan penundukan terhadap perempuan. Hal ini terlihat pada masa Orde Baru ketika Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) menjadi korban pelabelan negatif dan dibubarkan.

Organisasi perempuan terbesar se-Asia Tenggara tersebut dituduh terlibat dalam peristiwa G-30/S 1965 yang dikambinghitamkan pada Partai Komunis Indonesia (PKI).

Lalu, Orde Baru membentuk Dharma Wanita dan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang mengakomodir gerakan perempuan dalam peran domestik seperti menjahit, memasak, mengasuh anak, dan mendampingi suami.

Maka, ketika negara kembali memperkuat peran tentara aktif yang memiliki struktur komando terpusat, harapan terbentuknya masyarakat sipil kian jauh panggang dari api. (mhf)

Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.